Kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub) | Istimewa |
Jakarta, eMaritim.com – Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terhadap Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla), yakni A. Tony
Budiono, merupakan ketiga kalinya dalam masa kepemimpinan Menteri Prehubungan
(Menhub) Budi Karya Sumadi. Menanggapi hal ini, peneliti dari Pusat Kajian
Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, mengatakan, sebaiknya Menhub untuk
mengundurkan diri demi mempermudah pemeriksaan oleh KPK terkait kasus suap di
Ditjen Hubla.
"Sudah
terjadi tiga kali saya kira di masa pak Budi. Sehingga sekali lagi klaim beliau
upaya perbaikan dengan kejadian tersebut menjadi bertolak belakang sehingga
alangkah baiknya kemudian secara ksatria boleh mengundurkan diri," kata
Abdul, Selasa, (29/8).
Ia menduga,
praktik korupsi tidak hanya melibatkan Antonius Tonny Budiono selaku Dirjen
Hubla, melainkan jajaran oknum birokrasi di bawah bahkan di atas
"Dalam
konteks beberapa proyek yang ada dan perencana yang terlibat beliau (Budi
Karya) kan tahu dan beliau menyetujui itu," tuturnya.
Meski belum
ada indikasi keterlibatan menteri, Abdul dilansir kepada metrotvnews.com, menyebut dengan mengundurkan diri adalah bukti
pertangungjawaban. Proses pengunduran diri bisa atau tanpa persetujuan dari
Presiden Joko Widodo.
"Sekali
lagi agar upaya perbaikan di Kementeriannya betul-betul berlangsung paripurna,
tidak lagi terulang untuk tahun ini," pungkas dia.
Sebelumnya,
KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Dirjen Hubla Kemenhub
Antonius Tonny Budiono di Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Rabu 23 Agustus
2017. Tonny ditangkap karena menerima suap dari Komisaris PT Adhi Guna
Keruktama (AGK) Adiputra Kurniawan (APK).
Dari hasil
pemeriksaan, suap sebesar Rp 20 miliar itu diberikan Adiputra berkaitan dengan
perizinan atas sejumlah proyek di lingkungan Ditjen Hubla, salah satunya
pekerjaan pengerukan Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah. Tak hanya
itu, dengan bukti yang cukup KPK akhirnya menetapkan Tonny dan Adiputra sebagai
tersangka.
Akibat
perbuatannya, Tonny selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau
Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B UU nomor 31 tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor).
Sementara
Adiputra yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap disangkakan melanggar
Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU nomor
31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(*)