Kedaulatan Energi, DPR RI Siap Revisi UU Migas -->

Iklan Semua Halaman

Kedaulatan Energi, DPR RI Siap Revisi UU Migas

Pulo Lasman Simanjuntak
22 Mei 2015
Jakarta,eMaritim.Com,- Wakil Ketua Komisi VII DPR Mulyadi berjanji akan melakukan revisi UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, yang masih membolehkan Pertamina mengimpor BBM melalui pihak ketiga, trader atau mafia.

“Itulah antara lain pasal yang harus direvisi, agar Pertamina bisa mengimpor langsung dari produsen. Karena itu meski Petral dibubarkan dan diganti dengan Integrated Supply Chain (ISC), tapi kalau impor BBM tetap melalui pihak ketiga, maka pembubaran Petral itu tidak akan berpengaruh terhadap harga BBM yang terus naik,” ujar Mulyadi dalam dialektika demokrasi “Pembubaran Petral” bersama anggota Komisi VII DPR Kurtubi dari NasDem di Gedung DPR Jakarta, Kamis (21/5/2015) seperti diberitakan Harian Umum (HU) Suara Karya, Jumat (22/5/2015).

Jadi, menurut politisi Partai Demokrat itu, tidak benar kalau DPR membiarkan kebijakan pemerintah yang menyerahkan harga BBM ke pasar dunia. Bahwa Komisi VII DPR sudah mengingatkan agar tidak membuat kebijakan pro pasar, karena melanggar konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membatalkan menyerahkan harga ke mekanisme pasar dunia itu, tapi pemerintah tetap saja berjalan.

Bahayanya kata dia, harga premium sekarang ini tidak disubsidi lagi oleh pemerintah, tapi ketika harga BBM dunia naik, pemerintah meminjam uang dari Pertamina. Karena itu persoalan BBM itu kini makin kompleks dan rumit. Apalagi sistem cost recovery meski Indonesia mendapatkan 80%, tapi setelah dikurangi biaya produksi, perawatan, dan lain-lainnya keuntungannya ternyata kurang dari 30%.

“Untuk itulah perlunya revisi UU Migas ini,” ujarnya.

Kenapa tetap impor melalui pihak ketiga? Menurut Mulyadi, bagaimana pun yang namanya anak perusahaan itu tetap mencari untung termasuk Petral sebagai anak perusahaan Pertamina. Padahal kalau bisa impor langsung atau national oil company (NOC) biayanya akan lebih murah dibanding melalui trader.

“Jadi, kalau pembubaran Petral tapi tetap impor melalui trader, maka pembubaran itu hanya sebagai pencitraan. Petral bubar, namun muncul ISC, itu sama saja ganti cassing atau tikusnya hanya pindah ke rumah yang baru,” tambahnya.

Sebelumnya kata Mulyadi, Menteri ESDM Sudirman Said sendiri menolak membubarkan Petral ketika Komisi VII DPR mengusulkan, karena akan dikembangkan untuk kerja sama dengan Petronas Malaysia. Tapi sekarang tiba-tiba dibubarkan, ada apa?

 “Sama halnya dengan kontrak Migas dengan Sonangol, Nigeria, yang semula antara pemerintah dengan pemerintah, kini malah bisnis to bisnis (b to b). Lalu mana penghematan Rp 72 triliun yang dijanjikan?” tanya Mulyadi.

Di tempat yang sama, pengamat perminyakan, Kurtubi mengatakan, dengan membubarkan Petral maka proses impor Migas akan makin efektif dan mampu menghemat 22 juta dolar AS, meski ISC sebagai pihak ketiga yang mengimpor karena UU Migas masih memerintahkan demikian.

 “Pertamina memang bisa impor langsung dari produsen tapi itu butuh waktu lama dan UU Migas mesti direvisi terlebih dahulu. Memahami harga dan Migas itu cukup melihat di kilang itu sendiri, semua data tentang Migas lengkap, dan yang penting tidak melalui pihak ketiga,” tutur politisi asal NTB ini.

Kenapa harga BBM terus naik, hal itu kata Kurtubi, karena hampir 100 % Migas kita semua impor, bahkan kita selama-lamanya akan menjadi importir, kalau tidak merevisi UU Migas tersebut.(pulo lasman simanjuntak)
Foto : Klikpositip.com