Mengembalikan Kejayaan Maritim Indonesia Dalam Konteks Beyond Cabotage -->

Iklan Semua Halaman

Mengembalikan Kejayaan Maritim Indonesia Dalam Konteks Beyond Cabotage

30 Oktober 2016

Jakarta, eMaritim.com

Jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan lebih dari 250 juta jiwa adalah pasar besar untuk ekonomi global. Begitu juga komoditas ekspor Indonesia yang melimpah mulai dari hasil bumi, mineral, perikanan sampai agriculture.
    
Semua itu sebagai dasar yang sangat baik bagi kemajuan industri maritim dimana hal primer dalam pakem SHIP FOLLOWS THE TRADE, PORTS GROW AFTER THE SHIP sudah tepenuhi.
 
Kebutuhan akan muatan banyak, ketersediaan muatan juga melimpah dalam konteks ekspor impor.


Pemerintah Indonesia sudah menerapkan kebijakan Azaz Cabotage yang tertuang dalam Inpres no.5 tahun 2005 dan diperkuat dengan Undang-Undang Pelayaran no.17 tahun 2008 dimana industri pelayaran sudah berkembang dengan cukup baik setelah adanya kebijakan tersebut.

 
Tetapi pelayaran tersebut umumnya adalah pelayaran lokal yang saat ini juga sedang menderita karena krisis ekonomi yang berkepanjangan dan diyakini tidak cukup untuk kembali berkiprah sebagai negara maritim yang disegani. 

Sementara untuk pelayaran Internasional, nama-nama seperti Djakarta Lloyd dan Trikora Lloyd tidak pernah muncul lagi.       

Dibutuhkan penanganan dalam kerangka nasional dan melibatkan beberapa kementrian untuk mengembalikan kejayaan armada nasional seperti masa masa tahun 80an.


Adalah kebijakan Ekspor barang dalam skema CnF ( atau CIF) dan import dalam FOB yang dianggap bisa menjadi salah satu kunci mengembalikan kejayaan tersebut.

  
Berikut adalah ulasan emaritim.com atas permasalahan yang selama ini terjadi di perdagangan ekspor impor Indonesia.
               
Kecenderungan peng-ekspor barang melakukan bisnis dengan skema FOB bisa dipahami dikarenakan mereka tidak mau pusing dengan persoalan mencari kapal, asuransi dan tetek bengeknya. 


Mereka seperti menjual barang dengan harga pabrik tanpa harus pusing mengurus soal pengapalan, asuransi muatan dan segala urusan ke pabeanan. 

Katakanlah barang yg dijual di gudang Tanjung Priok bernilai 400 USD dalam skema FOB sementara jika dijual sampai di gudang pelabuhan terdekat dari tempat tujuan dalam skema CnF atau CIF bernilai 600 USD. 

Dimana 200 USD adalah biaya freight ditambah asuransi dan biaya kepabeanan. 

Skema FOB terlihat seperti sesuatu yang lebih mudah bagi para eksportir, tetapi jika disadari betapa banyak kesempatan memajukan perekonomian apabila ekspor menggunakan skema CnF ( CIF ) maka semua jumlah itu tidak main-main. 

Lebih jauh lagi kebijakan ekspor dalam CnF bisa menghidupkan industri pelayaran, galangan kapal dan juga lapangan kerja untuk pelaut dan pekerja lainnya.

Dengan skema ekspor dalam CnF (CIF) maka selain ekportir bebas memilih perusahaan pelayaran mana (dalam/luar negeri) juga bisa mendapatkan diskon freight dari pelayaran. 

Apabila 10 % dari barang ekspor impor Indonesia diangkut oleh perusahaan dalam negerai maka sesuatu yang besar sudah bisa dilakukana dalam konteks membangkitkan industri maritim.
              
Jika total muatan ekspor impor berjumlah 600 juta ton dengan freight per ton rata-rata 30 USD, maka ada uang freight yang lepas dari tangan perusahaan pelayaran Indonesia sebesar 18 Milyar USD dan jika 10% menggunakan perusahaan pelayaran Indonesia maka sedikitnya ada 1.8 milyar USD yang bisa diserap industri pelayaran kita, dan bisa diprediksi efek positif terhadap hal-hal lain dari perubahan kebijakan ini.  

Data Biro Pusat Statistik menunjukkan total nilai ekspor 2015 adalah sebesar 150.252,50 juta US$ sementara nilai impor adalah 142.739,60 juta US$. Kalau digabungkan nilai ekspor dan impor ini maka akan ada jumlah sekitar 300 milyar USD.
               
Sayangnya statistik kita tersebut tidak pernah menghitung berapa freight yang terbang ke negara asing, jika uang freight adalah 6 persen dari nilai barang ekspor impor maka ilustrasi diatas akan menemukan angka yang sama yaitu ada uang yang terbang sebesar 18 milyar USD untuk pelayaran.


Apakah penerima barang di luar negeri memilih antara mengimpor barang nya dalam skema FOB atau CnF? Untuk mereka sama saja, karena para trader akan tetap menjual barang di negara tujuan dengan beban transportasi dan segala pajak yang mengikutinya.

              
Disinilah peran pemerintah dibutuhkan untuk mendudukkan kementrian terkait agar bisnis bisa saling merangkul dan sama-sama bertujuan memajukan bangsa ini tanpa pemikiran yang sektoral.


Sementara untuk skema impor yang mana selama ini dilakukan dalam skema CnF alias importir Indonesia membayar barang dengan harga di gudang Pelabuhan terdekat sebaiknya diubah menjadi skema FOB. 

Disini diperlukan keberanian importir untuk mencari pengangkut sendiri dengan kebebasan memilih pelayaran yang disukainya.

Bisnis impor dan ekspor dalam dunia Shipping business akan berkembang pesat apabila pemerintah berani membuat kebijakan buat para trader, importir dan eksportir untuk bersama-sama memikirkan yang terbaik bagi bangsa ini.


Memang tidak mudah menggabungkan kemampuan bisnis dengan pengertian akan dunia maritim itu sendiri, tetapi yang harus dilakukan adalah perubahan paradigma bisnis negara ini sendiri. 

Kegemaran menggandeng mitra asing oleh perusahaan BUMN harus segera ditengarai, seperti yang baru-baru ini terjadi di Makassar dimana perusahaan asing SITC Hongkong seperti mendapatkan keistimewaan jatah muatan dari Makassar ke Hongkong dengan kemasan Direct Call.
       
Terdengar lucu apabila perusahaan pemerintah dengan bangga mengatakan bahwa untuk memajukan industri pelayaran mereka menggandeng mitra asing dengan alasan lebih kompetitif.


 Harus diingat bahwa bunga pinjaman di negara seperti Taiwan, Hongkong atau Jepang hanya berkisar antara 0,1 % sampai 0,5% sementara swasta di negeri ini masih berkutat di angka 2 digit.


Dan pemerintah Indonesia sendiri belum me ratifikasi kebijakan Arrest of Ship sehingga pelayaran Indonesia bisa mendapatkan pinjaman dari bank asing secara terbuka.

Julukan negara maritim masih harus dibarengi dengan beberapa kebijakan dan tentunya pemahaman yang lebih mendalam akan dunia maritim itu sendiri.
           
Jika negara ini punya Universitas khusus bidang Pertanian,Teknik,dan lain lain maka sudah sangat wajar apabila Universitas Maritim dibangun di negara Maritim ini karena besarnya potensi dibidang ini bukan hanya ada di pelayaran nya saja. (ZAH)