Jakarta, eMaritim.Com,-Indonesia masih kurang tenaga pelaut seperti
nakhoda, perwira kapal, mualim atau pegawai dek. Lulusan sekolah
pelayaran di dalam negeri banyak yang memilih bekerja di perusahaan
asing, karena lebih bergengsi.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan Wahyu Satryo Utomo mengatakan, masih banyak lulusan sekolah, politeknik dan balai pelayaran yang menghasilkan lulusan pelaut di Indonesia, memilih bekerja di perusahaan swasta asing.
"Dari 3.000 orang (lulusan per tahun), fifty-fifty (50:50) kerja di (perusahaan) nasional dan asing," kata pria yang akrab disapa Tomi ini, saat berbincang dengan detikFinance pekan lalu.
Tomi mengatakan, tidak ada keharusan bagi mereka lulusan sekolah milik pemerintah untuk bekerja di perusahaan swasta nasional atau pemerintah. Mereka dibebaskan bekerja di perusahaan mana saja, karena tak ada ikatan dinas.
Lulusan sekolah pelayaran yang biasanya adalah anak-anak muda berumur 23 tahun, memilih bekerja di kapal asing karena lebih bergengsi, dan gaji yang lebih besar. Ada kesempatan berkeliling dunia, meski jarang pulang.
"Dunianya ini. Mereka itu ingin keliling Amerika, Eropa. Yang jelas makan steak setiap hari, di atas kapal. Beda lah. Perusahaan kita (nasional) berlayar antar pulau saja, paling ke Singapura. Anak-anak muda kita berpikirnya beda, gajinya pakai dolar," katanya.
"Tapi setelah mereka bosan mereka pulang, bekerja di kapal nasional sering pulang dekat keluarga," imbuhnya.
Namun dukanya, mereka yang bekerja di kapal asing harus memendam rasa rindu pada kampung halaman, karena jarang pulang.
"Di kapal paling 3 bulan non stop 1 trip (perjalanan), kan kapal itu terbatas sekali space-nya, rasa bosan itu ada. Tapi kan diimingi gaji yang besar dan sering singgah di kota-kota besar di dunia membuat pengalaman untuk mereka, pengalamannya mereka cari," kata Tomi.(pulo lasman simanjuntak)
sumber berita dan foto : www.detikfinance.com(15/6/2015)
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan Wahyu Satryo Utomo mengatakan, masih banyak lulusan sekolah, politeknik dan balai pelayaran yang menghasilkan lulusan pelaut di Indonesia, memilih bekerja di perusahaan swasta asing.
"Dari 3.000 orang (lulusan per tahun), fifty-fifty (50:50) kerja di (perusahaan) nasional dan asing," kata pria yang akrab disapa Tomi ini, saat berbincang dengan detikFinance pekan lalu.
Tomi mengatakan, tidak ada keharusan bagi mereka lulusan sekolah milik pemerintah untuk bekerja di perusahaan swasta nasional atau pemerintah. Mereka dibebaskan bekerja di perusahaan mana saja, karena tak ada ikatan dinas.
Lulusan sekolah pelayaran yang biasanya adalah anak-anak muda berumur 23 tahun, memilih bekerja di kapal asing karena lebih bergengsi, dan gaji yang lebih besar. Ada kesempatan berkeliling dunia, meski jarang pulang.
"Dunianya ini. Mereka itu ingin keliling Amerika, Eropa. Yang jelas makan steak setiap hari, di atas kapal. Beda lah. Perusahaan kita (nasional) berlayar antar pulau saja, paling ke Singapura. Anak-anak muda kita berpikirnya beda, gajinya pakai dolar," katanya.
"Tapi setelah mereka bosan mereka pulang, bekerja di kapal nasional sering pulang dekat keluarga," imbuhnya.
Namun dukanya, mereka yang bekerja di kapal asing harus memendam rasa rindu pada kampung halaman, karena jarang pulang.
"Di kapal paling 3 bulan non stop 1 trip (perjalanan), kan kapal itu terbatas sekali space-nya, rasa bosan itu ada. Tapi kan diimingi gaji yang besar dan sering singgah di kota-kota besar di dunia membuat pengalaman untuk mereka, pengalamannya mereka cari," kata Tomi.(pulo lasman simanjuntak)
sumber berita dan foto : www.detikfinance.com(15/6/2015)