Lukman Ladjoni : Kemenhub Harus Cermat Memilih Kebijakan -->

Iklan Semua Halaman

Lukman Ladjoni : Kemenhub Harus Cermat Memilih Kebijakan

Pulo Lasman Simanjuntak
03 Februari 2016

Surabaya,eMaritim.Com,-Rencana Menteri Perhubungan akan mengubah 17 Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) menjadi Badan Layanan Umum (BLU) disambut baik oleh pelaku usaha pelayaran sepanjang spiritnya untuk peningkatan pelayanan. Namun di sisi lain, klaim Menhub Ignasius Jonan bahwa BLU bisa mewujudkan konsep tol laut, dinilai terlalu dini.

“Kebijakan Menhub akan mengubah UPP menjadi BLU perlu didukung dalam kerangka peningkatan pelayanan. Namun jika upaya itu diklaim bisa mewujudkan konsep tol laut sebagaimana dimaksudkan pemerintahan Presiden Joko Widodo, nampaknya masih jauh,” kata Lukman Ladjoni, praktisi usaha pelayaran yang juga sebagai Penasehat DPP.INSA kepada wartawan di Surabaya, Selasa (3/02/16).

Seperti diketahui, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, melalui siaran persnya, Minggu (31/01/16) mengatakan, upaya mengubah UPP menjadi BLU diharapkan bisa meningkatkan pelayanan pelabuhan, dan dapat mendukung keinginan pemerintah mewujudkan tol laut. "Jika hal ini (BLU) sudah terbangun, maka konsep tol laut bisa terwujud," ujar Ignasius Jonan.

Menurut Ladjoni, istilah Tol Laut hendaknya tidak dimaknai secara sederhana. Masih banyak persoalan terkait transportasi laut yang perlu segera ditangani. “Ini soal prioritas kebijakan. Menyulap UPP menjadi BLU itu bagus dan perlu didukung. Tapi itu saja tidak cukup,” katanya.

Persoalannya, kata Ladjoni, bukan hanya fasilitas. Aspek sumberdaya manusia (SDM) juga penting. “Jika BLU tidak diikuti perubahan mental dan budaya kerja SDM di masing-masing unit, maka yang terjadi nantinya bukan kualitas layanan yang diutamakan, tapi target pendapatan yang dikejar.” 

Begitu juga kualitas SDM di tingkat Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) –terutama di level pimpinan. “Penunjukan pejabat di KSOP harus mempertimbangkan aspek profesionalitas, kompetensi dan leadership. Pimpinan di KSOP jangan mudah gonta-ganti, main tunjuk seenaknya atas dasar like and dislike, apalagi atas dasar saling menguntungkan. Pola ini harus dihindari, karena dampaknya tidak baik di lapangan,” kata Ladjoni.

Menurut dia, seluruh elemen di pelabuhan maupun di KSOP harus mengutamakan aspek pelayanan dan sikap rasionalitas. “Spiritnya hanya satu, yakni menciptakan sistem logistik nasional yang efektif, efisien, dan berdaya saing. Sehingga dengan sendirinya pelaku usaha terbantu,” katanya.

Selama ini, kata Ladjoni, pelaku usaha banyak menanggung (beban) biaya akibat tidak adanya prioritas kebijakan dari pemerintah dalam menyelesaikan aneka persoalan. Misalnya dwelling time yang terkadang sampai berhari-hari, tarif Terminal Handling Charge (THC) yang tidak murah, dan antrian pemeriksaan Bea & Cukai yang memakan waktu lama. Semua itu berkonsekwensi pada biaya yang menjadi beban pengusaha.

Ini baru persoalan yang ada di darat,  pada proses barang naik ke kapal. Begitu juga sebaliknya, saat barang turun dari kapal hingga ke depo peti kemas. Setiap keterlambatan pelayanan akan berkonsekwensi pada biaya. 

Belum lagi sederet persoalan yang ada di laut, terutama antrian sandar kapal. Setiap keterlambatan sandar selalu berdampak pada biaya, baik biaya BBM, operasional, maupun gaji ABK.

 Padahal, di luar itu, pelayaran sudah banyak mengeluarkan biaya untuk jasa tambat labuh, jasa pandu, jasa rambu, dan lainnya. Pada proses yang demikian ribet dan berbasis biaya, bagaimana mungkin bisa tercipta sistem logistik nasional yang efektif dan efisien.

“Ketika kapal sudah telat dari schedule-nya, maka akan ada biaya tambahan yang timbul seperti harus berlayar lebih cepat sehingga membutuhkan fuel yang lebih banyak (speed up to the next port). Ini pelabuhan yang bertele, tapi pelayaran yang terkena dampaknya. Ini juga bagian dari logistic cost,” tutur Ladjoni.

Tidak hanya sampai disitu. Beban waktu dan berdampak biaya juga terjadi manakala kapal tertahan oleh Airut. Belum lagi soal pengurusan dokumen kapal dan pengurusan SPB (surat persetujuan berlayar) yang memakan waktu lama, dan harus mengurus ulang dari awal jika kapal tidak segera berangkat lebih dari 24 jam. 

Semua proses yang bertele itu, kata Ladjoni, berkonsekwensi kepada biaya – sehingga daya saing perusahaan pelayaran nasional makin lemah.

Memasuki borderless economic community level Asean (MEA/Masyarakat Ekonomi Asean) – , sudah pasti pelayaran nasional tidak mampu bersaing melawan perusahaan pelayaran asing. 

Ladjoni mencontohkan. Beban biaya (day operation cost) yang harus ditanggung pelayaran mencapai Rp40 juta per hari untuk kapal kargo 6000 DWT. Padahal kapal berbobot segitu hanya mampu mengangkut 180 box (20 feed). Sementara ongkos angkuat hanya Rp2 juta per box atau totalnya Rp360 juta. 

“Bayangkan kalau dalam setiap dua bulan, misalnya, hanya tiga kali freight line, maka perolehannya hanya Rp1,1 miliar. Sedangkan biaya tiga bulan kapal di air mencapai Rp2,4 miliar. Kalau 50% modal perusahaan berasal dari pinjaman bank, maka sebentar saja perusahaan itu akan tutup,” kata Ladjoni.

Dalam kondisi yang demikian, katanya, apakah masih relevan berdiskusi soal spirit poros maritim, Tol Laut, dan logistik massal yang efektif dan efisien ?. “Kementerian Perhubungan harus lebih cermat dalam memilih prioritas kebijakan, jika menginginkan makna Tol Laut bisa terwujud secara nyata. Pelayaran itu adalah infrastruktur di laut. Penguatan terhadap pelayaran nasional urgen untuk dilakukan,” tegas Lukman Ladjoni.

Prioritas kebijakan dan anggaran harus diarahkan untuk mempercepat terciptanya efisiensi pelayaran. Misalnya memperpanjang dermaga sehingga sandar kapal bisa lebih cepat. Porses pengurusan dokumen kapal dicarikan format yang ringkas, cepat dan akurat. Kinerja KSOP juga diarahkan kepada aspek pelayanan, bukan hanya bermakna pengaturan dan pengawasan.

“Besaran anggaran pemerintah harusnya difokuskan untuk memangkas poin-poin hambatan tersebut, bukan malah untuk memperbesar nilai subsidi PSO kepada PT Pelni. BUMN ini sudah banyak mendapat subsidi, mulai dari subsidi PSO yang nilainya Rp 1 triliun, subsidi keperluan lima kapal Caraka Rp248 miliar, dan subsidi lima kapal perintis Rp27 juta per hari/kapal. Ini salah kaprah,” kata Ladjoni.

Selain merugikan uang negara, kata Ladjoni, subsidi terhadap PT Pelni sama dengan melemahkan keberadaan pelayaran swasta. “Kapal Pelni bisa menawarkan ongkos lebih murah dari tarif umum, karena Pelni disubsidi. Misalnya ongkos freight line Jakarta – Papua, kapal Pelni bisa menawarkan Rp8 juta per box, sementara tarif kapal swasta Rp 12 juta per box. Ini kan sama saja pemerintah menciptakan persaingan tidak s ehat,” katanya.

Harusnya, kata Ladjoni, spend anggaran yang besar diarahkan untuk subsidi operasional pelabuhan.

“Sehingga operasi pelabuhan bisa lebih efektif dan efisien dan itu manfaatnya bisa dirasakan oleh semua pihak. Ini lebih adil. Pelayaran itu jantungnya laut. Maka itu Kemenhub harusnya lebih aktif mengajak INSA dalam setiap menelorkan kebijakan dan program, agar bisa berhasil guna secara efektif bagi terciptanya sistem logistik nasional yang efisien dan efektif. Selama ini Menteri Jonan nampaknya kurang mendapat masukan yang tepat dari lingkungan Diperla ,” kata Ladjoni.(www.kanalsatu.com/za/las)