Kecelakaan KM Zahro Ekspress menyisakan 8 Pertanyaan Seputar Syahbandar -->

Iklan Semua Halaman

Kecelakaan KM Zahro Ekspress menyisakan 8 Pertanyaan Seputar Syahbandar

04 Januari 2017
Jakarta 4 Januari 2017, eMaritim.com

Tragedi kecelakaan KM Zahro Ekspress yang mengakibatkan 23 jiwa melayang dan puluhan luka-luka berbuntut kepada pencopotan Syahbandar Muara Angke Deddy Junaedi. Menanggapi hal tersebut seperti yang dikutip dari media detik.com Deddy mengatakan: " Itu yang bertanggung jawab nakhoda. Nakhoda itu berhak untuk tidak berangkat jika ada keraguan, kalau tidak layak".

"Sebelum berangkat kapal dilengkapi manifes, yang menentukan itu bukan syahbandar tapi nakhoda kapal, kewajiban kita untuk periksa itu tidak ada," lanjut Deddy.

Deddy merasa sudah menjalankan segala hal. Jika dilakukan pengecekan, akan memakan waktu yang lama.
"Kalau kita suruh periksa, berapa lama," kata Deddy.

Menarik untuk di teliti pernyataan Syahbandar tersebut apakah sejalan dengan Undang Undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran pada Bab 1 point 56, Bagian 3 pasal 18, point 5, pasal 47, pasal 80 point 4, pasal 138, Bab XI pasal 207, pasal 208, pasal 209, pasal 210 dan pasal pasal lainnya. Juga harus diperhatikan SOP,SOW dan Juklak dari Syahbandar itu sendiri.

Tanggung jawab Syahbandar sangat berat dalam menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran, karena Syahbandar merupakan pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.

 Mengangkat seorang syahbandar juga bukan sembarangan hanya didasarkan pada golongan karyawan tersebut di HUBLA saja. Ada kaidah kaidah yang tidak bisa dilanggar karena ditetapkan dalan Undang Undang 17 tahun 2008 tentang pelayaran, Undang Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Indonesia nomor 51 tentang Sumber Daya Manusia di Bidang Transportasi. Baca juga artikel :

Menteri Perhubungan Budi Karya Samadi tentu tahu bagaimana proses penunjukan seorang syahbandar dan apa kriteria yang dibutuhkan agar tidak melanggar kaidah tersebut.

Setelah menilik lebih jauh mengenai dasar pendidikan Deddy Junaedy dari kalangan pegawai HUBLA, diketahui bahwa Deddy tidak pernah mengenyam pendidikan maritim seperti layaknya seorang syahbandar yang umum. Apa yang salah disini ?

Sementara itu setelah kejadian kecelakaan KM Zahro Ekspress
Direktur Jenderal Perhubungan Laut A Tonny Budiono menyatakan bahwa KM Zahro Express Laik Laut sebelum mengalami kebakaran di perairan Kepulauan Seribu.

"Berdasarkan laporan yang kami terima, Surat Persetujuan Berlayar (SPB) Zahro Express dikeluarkan oleh Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Muara Angke dan dinyatakan layak untuk berlayar," ujarnya di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Minggu malam.

Mari kita memahami apa itu Laik Laut dan Surat Persetujuan Berlayar.

Definisi dari Surat Persetujuan Berlayar itu sendiri adalah Dokumen Negara yang dikeluarkan oleh Syahbandar kepada setiap kapal yang akan berlayar meninggalkan pelabuhan setelah kapal memenuhi persyaratan LAIK LAUT  kapal dan kewajiban lainnya.

Sedangkan pengertian Kelaiklautan Kapal adalah Keadaan Kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan awak kapal, dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu.

Keselamatan Kapal itu sendiri adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.

Maka akan tersisa 8 pertanyaan buat Insan Maritim Indonesia:

Kalau kapal memenuhi aspek keselamatan seperti yang disebutkan diatas, kenapa hal ini bisa terjadi?

Kenapa seorang syahbandar mengatakan dia tidak berkewajiban memeriksa kapal?

Kenapa seseorang yang tanpa bekal ilmu dari rumpun ilmu pelayaran bisa menjadi Syahbandar?

Apakah kualifikasi untuk menjadi seorang Syahbandar ?

Apakah harus hanya pegawai HUBLA yang bisa menjadi syahbandar?

Apabila tidak ada lagi orang dengan dasar ilmu dari rumpun pelayaran, siapa yang menjadi syahbandar?

Siapakah yang menentukan seseorang menjadi Syahbandar ?

Lalu siapa yang mengangkat Syahbandar Muara Angke dulu, apakah yang memilih tidak salah?(Capt.Zaenal Hasibuan)