Dari Orientasi ke Daratan, Kembali Wujudkan Nusantara Sebagai Negara Bahari -->

Iklan Semua Halaman

Dari Orientasi ke Daratan, Kembali Wujudkan Nusantara Sebagai Negara Bahari

Pulo Lasman Simanjuntak
02 Desember 2014
Jakarta, e.Maritim.Com,-Sebagai negara dengan mayoritas wilayah berupa lautan, pembangunan berbasis maritim bukan lagi kebutuhan, melainkan keharusan.Dan, mewujudkan Nusantara sebagai negara bahari sebenarnya kembali pada tradisi asal leluhur bangsa sejak berabad silam.

Setelah 69 tahun pembangunan di negeri ini lebih berorientasi ke daratan, Presiden Joko Widodo mengajak rakyat kembali melihat lautan yang mendominasi 73 persen wilayah Indonesia. Pada pidato perdana seusai dilantik, Presiden menyebutkan bahwa salah cita-cita negara yang hendak diwujudkannya adalah "menjadikannya sebagai poros maritim dunia, lokus dari peradaban besar politik masa depan".

Sebagaimana berulang disampaikannya pada masa kampanye, laut adalah masa depan negeri. Bahkan, pidatonya setelah ditetapkan memenangi pemilihan presiden juga dilakukan di atas kapal pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara.Namun, bagaimana mengoperasionalkan gagasan itu menjadi tantangan berat, mengingat perspektif pembangunan yang sebelumnya berorientasi daratan telah menjadikan lautan halaman belakang.

Pulau-pulau terdepan Nusantara yang pernah menjadi satu pintu gerbang pelayaran pada masa lalu kini identik dengan pulau-pulau terpencil.Ditinggalkan.bandar-bandar besar yang lampau populer, perlahan kehilangan cahayanya. Berabad-abad silam nama Barus, Singkil, Banda Neira, Ternate, Tidore, Banten, Jepara, Tuban, dan Gresik dikenal sebagai bandar utama, yang kini menghilang dari peta pelayaran samudera.

Terpinggirkannya perspektif bahari tercermin dari rendahnya kontribusi sektor kelautan terhedap produk domestik bruto (PDB) yaitu hanya sekitar 20 persen. Padahal, menurut Guru Besar Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut PertanianBogor(IPB) Prof.Rokhmin Dahuri, negara-negara dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia seperti Islandia, Norwegia,Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Thailand, kontribusi bidang kelautannya di atas 30 persen PDB.

Potret lain adalah mayoritas nelayan dan masyarakat pesisirmsih terlilit kemiskinan. Di sisi lain, gejala penangkapan berlebih, kehancuran ekosistem pesisir, serta pencemaran melanda sekitar 40 persen wilayah pesisir dan laut Nusantara."Yang juga menyedihkan sejak 10 tahun terakhir kita mulaikebanjiran komoditas ikan impor dan garam," ujar Rokhmin.

Sektor transportasi laut kondisinya tak kalah mengenaskan, sekalipun potensinya luar biasa. Data konferensi perdagangan dan pembangunan perserikatan bangsa -bangsa (PBB/tahun 2010) sebanyak 45 persen dari semua komoditas yang diperdagangkan dunia dengan nilai 1.500 triliun dollar AS per tahun, diangkut melintasi lautan Nusantara.

Namun, sejak tahun 1987 hingga kini,Indonesia menghamburkan devisa rata-rata 16 miliar dollar AS per tahun untuk membayar jasa armada kapal asing yang mengangkut barang ekspor dan impor ke wilayah Indonesia.

Kepala Balai Pengkajian dan Penelitian Hidrodinamika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Erwandi pun mengkhawatirkan pembukaan "Tol Laut" seperti digagas Presiden tanpa diikuti penguatan industri galangan kapal dan sistem pelayaran hanya akan menjadikan bangsa ini sebagai penontot."Sekarang saja pemilik kapal banyak orang asing".

Selain itu, lebih dari 75persen barang yang diekspor harus melalui pelabuhan Singapura karena hampir semua pelabuhan di Indonesia belum memenuhi sederetan persyaratan internasional. Menurut Prof.Rokhmin dalam sitem rantai suplai dunia Indonesia diposisikan sebagai produsen komoditas utama dunia, tetapi sebagai konsumen.

Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan lautan IPB, Arief Purwanto, kekayaan tradisi bahari masa lalu, selain berkelimpahan potensi sumber daya laut, juga merupakan modal penting mewujudkan kejayaan maritim Nusantara. Namun, ia juga mengingatkan tentang kerapuhan ekosistem laut tropis.

Eksploitasi dan pengembangan infrastruktur kelautan harus diimbangi dengan pembenahan sistem sosial, ekologi, dan ekonomi masyarakat."Koridornya pembangunan berkelanjutan yang memperhitungkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan," katanya.

Ahli tsunami dari Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, mengingatkan pengembangan kelautan harus didadarkan pada riset terpadu. Riset itu memiliki fungsi penting mengenali kondisi lautan. Lebih penting lagi memastikan riset itu dijadikan dasar kebijakan."Tanpa dasar riset pembangunan hanya didasarkan pada asumsi. Bisa salah sasaran, "katanya.

Kepentingan riset kelautan Indonesia selain untuk mengeksplorasi potensi sumber daya, juga dibutuhkan untuk mewaspadai ancamannya. Hal itu karena sebagai besar pesisir di Indonesia rentan dilanda gempa dan tsunami. (kps/pls)