Gross Split versus Cost Recovery dalam kacamata Maritim Indonesia -->

Iklan Semua Halaman

Gross Split versus Cost Recovery dalam kacamata Maritim Indonesia

15 Desember 2016
Balikpapan 15 Desember 2016, eMaritim.com

Bertempat di Penang Bistro and Restaurant, jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat diadakan Focus Group Discussion yang menampilkan pembicara Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral Archandra Tahar  pada hari Rabu 14 Desember 2016.

FGD tersebut khusus membahas mengenai rencana pemerintah memberlakukan aturan baru dalam kegiatan ekplorasi dan ekploitasi Migas kedepan.

Dengan tema GROSS SPLIT versus COST RECOVERY acara tersebut dihadiri oleh banyak stake holder di bidang Migas yang berkepentingan atas wacana perubahan tersebut.

Sementara dunia maritim Indonesia diwakili oleh Forum Komunikasi Maritim Indonesia (FORKAMI) yang pada kesempatan tersebut menampilkan James Talakua sebagai Ketua Umum Forkami dan Hengky Runtunuwu selaku Penasehat Bidang Migas.

Acara yang dipandu oleh Professor Saroha tersebut berlangsung menarik karena dihadiri para ahli di bidang Migas.

Secara garis besar dijelaskan Gross Split adalah aturan baru yang akan di implementasikan rencananya mulai awal thn 2017 oleh ESDM dengan para K3S (Kontraktor Kontrak Kerjasama/ oil company) untuk kontrak kerja wilayah operasi yg benar-benar baru dan atau wilayah operasi yangg telah habis masa berlakunya.

Untuk itu pemerintah akan menentukan sedari awal tentang pembagian keuntungan dari hasil yang didapat dengan basis 70% untuk goverment  dan 30 % untuk kontraktor (angka indikasi) dan pemerintah tidak akan ikut campur dalam hal bagaimana kontraktor berinvestasi, mengelola dengan teknologi dan peralatan penunjang operasi yang kesemuanya akan menjadi urusan kontraktor.

Perhatian pemerintah hanya WP (working and plan) ketimbang yang selama ini berlaku yaitu WPnB (working plan and budget) seperti pada rezim Cost Recovery.

Dalam wawancara elektronik Hengky Runtunuwu yang pernah menjabat sebagai Vice President Conoco Phillips beberapa tahun lalu menjelaskan: "Ada banyak variabel variabel yang akan bisa menambah bagian keuntungan dari kontraktor yg akan ditambahkan ke sistem gross split misalnya, jika WK (wilayah kerja) di Offshore dan juga TKDN.

Semakin besar TKDN (Tingkat Kandungan Dalam maka gross profit terhadap kontraktor akan semakin besar demikin juga jika laut semakin dalam itu juga akan dapat membah gross share untuk kontraktor, yang artinya bagian pemerintah akan berkurang".

Lebih jauh dalam kaitan nya dengan industri maritim Indonesia, Hengky menjelaskan: "Nah kami dari Forkami melihat dua element penting disini yang langsung bersinggungan dengan kita, yaitu Offshore dan TKDN.

Karena kemungkinan besar kontraktor Migas akan cenderung memakai kapal penunjang operasi berbendera asing disatu sisi dan TKDN juga akan jadi berkurang. Bagaimana dengan nasib kapal-kapal yang telah berbendera Indonesai dan atau industri penunjang galangan kapal.

Disisi lain juga kita punya UU Pelayaran 17, dan Azas Cabotage/ Beyond Cabotage. Ini pasti akan bertabrakan keras dengan kebijakan tersebut.

Dan yg kami juga ingatkan bahwa Presiden Jokowi mempunyai visi dan misi tentang poros maritim dan tol laut, ini harus diperhatikan dan dicari jalan keluar yang terbaik jika gross split akan diterapkan, kerena dunia pelayaran yang bergerak dalam Industri Oil and Gas akan semakin parah.

Saat ini dengan harga minyak  yang terjun bebas sudah membuat kita hidup segan mati tidak mau, banyak kontrak kapal yg di-renegosiasi ulang DCR (Daily Charter Rate) nya, bahkan banyak di putus kontraknya ditengah jalan.

Belum lagi efek domino dimana Perbankan tidak percaya dengan perusahaan pelayaran dan crew kapal yang menganggur".

Keberadaan para ahli bidang maritim sudah sepantasnya menjadi referensi pemerintahan Jokowi-JK untuk bisa lebih baik lagi menata rencana besar program Tol Laut dan Poros Maritim dunia. Sebelumnya juga diadakan FGD mengenai Non Convention Vessel Standard yang kesemuanya menampilkan Intelektual Property bangsa ini.

Sudah saatnya pemerintah harus mengalihkan kiblat referensi kepada para ahli maritim yang banyak berada diluar birokrasi dengan cara membuka diskusi ilmiah, karena mereka semua berfikir dan bekerja berdasarkan ilmu dan pengalaman yang puluhan tahun menjadi bagian hidupnya.(zah)