Indroyono Soesilo : Pemerintah akan Kaji Ulang Rencana Pembangunan Pelabuhan Laut Cimalaya -->

Iklan Semua Halaman

Indroyono Soesilo : Pemerintah akan Kaji Ulang Rencana Pembangunan Pelabuhan Laut Cimalaya

Pulo Lasman Simanjuntak
12 Maret 2015
Menko Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo (Foto : Istimewa/eMaritim.Com)

Jakarta,eMaritim.Com Pemerintah akan mengkaji ulang rencana pembangunan Pelabuhan Laut Cilamaya dengan sejumlah pemangku kepentingan terkait. Pasalnya, rencana ini ditolak banyak kalangan.

“Nanti kita akan melakukan pembahasan dengan Menteri PPN/Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Kementerian Perhubungan, dan BPPT (Badan Pengkajian Penerapan Teknologi),” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo di sela-sela Lokakarya Nasional, “Maritim, Listrik dan Pengelolaan Mineral” di Jakarta, kemarin, seperti dikutip dari Koran Sindo, Kamis (12/3/2015).

Indroyono belum mau merinci aspek-aspek yang akan dibahas. Ia hanya mengatakan bahwa semua hal yang berkaitan rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya akan dikaji, termasuk soal pipa minyak dan gas milik PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (ONWJ) yang melintas di lokasi pelabuhan tersebut. “Kita sudah punya semua kajiannya, nanti akan kita bahas segera,” katanya.

Pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Karawang, Jawa Barat, masih menuai kontroversi, baik dari segi efektivitas logistik, energi, lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat sekitar. Salah satu yang menolak rencana proyek pelabuhan di kawasan Cilamaya adalah PT Pertamina (Persero) karena mengancam keberlangsungan produksi minyak sebanyak 40.000 barel minyak per hari dan gas 200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).

Menurut Manajer Media Pertamina Adiatma Sardjito, hilangnya produksi minyak dan gas sebesar itu sama dengan berkurangnya pemasukan APBN sebesar Rp21 triliun per tahun. “Di bawah laut itu ada pipa migas 1.900 kilometer atau tiga kali jarak Jakarta-Surabaya, terbayang bagaimana ruwetnya dan kalau terbakar susah matinya,” katanya.

M Riza Damanik, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), menyebut bahwa pembangunan pelabuhan Cilamaya menyalahi tata ruang, karena berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Kabupaten Karawang, Jawa Barat, wilayah Kecamatan Tempuran dan sekitarnya merupakan kawasan pertanian.

“Strategi pembangunan sesuai Pasal 5, bahwa prioritas pembangunan di Karawang itu, khususnya di kawasan Tempuran, itu untuk kawasan pertanian,” kata Riza. Kemudian, Pasal 38 Perda tersebut menyatakan, kawasan Kecamatan Tempuran dan sekitarnya merupakan wilayah budi daya perikanan.

Dua pasal tersebut harusnya menjadi landasan untuk memastikan menumbuhkembangkan pertanian dan perikanan di wilayah tersebut, bukan untuk membangun pelabuhan. “Pembangunan Cilamaya bertabrakan dengan Perda Tata Ruang Karawang. Ada 70.000 keluarga yang sejatinya bergantung pada potensi perikanan di pesisir Karawang,” katanya.

Selain bertentangan dengan Perda Tata Ruang Karawang, pembangunan Pelabuhan Cilamaya juga berpotensi melanggar UU Kelautan Nomor 32 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa laut selain mempunyai fungsi strategis sumber pangan juga sangat melindungi lingkungan berdasarkan daya dukung yang ada, serta kearifan lokal.

“Saya kira tidak salah, nelayan dan petani keberatan dengan pembangunan pelabuhan di Cilamaya, karena memang kita melihat secara faktual, pelabuhan itu menyingkirkan nelayan dan petani karena dampak lingkungan dari pembangunan itu. Kami KNTI menolak pembangunan pelabuhan Cilamaya,” katanya.

Riza juga menilai rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya terbilang janggal, karena tidak masuk dalam rancangan pembangunan menengah Bapenas 2015-2019, yakni akan mengembangkan 24 pelabuhan selama 5 tahun ke depan terkait rencana tol laut pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

“Lima dari 24 pelabuhan itu adalah pelabuhan utama yakni di Sumut, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Sorong, sedangkan 19 lainnya adalah pelabuhan pendukung. Pembangunan tol laut itu, baik lima pelabuhan dan 19 lainnya, sama sekali tidak ada Cilamaya,” kata Riza.

Sementara, aktivis lingkungan Ubaidilah menilai pembangunan Pelabuhan Cilamaya lebih banyak mudarat daripada manfaatnya, karena mengancam kehidupan nelayan, kearifan lokal, sosial budaya, lumbung padi atau pertanian, potensi laut, serta produksi minyak dan gas.

“Selain harus mendapat persetujuan masyarakat, juga harus perhatikan UU lingkungan hidup, perairan, pertanian, dan seterusnya. Kalau kita kaji tata ruangnya, itu jauh dari kelayakan,” kata Ubaidilah.

Sementara, nelayan di wilayah Cilamaya meminta wakil rakyat di Senayan, mencarikan solusi agar pemerintah membatalkan rencana membangun Pelabuhan Cilmaya, karena akan mematikan mata pencarian di sektor perikanan serta dampak turunannya di wilayah tersebut.

“Kami minta kepada wakil kami di DPR RI, titip nasib kami, titip Karawang,” kata Masudin, salah seorang nelayan asal Pasir Putih, Kecamatan Cilamaya Kulon, saat unjuk rasa di Jakarta, kemarin.(pulo)