Pembacaan Gugatan Reklamasi: Tujuh Alasan Surat Keputusan Reklamasi Pulau G Harus Dibatalkan -->

Iklan Semua Halaman

Pembacaan Gugatan Reklamasi: Tujuh Alasan Surat Keputusan Reklamasi Pulau G Harus Dibatalkan

Pulo Lasman Simanjuntak
02 November 2015
Foto Illustrasi Reklamasi Pantai (Foto :Lasman Simanjuntak/eMaritim.Com)

Jakarta, eMaritim.Com,- Setelah didaftarkan pada 15 September 2015, gugatan terhadap reklamasi Pulau G dibacakan di depan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan diajukan terhadap Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 2238 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G Kepada PT. Muara Wisesa Samudra. Surat Keputusan yang terbit pada tanggal 23 September 2014 ditandatangani oleh Gubernur Ahok yang menjadikannya sebagai Tergugat. Para Penggugat mendasarkan SK Gubernur harus dibatalkan oleh Majelis Hakim dalam tujuh alasan.

Pertama, melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 yang telah menafsirkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap frase ”untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” untuk mengukur suatu kebijakan dengan berdasarkan empat tolok ukur. Tingkat kemanfaatan, tingkat pemerataan manfaat, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat serta penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun atas suatu kebijakan pengelolaan sumber daya alam bagi rakyat.

Kedua, melanggar Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan setiap kegiatan memiliki AMDALatau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. Setiap kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan wajib untuk memiliki ijin lingkungan yang ditegaskan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2012 yang mewajibkan reklamasi diatas luasan 25 hektar wajib memiliki Amdal.

Ketiga, melanggar UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tidak mendasarkan pada peraturan mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) sebagai arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. RZWP-3K mengatur tentang tiga aspek: (a) pengalokasian ruang laut; (b) Keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut; (c) penetapan pemanfaatan ruang laut; dan (d) penetapan prioritas tujuan pengelolaan kawasan laut.

Keempat, Gubernur telah melanggar Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014 dengan bertindak sewenang-wenang dengan menerbitkan izin reklamasi tanpa izin lokasi dan melampaui kewenangan dari pemerintah pusat. Sebagai kawasan strategis nasional berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008, maka pengelolaan Teluk Jakarta merupakan kewenangan dari pemerintah pusat. Ditambah lagi terbitnya SK Gubernur tersebut tanpa didahului adanya Izin Lokasi yang diwajibkan Perpres No. 122 Tahun 2012.

Kelima, melanggar hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Nelayan skala kecil telah dianggap sebagai solusi permasalahan serta diakui haknya melalui instrumen hukum nasional dan internasional. Terbitnya SK No. 2238/2014 akan merampas ruang laut yang menjadi sumber kehidupan nelayan tradisional skala kecil. Berdasarkan UNCLOS 1982, setiap negara diwajibkan untuk melakukan pemberitahuan mengenai pembangunan pulau buatan. Ditambah lagi dalam instrumen Perlindungan nelayan skala kecil FAO telah mewajibakn negara untuk mempertimbangkan dampak-dampak sosial, ekonomi dan lingkungan melalui studi, dan mengadakan konsultasi yang efektif dengan nelayan tradisional. Terbitnya SK 2238/2014 tidak pernah memastikan hak-hak nelayan atas sumber penghidupan terlindungi dan lestari.

Keenam, melanggar persyaratan reklamasi pantai skala besar yang diatur dalam Permen Pekerjaan Umum No. 40/PRT/M/2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai. Pedoman melakukan reklamasi dalam point 4.1.1 hal 8. menetapkan adanya persyaratan wajib menyusun rencana detail tata ruang (RDTR) kawasan. RDTR kawasan reklamasi dapat dilakukan apabila sudah memenuhi persyaratan administratif. a) Memiliki RTRW yang sudah ditetapkan dengan Perda; b) Lokasi reklamasi sudah ditetapkan dengan SK Bupati/Walikota, c) Sudah ada studi kelayakan d) Sudah ada studi AMDAL kawasan maupun regional. Namun tidak ada RDTR yang mengatur SK No. 2238/2014 tersebut.

Ketujuh, melanggar Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan ditegaskannya diperuntukan reklamasi bagi masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggi menunjukkan adanya diskriminasi yang akan terjadi bagi nelayan tradisinal skala kecil. Hal tersebut telah terjadi dalam pelaksanaan proyek Reklamasi pantai Jakarta sepanjang tahun 2000-2011 mencapai 2500 ha, yang menggusur 3.579 Kepala Keluarga nelayan.

Berdasarkan tujuh alasan tersebut, Para penggugat berharap dan meminta kepada Majelis Hakim untuk mengabulkan tuntutan. Tuntutan penggugat mulai dari menyatakan batal SK No. 2238/2014 hingga meminta kepada majelis hakim untuk memerintahkan Gubernur untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014.(siaran pers/lasman simanjuntak)