WWF-Indonesia : Hentikan Laju Kerusakan Ekosistem dan Degradasi Sumberdaya Laut -->

Iklan Semua Halaman

WWF-Indonesia : Hentikan Laju Kerusakan Ekosistem dan Degradasi Sumberdaya Laut

Pulo Lasman Simanjuntak
03 Februari 2015

Jakarta,eMaritim.Com,-Fakta dari lapangan yang diterangkan oleh WWF-Indonesia Senin (2/2/2015) di Cikini, Jakarta dengan tema ‘Kajian Alat Tangkap Pukat di Indonesia’, yang menunjukkan  alat penangkapan ikan jenis thrawl masih merajalela di perairan Indonesia.

Pada 1980, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang mendorong pengelolaan sumberdaya laut yang berkelanjutan. Kala itu, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 39 Tahun 1980 Tentang Penghapusan Jaring Thrawl (Pukat Harimau) di Perairan Jawa, Sumatera dan Bali; guna menjaga kesehatan habitat serta produktivitas penangkapan nelayan tradisional.

 Namun, dalam dua dekade terakhir, alat penangkapan ikan jenis thrawl telah berkembang pesat dalam bentuk serta nama yang beragam, dan semuanya mengacu pada sifat penangkapannya yang tidak ramah lingkungan. 

Penggunaan thrawl dengan mengeruk dasar perairan  merusak habitat serta penggunaan mata jaring yang kecil juga menyebabkan tertangkapnya berbagai jenis biota yang masih anakan atau belum matang.

“Tantangan terbesar saat ini adalah menghentikan laju kerusakan ekosistem dan degradasi sumberdaya perikanan yang sudah mencapai status tangkap lebih yang antara lain diakibatkan oleh produktivitas penggunaan thrawl,” tegas Abdullah Habibi, Manajer Perbaikan Perikanan Tangkap dan Budidaya, WWF-Indonesia.

Selain itu, kajian yang dipaparkan oleh WWF-Indonesia ini juga menunjukkan bahwa persentase udang dan ikan sebagai target tangkapan thrawl berkisar antara 18-40% dari total komposisi tangkapan, sementara sisanya adalah tangkapan sampingan (bycatch) yang tidak bernilai ekonomis tinggi dan akan dibuang (discarded). 

Status eksploitasi sumberdaya ikan dari Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.45/2011 menyatakan bahwa potensi untuk sumberdaya ikan demersal sudah mencapai status eksploitasi lebih (fully exploited) yang salah satunya disebabkan oleh pukat hela, dan potensi sumberdaya udang dalam status tangkap lebih (overfishing).

“Penerbitan Peraturan Menteri No. 2/2015 untuk menghentikan total penggunaan alat penangkapan ikan menggunakan thrawl di perairan Indonesia merupakan langkah yang tepat, karena alat tangkap tersebut berkontribusi besar terhadap rusaknya habitat laut, pemborosan sumberdaya laut, mempengaruhi siklus hidup biota laut, dan mengancam populasi biota kunci yang menjaga keseimbangan alam, seperti penyu dan hiu,” lanjut Habibi.

Untuk memulihkan kembali daya dukung perikanan, dibutuhkan pendekatan yang strategis dan implementatif kepada seluruh pemangku kepentingan.  Meningkatkan pengelolaan sektor perikanan harus dibangun berbasis ekosistem dengan memperkuat  tata kelola perikanan yang efektif. Pengembangan kapasitas dan mengayomi nelayan juga sangat dibutuhkan agar produk perikanan yang dihasilkan memiliki daya saing dan nilai tambah.(sonny listyanto)