23 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) Migas Terjerat Sengketa Pajak PBB Rp 3,2 Triliun -->

Iklan Semua Halaman

23 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) Migas Terjerat Sengketa Pajak PBB Rp 3,2 Triliun

Pulo Lasman Simanjuntak
23 Maret 2015
Jakarta,eMaritim.Com,- 23 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas terjerat sengketa  pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga Rp 3,2 triliun. Iuran PBB ini ditagihkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk tahun 2012 dan 2013.

Berdasarkan informasi yang diterima Katadata.Com 23 KKKS tersebut keberatan dengan tagihan pajak tersebut, karena adanya ketidakjelasan aturan.

Pada Oktober 2013, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM pernah meminta KKKS mengajukan permohonan keberatan untuk merevisi SPPT 2012 dan 2013. Namun, seluruh permohonan KKKS ini ditolak oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus.

Upaya ini pun kemudian dilanjutkan dengan mengajukan permohonan pembatalan terhadap pajak tersebut ke pengadilan pajak. Permohonan ini sudah diajukan sekitar November dan Desember 2014.

 Masalahnya, untuk bisa mengajukan banding, KKKS harus membayar 50 persen tagihan pajak tersebut terlebih dahulu. Sementara KKKS tersebut mengaku tidak memiliki dana sebesar itu.
Asosiasi pengusaha migas Indonesia, Indonesia Petroleum Assosiation (IPA) menyebut KKKS yang masih dalam tahap eksplorasi tersebut dikenakan PBB dengan nilai yang tidak wajar. Nilai pajak yang ditetapkan Ditjen Pajak tersebut jauh melampaui nilai komitmen anggaran eksplorasi (firm commitment) tiap KKKS.

Menurut Direktur Eksekutif IPA Dipnala Tamzil, permasalahan ini  bermula dari diterbitkannya  Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi (migas).

Setiap kontraktor harus membayar PBB, untuk kontrak baru yang ditandatangani setelah aturan ini diterbitkan. Sedangkan iuran PBB untuk kontrak lama, yang ditandatangani sebelum aturan ini terbit, masih ditanggung oleh negara.

Menurut dia, PBB tersebut tidak seharusnya diberikan kepada perusahaan migas yang masih melakukan tahap eksplorasi. Mengingat kontraktor tidak memiliki, menguasai dan memanfaatkan bumi atau bangunan selama masa eksplorasi. Bahkan pada tahapan tersebut perusahaan migas pun belum mendapatkan hasil, apalagi keuntungan.

"Masih baru tandatangan kontrak sudah kena pajak," kata dia kepada Katadata, beberapa waktu lalu.

Tarif pajak dikenakan terhadap seluruh luas wilayah kerja offshore (lepas pantai) pada 2012 sebesar Rp 16.28 per meter persegi, dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan sebesar Rp 7.996 per meter persegi. Sementara untuk 2013 ditetapkan Rp 22,68 per meter persegi dengan NJOP Rp 11.200.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito mengaku belum mengetahui kasus PBB  23 kontraktor migas periode 2012-2013 itu. Dirinya belum mempelajari perihal tunggakan sebesar Rp 3,18 triliun yang masih disidangkan di Pengadilan Pajak.

“Bukan saya bodoh, namun memang saya belum mengetahui (masalah tunggakan pajak KKKS),” ujar Sigit saat ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (18/3/2015).

Sigit meminta agar pertanyaan seputar kasus tersebut ditanyakan kepada Direktur Penagihan dan Pemeriksaan Ditjen Pajak Dadang Suwarna. Sigit beranggapan dirinya masih cukup baru menjadi Dirjen Pajak dan untuk saat ini Dadang dianggap lebih mengerti permasalahan ini ketimbang dia.
“Tanya pak Dadang saja, saya belum tahu,” kata Sigit singkat.

Ponsel Dadang sendiri sampai saat ini masih belum dapat dihubungi. Sedangkat pesan singkat Katadata kepadanya belum dibalas. (pulo)