HUBLA , Mau Dibawa Kemana ? -->

Iklan Semua Halaman

HUBLA , Mau Dibawa Kemana ?

04 November 2016
Jakarta, eMaritim.com

Banyaknya kecelakaan kapal di tahun 2016 dan tahun tahun sebelumnya menarik untuk di telaah secara lebih mendalam untuk dicarikan Root Cause Analysis nya agar bisa dijadikan rekomendasi dan dipakai sebagai sebuah acuan untuk tidak terjadi repetitive accident yang merugikan semua pihak.

Redaktur eMaritim mencoba melihat dan mengulas kedalam organisasi yang menaungi bidang pelayaran dan kepelautan tersebut.

Direktorat Jendral Perhubungan Laut memiliki bisnis utama yaitu Keselamatan Pelayaran, dan ini harus disepakati sebagai dasar dibentuknya Direktorat ini.
Bahwa Kapal dan Pelautnya adalah pemeran utama dari semua kegiatan HUBLA adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Untuk menunjang keselamatan pelaut dan kapalnya maka dibentuklah beberapa bidang dibawah HUBLA yaitu : Ditkapel, Ditlala, Ditpelpeng, KPLP, Disnav, dan bidang pengembangan SDM nya.

Mudah dipahami tugas dan fungsi organisasi turunan HUBLA mana yang menjadi MAIN CORE dari kegiatan HUBLA secara umum.

Dibutuhkan keahlian khusus untuk bisa menjalankan roda organisasi tersebut karena sifat pekerjaan pelaut dan pengoperasian sebuah kapal beserta kegiatan yg ada disekelilingnya begitu kompleks. Apabila disebuah perusahaan pelayaran di persyaratkan adanya orang orang dengan latar belakang LAUT dalam mendirikan nya serta dalam pengoperasian hari hari kapal tersebut,, maka kebijakan tersebut sudah merefleksikan bahwa pemahaman akan dunia pelayaran dan kepelautan adalah mutlak untuk sebuah perusahaan pelayaran.

Kesulitan tatanan dalam kepegawaian di kementrian kementrian yang mensyaratkan bahwa orang orang yang akan menduduki posisi krusial didasarkan kepada golongan kepegawaian yang sesuai kriteria, bukan kepada kemampuan teknis dan manajerial nya dan bahkan celakanya kadang ada pesan titipan untuk sebuah posisi yang penting.

Disinilah kelemahan yang terlihat bahwa HUBLA tidak mempersyaratkan keahlian yang spesifik dan kemampuan manajerial yang mumpuni untuk hal tersebut.
Akan terasa hambar mendengar paparan teknis mengenai perkapalan dan kepelautan dari pejabat yang tidak tau apalagi pernah menjadi bagian dari itu.
Begitu banyak referensi nasional dan Internasional di bidang ini karena sifat pelayaran adalah global yang harus dikuasai mulai dari IMO, STCW, MLC, ITF, IMCA, OCIMF, IMCA, IALA, dan segudang referensi lainnya.

Pada beberapa hal bahkan aturan yang diterbitkan HUBLA kontra produktif untuk dunia pelayaran dan kepelautan, dan celakanya hal tersebut tidak disadari oleh pembuat kebijakan itu sendiri dikarenakan ketidak pahaman HUBLA dan juga mengakomodasi masukan daribpara ahli dan pelaku dibidang tersebut.
Sebut saja KM 70 tentang pengawakan, KM 130/135 soal pembagian wilayah kerja, dan aturan untuk kapal non konvensi (NCVS).

Belakangan bahkan HUBLA menyerahkan urusan sertifikasi pelaut kepada BPSDM (berita trans, 2/11) sebuah lembaga edukasi administrasi Kementrian Perhubungan yang sepertinya semakin mengaburkan makna dari Competent Authority/Flag State Administration/Seafarer State Administration dari HUBLA  yang selama ini berperan juga sebagai pelaksana Operasi, Sertifikasi, dan Keselamatan Pelayaran bagian dari pemerintah.
Kisruh yang terjadi seperti bukan dicarikan solusi sebagai langkah perbaikan organisasi tetapi dilempar ke lembaga lain. Mau dibawa kemana HUBLA?.
(zah)