Jakarta,eMaritim.Com,-Pemerintah, melalui PP No.75 Tahun 2015 bermaksud meningkatkan
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan.
Peraturan ini dikeluarkan tanpa melibatkan partisipasi nelayan dan masyarakat
pada umumnya sehingga berpotensi bertentangan dengan peraturan-perundangan yang
telah ada sebelumnya, bahkan bertabrakan dengan strategi kesejahteraan nelayan
yang dijanjikan pemerintah.
Pertama, PP 75/2015 dapat memicu maraknya (kembali) penggunaan trawl di perairan Indonesia melalui
pemberlakuan pungutan PNBP terhadap alat tangkap jenis trawl. Padahal, secara legal formal, penggunaan alat tangkap jenis trawl telah dilarang beroperasi di
perairan Indonesia sesuai Keppres No.39/1980 dan UU No.31 Tahun 2004. Secara
praksis, penggunaan trawl telah
terbukti merusak lingkungan, memperparah jurang ketidakadilan dalam pemanfaatan
sumberdaya ikan, bahkan memunculkan konflik berkepanjangan antara kapal pengguna
trawl dengan nelayan-nelayan
tradisional.
Kedua, PP No.75/2015 telah sengaja melegitimasi privatisasi dan
komersialisasi perairan pulau-pulau kecil terluar kepada asing dengan
memberlakukan pungutan PNBP terhadap izin pemanfaatan perairan Pulau-pulau
Kecil Terluar dan izin pemanfaatan Pulau-pulau Kecil oleh Penanaman Modal
Asing. Selain bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan Putusan MK No.3/PUU-VIII/2010 terkait Uji Materil UU
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mensyaratkan
kekayaan sumberdaya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, PP ini juga berpotensi membahayakan kedaulatan Negara dan menyingkirkan
nelayan tradisional dari ruang hidup dan penghidupannya.
Ketiga, PP
No.75/2015 telah menjadi stimulus perluasan praktik serampangan pembangunan
reklamasi pantai dengan memberlakukan pungutan PNBP dari izin pelaksanaan
reklamasi komersil baru, izin pelaksanaan reklamasi komersil perpanjangan, izin
pelaksanaan reklamasi non komersil baru, dan izin pelaksanaan reklamasi non
komersil perpanjangan. Pemerintah bahkan terkesan membiarkan kerusakan
lingkungan dengan memasukkan
biaya kompensasi ekosistem berdasarkan hasil analisis valuasi ekosistem dari
ekosistem terganggu akibat kegiatan reklamasi. Celakanya lagi, pungutan PNBP justru dikeluarkan disaat
pemerintah belum memastikan terlaksananya perlindungan hak-hak nelayan
tradisional dan masyarakat adat dalam penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil maupun Tata Ruang Laut Nasional.
Keempat, PP No.75/2015 telah menunjukkan corak kebijakan ekonomi
kelautan dan perikanan ke depan hanya dapat berhasil dalam skala kegiatan usaha
bermodal besar.
Tentu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyambut
baik keinginan pemerintah mengecualikan Nelayan Kecil dari skema Pungutan Hasil
Perikanan (PHP). Namun, membebaskan PHP bagi nelayan kecil tanpa diikuti dengan
perlindungan terhadap perairan tradisional dari penggunaan alat tangap merusak
seperti trawl, tanpa melindungi
perairan tradisional dari bahaya reklamasi pantai, dan tanpa menjauhkan skema
privatisasi dan investasi asing dari ruang kelola nelayan tradisional dan
masyarakat adat—mustahil dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional
Indonesia.
Untuk itu, Kesatuan nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
berpendapat PP No.75/2015 berpotensi melemahkan aktivitas ekonomi perikanan
nasional, menyingkirkan nelayan dari ruang hidup dan penghidupannya, bahkan
dapat mengembalikan perairan Indonesia marak pencurian ikan.
Oleh sebab itu, KNTI meminta Presiden Republik Indonesia, untuk:
- Segera melakukan revisi terhadap peraturan ini dengan mempertimbangkan situasi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, serta tujuan mendasar dari pengelolaan perikanan nasional.
- Meninjau ulang berbagai pengaturan perikanan dan kelautan yang dibuat tanpa adanya partisipasi publik dan tidak mengarah kepada solusi positif.
KNTI juga menyerukan kepada seluruh nelayan dan masyarakat
pesisir pada umumnya, untuk:
1. Secara seksama
mempelajari, menyusun analisis kritis, dan menyuarakan potensi kerugian
individual maupun kolektif masyarakat akibat pemberlakuan PP No.75/2015.
2. Terlibat aktif
menginisiasi, mengawasi dan memastikan berjalannya program-program pemerintah
dengan tepat sasaran, seperti diantaranya: pengadaan kapal dan alat tangkap,
perumahan nelayan, dsb.
3. Memperkuat
solidaritas dan soliditas gerakan nelayan di seluruh Indonesia.(press release/lasman simanjuntak)