Paris,eMaritim.Com,-"Saya hadir
disini mewakili Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)—sebuah organisasi
massa nelayan dan petambak skala kecil—terdiri dari laki-laki dan perempuan
yang tersebar di 26 wilayah di Indonesia. KNTI juga adalah anggota termuda dari
World Forum of Fisher People. Sebelum berbicara lebih lanjut terkait “Karbon
Biru”, ijinkan saya menyampaikan posisi strategis nelayan dan perikanan skala
kecil di Indonesia," kata Ketua Umum KNTI M.Riza Damanik dalam pidatonya pada seminar internasional bertajuk “Blue
Carbon: Ocean Grabbing in Disguise” diselenggarakan oleh World Forum of Fisher
People (WFFP) pada 8 November 2015
bertempat di Paris, Perancis.
Di Indonesia,
nelayan skala kecil dikategorikan dengan ukuran kapal ikan di bawah 5 gross
ton. Maka di 2014, hampir 90 persen dari total 634 ribu kapal ikan Indonesia
masuk kategori nelayan kecil. Perikanan skala kecil diperkirakan telah menyerap
sedikitnya 8 juta tenaga kerja pada kegiatan produksi, pengolahan, dan
pemasaran.
Nelayan skala kecil juga memasok sekurang-kurangnya 60% dari total produksi
perikanan nasional dan bersama-sama dengan hasil produksi perikanan budidaya
digunakan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan rakyat Indonesia—yang
saat ini telah mencapai lebih dari 35kg per kapita per tahunnya. Lalu, menjaga
suplai kebutuhan bahan baku industri dalam negeri.
Bahkan, tidak sedikit di
antaranya untuk keperluan ekspor ke sejumlah Negara, seperti: Amerika Serikat,
Uni Eropa, Jepang, Hongkong, China, dan Negara-negara tetangga.
Selain memiliki
peran strategis sebagai penyedia lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan
pangan, dan keberlanjutan ekonomi, nelayan skala kecil juga menjadi subjek
penting menjaga kelestarian sumber daya ikan melalui berbagai pengetahuan
lokalnya. Skema “konservasi” ala
masyarakat ini telah terbukti ramah secara sosial, ekologi, dan ekonomi,
seperti: Awig-awig di Nusa Tenggara
Barat, Sasi di Maluku, Bapongka di Sulawesi Tengah, Manee' di Sulawesi Selatan, dan Panglima Laot di Aceh.
Kesemua potensi
dan konstribusi positif perikanan skala kecil tersebut tengah terancam oleh
sederet persoalan yang akhir-akhir ini (justru) berkedok proyek mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim.
Sebagai contoh, untuk mengurangi ketergantungan
terhadap energi fosil maka dipromosikanlah penggunaan biofuel sebagai sumber
energi alternatif, termasuk dari minyak sawit. Pada perkembangannya tidak
sedikit ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Indonesia telah
dikonversi untuk memenuhi kebutuhan pasar global biofuel. Di Kabupaten Langkat
Sumatera Utara, sedikitnya 16 ribu hektar hutan mangrove telah dikonversi
menjadi perkebunan kelapa sawit.
Akibatnya, sekitar 17 ribu nelayan dan
masyarakat pesisir terganggu ruang hidup dan penghidupannya. Di sini, KNTI
bersama sejumlah organisasi dan pemerintah daerah tengah melakukan rehabilitasi
untuk mengembalikan fungsi ekologis ekosistem mangrove sebagai tempat pemijahan
dan pemeliharaan ikan, serta mencegah meluasnya sedimentasi dan abrasi pantai.
Contoh lain,
ancaman naiknya muka air laut yang kerap diasosiasikan sebagai dampak perubahan
iklim justru digunakan (sebagai pembenaran) memperluas pembangunan kota-kota
pantai dengan reklamasi.
Di Teluk Jakarta, proyek reklamasi dengan membangun 17
pulau baru membutuhkan lebih dari 3,3 miliar meter kubik pasir yang diambil
dari daerah lain. Selain didukung oleh sederet perusahaan properti, diketahui
kegiatan ini juga bersinergi dengan kontraktor dan konsultan dari berbagai
Negara, seperti Belanda dan Korea[1]
yang akan membangun Giant Sea Wall. Sekitar 16 ribu nelayan berpotensi
terganggu penghidupannya, ekosistem pesisir hancur, bahkan persoalan utama
terkait penghentian pencemaran di Teluk Jakarta oleh berbagai perusahaan nyaris
tidak (lagi) menjadi perhatian.
Maka saat ini, 5 nelayan anggota KNTI, bersama
sejumlah organisasi masyarakat sipil tengah membawa kasus ini ke pengadilan
untuk membatalkan izin reklamasi. Proyek reklamasi pantai serupa tengah terjadi
dan mendapati perlawanan dibanyak tempat di Indonesia, seperti di Teluk Benoa,
Bali, dan pesisir Makassar, Sulawesi Selatan.
Kondisi
kontraproduktif semacam itu juga terjadi dalam hal strategi dunia memerangi
pencurian ikan dan proyek perluasan konservasi laut. Satu sisi, instrumen dunia
untuk mendukung pemberantasan pencurian ikan terus bertambah, tetapi
perdagangan ikan hasil curian dari perairan Indonesia dan perairan lainnya
masih terus berlangsung. Sama halnya mobilisasi pembiayaan dari Bank Dunia,
ADB, GEF, USAID dll untuk kegiatan konservasi laut terus bergulir.
Tetapi,
sanksi global terhadap perusaha-perusahaan yang merusak lingkungan dan
mencemari laut tidak justru semakin kuat. Sebaliknya, korporasi multinasional
semacam Newmont dan Freeport semakin berani mengancam ataubahkan menggugat
Negara berdaulat seperti Indonesia ke arbitrase internasional.
"Kami setuju dan
punya kekhawatiran yang sama dengan UNEP dengan sindikasinya yang menyebut
ekosistem pesisir dan laut global tengah mengalami kerusakan parah, di
antaranya: 1/3 padang lamun di dunia telah hilang, 25% lahan gambut dunia
lenyap, dan 35% kawasan mangrove dunia telah musnah. Bahkan, laporan itu juga
menyebutkan bahwa tingkat kepunahan organisme dalam ekosistem laut lebih tinggi
dari ekosistem lainnya di dunia, yaitu 4 kali dibandingkan dengan ekosistem
hutan hujan tropis," ucapnya.
"Karena
kegentingan itulah kami heran, mengapa UNEP justru (lebih) memilih mendorong
lahirnya sebuah skema Pembiayaan Karbon Biru/ Blue Carbon Fund (BCF), seperti
REDD di hutan, daripada memperkuat upaya global memotong emisi karbon dan
menghukum perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam aktivitas pencemaran laut,
penghancuran ekosistem pesisir dan laut, dan pencurian ikan?," katanya lagi.
UNEP menjabarkan
ada 2 komoditas Karbon Biru, masing-masing: pertama,
komoditas perairan laut. Dalam hal ini perairan laut diasumsikan sebagai media
strategis yang mampu menyerap karbon (carbon
sink) di atmosfer. Kedua,
komoditas ekosistem utama pesisir, diantaranya: padang lamun dan hutan mangrove. Komodifikasi terhadap
komoditas perairan laut dan ekosistem pesisir ke dalam skema offset adalah lompatan berpikir yang
dapat membelokkan upaya global mengatasi akar soal krisis ekologis di laut dan
pesisir dunia. Inisiatif ini terus didorong UNEP ke Pemerintah Indonesia sejak
pertemuan World Ocean Conference di Manado 2009 lalu, dan 11th
Special Session of the Governing Council/ Global Ministerial Environment Forum
of UNEP di Bali 2010 lalu.
Menurut Ketua Umum KNTI M.Riza Damanik, sejak abad XVI,
nelayan-nelayan di Lamalera, Nusa Tenggara Timur percaya bahwa laut adalah Ibu.
Dalam bahasa lokal mereka menyebutnya: “Ina
soro budi, budi noro apadike. Pai pana ponu, te hama hama.” Laut adalah ibu
yang membesarkan dan mengasihi. Karena itu, jaga dan peliharalah
kelestariannya.
Laut adalah
Ibu, dan Karbon Biru meminta kita menjual Ibu. Kita mengetahui bahwa Ibu-laut
yang membesarkan kita sedang sakit-sakitan karena keserakahan Negara-negara
industri dan korporasi. Kini, penjahat yang sama itu datang ke rumah kita dan
tanpa rasa bersalah mereka berkata: "kalian butuh uang untuk menyelamatkan
ibu, tak ada cara lain ayo jual ‘jasa Ibumu'.”
Nah,
karena “hijau” sudah menjadi siasat dagang di darat dan gagal, maka sekarang
dikemas dengan judul baru "blue carbon fund" di laut.” Kita sudah
mengetahui bahwa sakit ibu-laut tidak akan pernah mereka obati, dan dana yang
mereka kumpulkan akan kembali berputar seperti bisnis biasa: Akumulasi Kapital.
Kita membutuhkan solusi
bersama, bukan ilusi korporasi semacam Blue Carbon Fund.
Kami telah
menyaksikan bahwa nelayan kecil dapat menjadi solusi (sejati) mengatasi
perubahan iklim. Pertama, krisis di
laut bermula dari kebijakan ekonomi eksploitatif di darat. Olehnya, kesepakatan
global untuk memastikan perusahaan multinasional patuh terhadap perlindungan
HAM dan keselamatan lingkungan harus terus kita perkuat.
Kedua,
perlindungan kepada nelayan kecil dan perempuan nelayan harus segera
diimplementasikan. Lahirnya instrumen internasional FAO untuk perlindungan
nelayan kecil (VGSSF) pada 2014 lalu, harus segera diikuti dengan kebijakan
nasional ditiap-tiap Negara untuk memberikan kepastian terhadap pemenuhan hak
atas tanah di pesisir bagi nelayan, situasi lingkungan pekerjaan yang layak
bagi nelayan, akses terhadap pasar yang adil, hingga mobilisasi sumberdaya
Negara untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke kampung-kampung
nelayan.
Tak ada salahnya
para pemimpin di dunia belajar dari nelayan-nelayan kecil cara menjaga
lingkungan dan kelestarian sumberdaya ikan. Di Tanjung Balai Sumatera Utara,
nelayan percaya bahwa laut adalah anugerah dari Sang Pencipta. Sehingga ada
kewajiban bagi setiap orang untuk menjaga dan memelihara sumberdaya perikanan.
Ketika terjadi terang bulan, nelayan tradisional tidak melaut. Kami percaya,
itu adalah waktu yang tepat bagi sumber daya ikan untuk mereproduksi; dan
kemudian kembali berlimpah.(pulo lasman simanjuntak)
sumber foto : antaranews.com
sumber foto : antaranews.com