Banyak Pelaut Indonesia Menjadi Korban ' Human Trafficking' dan Perlakuan Buruk di Luar Negeri -->

Iklan Semua Halaman

Banyak Pelaut Indonesia Menjadi Korban ' Human Trafficking' dan Perlakuan Buruk di Luar Negeri

Pulo Lasman Simanjuntak
01 Januari 2015
Jakarta,e.Maritim.Com,- Pengusaha perikanan nasional yang memanipulasi bendera kapal dan awaknya harus ditindak tegas. Demikian desakan Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) kepada` pemerintah.

Tindakan yang sama juga perlu diberikan kepada perusahaan yang merekrut awak kapal atau manning agency tidak sesuai prosedur, sehingga banyak pelaut Indonesia menjadi korban human trafficking dan mendapat perlakuan buruk di luar negeri. 

“Penggantian bendera kapal harus melalui proses yang ditentukan oleh pemerintah. Kalau kapal tiba-tiba mengganti bendera dalam operasi penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia, itu merupakan manipulasi dan pelanggaran undang-undang yang harus ditindak tegas,” ujar Sekretaris Jenderal KPI Mathias Tambing di Jakarta, Selasa (30/12/2014).

Ia tidak mau menyebutkan pengusaha nasional yang melakukan manipulasi bendera kapal di tengah laut. Tapi, penggantian bendera harus diikuti dengan ketentuan tentang pengawakan kapal.

Dalam melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia, katanya, pengusaha nasional bisa bekerja sama dengan perusahaan asing. Tapi, dalam penggunaan bendera harus sesuai dengan ketentuan, karena menyangkut soal pengawakan kapal.

Menurut Undang-Undang Perikanan, jumlah awak kapal yang menggunakan bendera asing minimal 70% harus diisi oleh pelaut Indonesia. “Tapi, jika menggunakan bendera Indonesia, seluruh awak, termasuk nakhodanya, harus berkewarganegaraan Indonesia,” kata Mathias.


Kenyataan di lapangan, ketentuan itu banyak dilanggar. Banyak kapal berbendera Indonesia tapi awaknya diisi pelaut asing, antara lain dari Burma dan Vietnam, termasuk kapal perikanan yang dioperasikan pengusaha nasional. “Pelanggaran ini harus ditindak tegas karena menutup kesempatan kerja bagi pelaut lokal,” tuturnya.

Ia juga mengungkapkan maraknya kasus trafficking bagi pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal ikan asing. Misalnya, kasus penempatan pelaut Indonesia di kapal ikan berbendera Korea FV Oryong 501, yang tenggelam di perairan Rusia belum lama ini. 
Dari 35 pelaut Indonesia yang menjadi awak kapal tersebut, ternyata hanya 6 orang yang dikirim sesuai prosedur. Sebagian besar (29 orang) justru dikirim tanpa prosedur, sehingga tingkat perlindungan dan kesejahteraannya jauh di bawah standar.

“Masih banyak kasus lainnya, termasuk korban trafficking di Selandia Baru, Trinidad & Tobago, dan di Afrika Selatan, sehingga mereka dipulangkan ke Indonesia tanpa menikmati hasil kerjanya,” ujarnya.

Pemerintah, katanya, harus segera menertibkan dan menindak tegas pengusaha nakal yang mengirim pelaut tanpa prosedur tersebut. Tanpa tindakan tegas, misalnya dengan membekukan atau mencabut izin operasional perusahaan, kasus-kasus yang merugikan pelaut terus berulang.

Kasus-kasus yang menimpa pelaut itu tidak akan terjadi jika dalam proses perekrutan dan penempatannya dilakukan sesuai prosedur yang ditentukan. Mereka harus memiliki dokumen kepelautan, antara lain buku pelaut dan menandatangani PKL (Perjanjian Kerja Laut) yang disahkan instansi yang bertangggung jawab serta mendapat perlindungan dan kesejahteraan yang jelas.

Sistem perlindungan dan kesejahteraan yang memadai, lanjut Mathias, hanya dapat diwujudkan melalui Collective Bargaining Agreement (CBA) atau PKB (Perjanjian Kerja Bersama) yang ditandatangani pemilik atau operator kapal dengan KPI. Pelaut yang bekerja di luar negeri, khususnya di kapal-kapal pesiar atau niaga, jarang menghadapi kasus karena mereka telah dilindungi PKB.

Karena itu, pemerintah perlu mendorong para pengusaha kapal, khususnya di sektor perikanan, untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap awak kapal melalui CBA atau PKB.

“Kita sudah menandatangani CBA dengan 132 perusahaan pelayaran internasional, tapi dengan perusahaan perikanan belum mencapai 10,” ujarnya.

KPI pun mendesak pemerintah segera menerapkan sistem satu atap dalam proses rekrut, penempatan dan perlindungan pelaut di luar negeri, seperti yang dilakukan Philipine Overseas Employer Administration di Filipina. Lembaga satu atap ini perlu diterapkan di Indonesia, sehingga pelanggaran dalam proses penempatan dan perlindungan pelaut ke luar negeri dapat dicegah.

Mathias Tambing juga mengatakan, di tengah pemerintah gencar memberantas illegal fishing, keberadaan nelayan lokal perlu diberdayakan agar menjadi pelaut profesional. Untuk itu, pemerintah daerah setempat perlu mendidik nelayan lokal mampu menjadi pelaut profesional di kapal-kapal ikan berbendera Indonesia berskala besar. Tapi, mereka harus mendapat kepastian perlindungan dan kesejahteraan yang memadai.

“Tingkat perlindungan dan kesejahteraan pelaut perikanan selama ini sangat buruk. 
Pemerintah harus segera memperbaiki kondisi ini, sehingga para pelaut perikanan ikut aktif pemberantasan illegal fishing,” katanya. (pribuminews.com/lasman simanjuntak)