Jakarta, eMaritim.Com,- Rancangan Perda Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata
Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta bertentangan dan akan melanggar
hak asasi manusia dari nelayan tradisional dan skala kecil.
Pelanggaran
ini terungkap dengan jelas akibat tiadanya perlindungan wilayah tangkap
nelayan tradisional dan skala kecil. Padahal Teluk Jakarta merupakan
wilayah pengelolaan dari nelayan tradisional dan skala kecil sejak
turun-temurun.
Sejak 2014, Badan Pangan Dunia (Food and
Agriculture Organization) bersama negara anggotanya telah menyepakati
Pedoman Perlindungan Nelayan Skala Kecil (Voluntary Guidelines Securing
Small Scale Fisheries/VGSSF). Perlindungan ini dilakukan dari pengakuan
hak akses dan memanfaatkan sumber daya laut yang dilakukan dengan
identifikasi wilayah tangkap.
Pemerintah Indonesia telah mengakui
pedoman sebagai upaya perlindungan dengan menggunakan pendekatan Hak
Asasi Manusia. Sangat jelas dari hasil penjelasan yang didapatkan dari
Konsultasi Publik yang diadakan oleh Badan Legislatif Daerah DKI Jakarta
pada 11 Desember 2015 tidak mengakui wilayah tangkap nelayan skala
kecil.
Raperda ini jelas akan melanggar Undang-Undang Perikanan yang
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dengan melindungi
wilayah tangkap nelayan skala kecil yang memberikan hak kebebasan
menangkap ikan di seluruh wilayah perikanan Indonesia.
Tidak berbeda dari acara konsultasi publik lainnya,
acara bertajuk penyerapan aspirasi masyarakat menjadi ajang formalitas
legislasi. Di rezim keterbukaan informasi publik dengan berlakuknya
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Pemprov DKI Jakarta wajib
mempublikasikan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Rencana
Kawasan Strategis Pantura DKI pada media yang mudah diakses masyarakat.
Terbukanya Raperda tersebut penting bagi publik, terutama masyarakat
terdampak untuk mengawal proses legislasi raperda. Selain itu, rencana
yang menitikberatkan pada perencanaan proyek reklamasi ini harus
disebarluaskan ke publik secara transparan mengenai dampak dan
keuntungan reklamasi bagi publik. Dokumen lingkungan lingkungan hidup
seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) harus dipublikasikan
supaya publik dapat memastikan bahwa proyek ini sesuai daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup.
Pada acara konsultasi publik ini, tidak dijelaskan
secara jelas mengenai fungsi revitatalisai proyek yang selama ini
digaungkan Pemprov DKI Jakarta. Padahal, Teluk Jakarta yang merupakan
muara dari 13 sungai tercemar limbah dari sungai-sungai tersebut.
Alih-alih merevitalisasi, proyek reklamasi malah menyebabkan kumpulan
limbah tidak bergerak karena aliran air laut terhalang daratan baru
akibat reklamasi. Tak hanya itu, potensi banjir besar akibat reklamasi
tidak dijawab secara jelas oleh narasumber, Sarawendro, yang mengatakan
potensi banjir harus dipastikan mitigasinya kembali oleh pengembang,
bukan Pemprov. (press release/lasman simanjuntak)