Pada 1980, Indonesia
menjadi salah satu negara di dunia yang mendorong pengelolaan sumberdaya laut yang
berkelanjutan. Kala itu, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 39 Tahun 1980 Tentang Penghapusan Jaring Thrawl (Pukat Harimau) di
Perairan Jawa, Sumatera dan Bali; guna menjaga kesehatan habitat serta
produktivitas penangkapan nelayan tradisional.
Namun, dalam dua dekade terakhir,
alat penangkapan ikan jenis thrawl telah berkembang pesat dalam bentuk
serta nama yang beragam, dan semuanya mengacu pada sifat penangkapannya yang tidak
ramah lingkungan.
Penggunaan thrawl dengan mengeruk dasar perairan
merusak habitat serta penggunaan mata jaring yang kecil juga menyebabkan
tertangkapnya berbagai jenis biota yang masih anakan atau belum matang.
“Tantangan terbesar saat
ini adalah menghentikan laju kerusakan ekosistem dan degradasi sumberdaya
perikanan yang sudah mencapai status tangkap lebih yang antara lain diakibatkan
oleh produktivitas penggunaan thrawl,” tegas Abdullah Habibi, Manajer
Perbaikan Perikanan Tangkap dan Budidaya, WWF-Indonesia.
Selain itu, kajian yang
dipaparkan oleh WWF-Indonesia ini juga menunjukkan bahwa persentase udang dan
ikan sebagai target tangkapan thrawl berkisar antara 18-40% dari total
komposisi tangkapan, sementara sisanya adalah tangkapan sampingan (bycatch)
yang tidak bernilai ekonomis tinggi dan akan dibuang (discarded).
Status
eksploitasi sumberdaya ikan dari Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
No.45/2011 menyatakan bahwa potensi untuk sumberdaya ikan demersal sudah
mencapai status eksploitasi lebih (fully exploited) yang salah satunya
disebabkan oleh pukat hela, dan potensi sumberdaya udang dalam status tangkap
lebih (overfishing).
“Penerbitan Peraturan Menteri No.
2/2015 untuk menghentikan total penggunaan alat
penangkapan ikan menggunakan thrawl di perairan Indonesia
merupakan langkah yang tepat, karena alat tangkap
tersebut berkontribusi besar terhadap rusaknya habitat laut, pemborosan
sumberdaya laut, mempengaruhi siklus hidup biota laut, dan mengancam populasi
biota kunci yang menjaga keseimbangan alam, seperti penyu dan hiu,” lanjut
Habibi.
Untuk memulihkan kembali
daya dukung perikanan, dibutuhkan pendekatan yang strategis dan implementatif
kepada seluruh pemangku kepentingan. Meningkatkan pengelolaan
sektor perikanan harus dibangun berbasis ekosistem dengan memperkuat tata
kelola perikanan yang efektif. Pengembangan kapasitas dan mengayomi nelayan
juga sangat dibutuhkan agar produk perikanan yang dihasilkan memiliki daya
saing dan nilai tambah.(sonny listyanto)