Polemik Retribusi Kapal Melewati Jembatan Kapuas 1 -->

Iklan Semua Halaman

Polemik Retribusi Kapal Melewati Jembatan Kapuas 1

02 April 2017

Jakarta 2 April 2017, eMaritim.com

Polemik yang ada di Sungai Kapuas mengenai Peraturan Gubernur Kalimantan Barat nomor 93 tahun 2015 dan Surat Edaran Gubernur tentang Pemanduan Kapal Melewati Jembatan Kapuas 1 nomor 552/2908.1/DPHB KFO-1 tahun 2016 serta Peraturan Menteri Perhubungan nomor 53 tahun 2015 berlanjut kearah dugaan Tindakan Dugaan Korupsi pada pemungutan tarif kapal kapal yang lewat di sungai Kapuas.

Pihak Polda Kalbar mencurigai adanya kemungkinan tindakan korupsi dengan masalah tarif pemanduan dan penundaan kapal kapal yang lewat disana. Besaran biaya yang disepakati adalah Rp.4,1 juta kepada kapal yang menggunakan jasa di kolong jembatan dimana sebelumnya tarif itu adalah Rp. 6 juta.Menanggapi hal tersebut eMaritiim.com mengeluarkan ulasan yang dibuat oleh Pemimpin media sebagai berikut.

Ada lebih dari 15 cara bisa dilakukan untuk melindungi kaki jembatan disungai agar tidak tertabrak oleh kapal kapal yang lewat. Secara garis besar hal tersebut terbagi menjadi 3 bagian besar atas unsur unsur:

1. Standard Operational Procedure melewati jembatan.
2. Sarana Perlindungan Kaki Jembatan.
3. Faktor Navigator dan Kapal yang melewati jembatan.

Tidak adanya kejelasan SOP untuk melewati jembatan menjadi salah satu faktor tertabraknya jembatan oleh kapal yang lewat. Bahwa dalam bernavigasi setiap kapal harus melakukan di saat air tenang atau bermanuver melawan arus tidak dilaksanakan dengan baik. Seharusnya Otoritas Perairan menetapkan bahwa kapal ukuran tertentu harus melewati jembatan pada saat air tenang ataupun melawan arus menjadi suatu SOPs. Ini mudah dipahami karena kapal memang di desain untuk bermanuver dengan haluan nya, baik terhadap arah angin ataupun arah arus. Dan apabila ada keadaan dimana kapal yang menuju jembatan mengalami mati mesin, maka kapal akan menjauh dengan sendirinya dari jembatan karena kembali terdorong oleh arus yang datang dari depan. Kebanyakan kapal penarik tongkang malah menjalankan kapal dengan didorong arus saat melewati daerah kritis untuk menghemat bahan bakar, ini pemahaman yang terbalik mengenai cara bernavigasi yang aman.

Sarana pelindung dan penunjang disekitar jembatan pun seharusnya disediakan seperti rambu-rambu yang menyatakan bahwa kapal harus menunggu di Stand by Mooring Pile karena masih terdorong arus, atau kapal boleh lewat bagi yang melawan arus. Sangat berbahaya apabila ada kapal yang berpapasan dibawah jembatan. Pembuatan area menunggu bisa dibuat di kedua sisi jembatan demi menghindari hal tersebut.
Selanjutnya Penguatan Kaki Jembatan adalah faktor lain yang harus bisa dibuat, misalnya dengan mendangkalkan area sekitar kaki jembatan atau dengan sistem Dolphin yang kuat, bukan sekedar Vertikal Pile yang selama ini ada.

Hal ketiga adalah faktor Kompetensi Navigator dan Pemilihan Kapal untuk kegiatan Towing. Sudah sepantasnya pemilik kapal memilih Nakhoda yang pengalaman untuk daerah daerah yang kritis, jika diperlukan untuk mengadakan training bekerjasama dengan otoritas dan lembaga yang kompeten untuk melatih para navigatornya. Kerugian besar akan terjadi apabila kapal dinakhodai oleh awak yang tidak pengalaman dan tidak diberikan pembekalan yang cukup dalam aspek pengetahuannya seperti kejadian menabrak jembatan. Nakhoda yang berkualitas akan memilih waktu berangkat kapalnya disesuaikan dengan waktu tiba di kolong jembatan agar sesuai dengan keadaan arus yang diinginkan. Serta pengetesan alat kemudi, mesin kapal serta mempersiapkan awak kapal saat melewati area kritis seperti itu.

Kajian Pemerintah Daerah dalam menentukan cara perlindungan Aset Nasional seperti Jembatan Kapuas 1 sudah seharusnya melibatkan para ahli dari berbagai pihak, agar hasilnya benar benar komperhensip dengan mengeliminasi resiko itu sebaik-baiknya.
Semua hal yang dijabarkan diatas bisa dipakai sebagai dasar melindungi jembatan dari resiko tertabrak kapal, dan bisa dipilih mana yang paling kuat pengaruhnya dalam meng eliminasi kemungkinan jembatan tertabrak. Sementara kegiatan Pemanduan danTug Assist dikolong jembatan bukanlah hal permanen yang bisa menjamin bahwa kapal tidak akan menabrak jembatan, karena Hazard nya tetap tidak dilindungi secara komperhensip. Hal ini hanya menjadikan ekonomi biaya tinggi karena orientasi melindungi kaki jembatan sudah terkontaminasi dengan orientasi mendapatkan pemasukan dari kapak kapal yang melewati daerah bahaya, tak ubahnya seperti Pak Ogah di persimpangan jalan kota Jakarta.(Capt. Zaenal A Hasibuan/FORKAMI)