KNTI Desak KKP Aktif Kawal Diterapkannya Perubahan Alat Tangkap Ramah Lingkungan -->

Iklan Semua Halaman

KNTI Desak KKP Aktif Kawal Diterapkannya Perubahan Alat Tangkap Ramah Lingkungan

Pulo Lasman Simanjuntak
05 Maret 2015
Jakarta,eMaritim.Com,- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia juga mendesak pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan harus aktif dalam mengawal diterapkannya perubahan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan serta membantu nelayan agar mampu melaksanakan perubahan itu.

"Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) berkeinginan kebijakan ini efektif dijalankan. Maka pemerintah harus juga aktif mengawalnya demikian halnya pelaku usaha," kata Ketua Umum KNTI M Riza Damanik di Jakarta, Senin (2/3/2015).

Dengan adanya pengawalan yang ketat dari berbagai pihak pemangku kepentingan, ujar Riza, maka diharapkan Indonesia juga bisa segera hijrah dari model perikanan yang tidak ramah dan tidak adil, ke perikanan yang adil dan lestari.

Ketua Umum KNTI mengingatkan, saat ini justru peran pemerintah sangat strategis guna mengawal dan memastikan pemindahan alat tangkap merusak ke alat tangkap yang ramah lingkungan tadi berjalan baik. Hal tersebut, lanjutnya, dapat dilakukan dengan memastikan sosialisasi dan pelatihan alat tangkap ramah lingkungan berjalan, serta memastikan skema permodalan untuk mengganti alat tangkap berjalan optimal.

Dia juga mendesak pemerintah memastikan tidak terjadi monopoli sehingga harga alat tangkap ramah lingkungan juga bisa terjangkau masyarakat.

"Buka partisipasi masyarakat dalam pengawasan implementasinya, hingga peran untuk memberikan insentif kepada para nelayan yang berhasil mengoptimalkan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan tadi," katanya.

Persoalan kontroversial terkait dengan pelarangan penggunaan alat tangkap perikanan cantrang (banyak digunakan di Pantura) dinilai karena berlarutnya ketidaktegasan dalam menerapkan aturan sejak beberapa tahun lalu.

"Karena pembiaran yang cukup lama kemudian timbul Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2/2015 maka dianggap itu 'sudden death' atau tiba-tiba mematikan usaha perikanan, sebenarnya tidak demikian," kata Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Gellwynn Jusuf di Jakarta, Jumat (13/2/2015).

Menurut dia, pelarangan alat tangkap yang dinilai merusak lingkungan seperti cantrang sebenarnya merupakan proses yang cukup lama, tetapi karena ada suatu masa yang ditandainya dengan tidak adanya penindakan sehingga peraturan menteri kelautan dan perikanan kali ini hanya memperjelas.
Pada prinsipnya, ujar Gellwynn, pelarangan itu bukanlah sesuatu hal yang baru, tetapi terjadi sesuatu permasalahan yang mendasar yaitu pada 2009 berkembang keinginan masyarakat di berbagai daerah seperti di kawasan Jawa Tengah untuk bisa menggunakan alat tangkap tersebut.

Ia mengungkapkan, jumlah cantrang pada 2004 baru sekitar 3.200 unit, kemudian pada 2007 menjadi 5.100 unit, sedangkan pada akhir 2014 diperkirakan penggunaan alat cantrang berjumlah tidak kurang dari 10.000 unit dengan berpusat seperti di Tegal dan Rembang.

"Maka akhirnya dilakukan suatu dialog difasilitasi pemerintah pusat. Kita persilakan penggunaan cantrang sepanjang itu dilakukan di bawah kawasan perairan 12 mil dan di wilayah penangkapan provinsi yang bersangkutan," katanya.

Sebelumnya, World Wide Fund for Nature (WWF) menyatakan peraturan yang dibuat oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkait dengan penghentian penggunaan alat tangkap "trawl" atau pukat harimau adalah tepat.

"Penerbitan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2/2015 untuk menghentikan total penggunaan alat penangkapan ikan jenis trawl di perairan Indonesia merupakan langkah yang tepat," ujar Manajer Perbaikan Perikanan Tangkap dan Budi Daya WWF-Indonesia Abdullah Habibi.
Menurut Abdullah Habibi, kebijakan Menteri Susi itu dinilai tepat karena karena alat tangkap tersebut berkontribusi besar antara lain terhadap rusaknya habitat laut dan pemborosan sumber daya laut. Selain itu, ujar dia, alat tangkap tersebut juga mempengaruhi siklus hidup biota laut, dan mengancam populasi biota kunci yang menjaga keseimbangan alam di kawasan perairan seperti penyu dan ikan hiu.

Kajian WWF-Indonesia juga menunjukkan bahwa persentase udang dan ikan sebagai target tangkapan "trawl" berkisar antara 18--40 persen dari total komposisi tangkapan, sementara sisanya adalah tangkapan sampingan yang tidak bernilai ekonomis tinggi dan akan dibuang.

"Status eksploitasi sumber daya ikan dari Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011 menyatakan bahwa potensi untuk sumber daya ikan demersal sudah mencapai status 'fully exploited' yang salah satunya disebabkan oleh pukat hela, dan potensi sumber daya udang dalam status 'overfishing'," ucapnya.

Sebagaimana diberitakan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan permintaan transisi atau masa peralihan terkait penerapan alat tangkap yang ramah lingkungan oleh nelayan akan dipenuhi dalam waktu beberapa bulan.

"Ada permintaan masa transisi akan kami penuhi 2-3 bulan," kata Susi Pudjiastuti di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Senin (2/2/2015).

Menteri Susi menyadari bahwa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2015 yang berisi tentang penertiban alat tangkap ternyata menimbulkan riak seperti di kawasan Pantura, Lampung, dan Sibolga. Menteri Kelautan dan Perikanan juga menegaskan, pihaknya membuat regulasi untuk kepedulian dan keberlanjutan lingkungan dan bukan karena kepentingan politik.(pulo lasman simanjuntak)
sumber berita : we online/antara