Keamanan Laut yang Lemah, Karena Negara Tidak melaksanakan Amanat UU.17 tahun 2008 -->

Iklan Semua Halaman

Keamanan Laut yang Lemah, Karena Negara Tidak melaksanakan Amanat UU.17 tahun 2008

30 Agustus 2017
Jakarta 30 Agustus 2017, eMaritim.com





Perampokan kapal terjadi di Perairan Wangi Wangi, Sulawesi tenggara menimpa Kapal Tanto Sakti 2 disertai tindak kekerasan dan pengrusakan peralatan komunikasi milik kapal. Hal serupa sering terjadi di beberapa perairan Indonesia walupun sudah menurun intenstitasnya setelah Selat Sumatera aman terkendali. Hal yang selalu menjadi ganjalan dunia Pelayaran dan Kepelautan selama ini kembali membuat semua pihak semakin sulit. Masih lekat dalam ingatan bagaimana masalah perampokan kapal kapal di area Filipina Selatan berujung kepada masih dilarang nya kapal ukuran dibawah 500 GT melewati daerah tersebut lewat Moratorium nomor 183/X/DN-16. Lalu kenapa hal yang menyangkut keamanan di laut sepertin tidak pernah usai di negara ini ?

Mengutip wawancara eMaritim dengan Laksdya (purn) Soleman B Ponto (*) yang menjabat sebagai Kepala Badan Intelejen Strategis 2011-2013, bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa kegagalan negara dalam melaksanakan amanah UU no.17 tahun 2008 tentang pembentukan Sea and Coast Gurd (Penjagaan Laut dan Pantai) menjadi sebab musabab gagalnya negara hadir di laut untuk memberikan keamanan bagi kegiatan maritim diatasnya. Secara luas hal ini berdampak kepada masih dianggapnya perairan Indonesia sebagai perairan yang tidak aman oleh dunia Internasional, karena negara belum memiliki Sea and Coast Guard tersebut.
Lalu bagaimana dengan keberadaan KPLP , Pol Air, KAMLA, BAKAMLA dan aparat lain yang selama ini seperti saling tumpang tindih kuasa diatas air ? Berikut adalah petikan yang diambil dari wawancara dan blog spot milik Laksamana yang masih terlihat sangat antusias saat membicarakan persoalan maritim negeri ini 

Pada Juni 2015, Menteri Perhubungan Ignaius Jonan Menyatakan bahwa ia berencana membentuk Direktorat Jenderal baru dibawah kementerian Perhubungan, Direktorat itu adalah Direktorat Jenderal Penjagaan Laut dan Pantai. menurutnya hal tersebut merupakan pekerjaan rumah Kementeriannya selama ini.

Bila dicari dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran, maka pada BAB XVII PENJAGAAN LAUT DAN PANTAI (SEA AND COAST GUARD) Pasal 276 ditemukan perintah membentuk Penjaga laut dan Pantai untuk menjamin terselanggaranya keselamatan dan keamanan dilaut.  

Selengkapnya ketentuan itu berbunyi :

 BAB XVII PENJAGAAN LAUT DAN PANTAI (SEA AND COAST GUARD) Pasal 276

(1) Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan   peraturan perundang-undangan di laut dan pantai.
(2) Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) dilakukan olehpenjaga laut dan pantai.
(3) Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada  ayat (2) dibentuk danbertanggung jawab pada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.            

Buah simalakama bagi Menteri Perhubungan.

Mengalir dari ketentuan Undang-undang tersebut, bila Pembentukan Direktorat Jenderal tetap dilaksanakan maka akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :

1. Direktorat yang dibentuk, hanya bertanggung jawab terbatas kepada Menteri Perhubungan saja.
2. Direktorat yang dibentuk menjadi ilegal karena tidak memiliki dasar hukum pembentukannya.
3.Direktorat yang dibentuk itu tidak akan ada manfaatnya, karena tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik, sehingga pembentukannya menjadi mubasir atau pemborosan.
4. Menteri Perhubungan dapat dituduh dengan sengaja mengabaikan Perintah Undang-undang agar membentuk Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai yang bertanggungjawab langsung kepada presiden.

Bila yang dibentuk adalah Kesatuan Penjaga laut dan Pantai atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Sea and Coast Guard, maka kaitannya sebagai berikut :

1. Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai atau Coast Guard akan bertanggungjawab langsung kepada Presiden melalui Menteri Perhubungan

2. Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai atau Coast Guard memiliki kewenangan sebagai penyidik seperti bunyi pasal 278  Undang-udang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang berbunyi :

(2.1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277, penjaga laut dan pantai mempunyai kewenangan untuk: melaksanakan patroli laut, melakukan pengejaran seketika (hot pursuit), memberhentikan dan memeriksa kapal dilaut; dan melakukan penyidikan.

(2.2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.               

3. Pembentukan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai ini tidak hanya merupakan amanat dari peraturan perundangan nasional yaitu UU no 17 tahun 2008 tentang pelayaran, tetapi juga merupakan amanat peraturan perundangan internasional yaitu peraturan Internasional Maritim Organisation (IMO).

4. Dengan dibentuknya Kesatuan Penjaga laut dan Pantai maka menteri perhubungan telah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perintah Undang-undang.

Saya yakin bahwa menteri Perhubungan sangat mengerti bahwa yang harus dibentuk adalah Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden bukan direktorat Penjaga Laut dan pantai yang bertanggungjawab kepada menteri yang tidak memiliki landasan hukum. Tapi hal itu terpaksa dilakukan untuk menghindari terjadinya benturan dengan dibentuknya Bakamla atas perintah Undang-undangnomor 32 tahun 2014 tentang kelautan. 

Ditinjau dari aturan perundangan, Pembentukan Bakamla telah menimbulkan beberapa permasalahan hukum yaitu :

1. Perpres nomor 178 tahun 2014.
Bakamla dibentuk melalui Perpres nomor 178 tahun 2014 berdasarkan Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan. Sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Hierarki Pembentukan Undang-undang, maka Perpres tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang menjadi dasar pembentukannya dan perpres dibuat berdasarkan undang-undang yang memerintahkannya.
Pasal 2 Perpres nomor 178 tahun 2014 berbunyi, Bakamla bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menko Polhukam. Sedangkan pada Pasal 60 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menyatakan bahwa Badan Keamanan Laut berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikannya.

Timbul pertanyaan siapa sebenarnya Menteri yang berhak untuk mengoordinasikan Bakamla?
Seperti diketahui bahwa Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang kelautan dibuat untuk menjadi pedoman bagi menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kelautan dalam membangun Kelautan. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kelautan adalah Menteri Kelautan dan Perikanan yang berada dibawah Koordinasi Menteri Koordinator Kemaritiman. Perpres nomor 178 tahun 2014 tentang Pembentukan Bakamla adalah perintah dari Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan sehingga perpres tersebut tidak boleh bertentangan dengan dengan Undang-undang yang memerintahkannya. Dengan demikian, maka Bakamla yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan bertanggung jawab kepada presiden hanya dapat melalui MKelautan dan Perikanan. Mengingat Menteri Kelautan dan Perikanan berada dibawah Menteri Koordinator Kemaritiman, maka Menko Kemaritiman dapat juga menjadi Koordinator Bakamla. Menteri Kelautan dan Perikanan tidak berada dibawah Koordinasi Kemenko Polhukam. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan tidak ditemukan sama sekali ketentuan yang mengatur hubungan antara Bakamla dengan Menkopolhukam. Dengan demikian maka Pasal 2 Perpres 178 tahun 2014 bertentangan Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan yang menjadi landasan pembentukan Bakamla.

2.Tugas Bakamla
Tugas Bakamla diatur pada ketentuan yang terdapat pada pasal Pasal 61 yang berbunyi :
Badan Keamanan Laut mempunyai tugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah    perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.
           
Sangat jelas tugas Bakamla hanya melakukan patroli. Tidak ada tugas spesifik yang hanya dapat dilakukan oleh Bakamla sehingga Bakamla menjadi penting untuk segera dibentuk.  Hal semacam inilah yang mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kewenangan antar satuan yang beroperasi di laut.

Bandingkan dengan tugas-tugas dari Kesatuan Penajaga laut dan Pantai disingkat KPLP atau dalam bahasa Inggris diisebut Sea and Coast Guard yang terdapat pada  BAB XVII Pasal 277 ayat 1 Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran yang berbunyi :

(1)  Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas:
a. melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran;
b. melakukan pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan pencemaran di laut;
c. pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal;
d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi     kekayaan laut;
e. pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan
f. mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa di laut.

Terlihat tugas KPLP lebih jelas dan luas. Misalnya tugas yang terdapat pada huruf  d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut;Tugas ini sangat luas sampai mencakup eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut. Jadi kegiatan pengeboran minyak di laut dan penangkapan ikanpun diawasi dan dapat ditertibkan oleh KPLP, karena kegiatan itu dapat mengganggu dan membahayakan pelayaran.

3.Pelaksanaan tugas.
Bakamla bukan penegak hukum, anggotanya bukan penyidik, sehingga penegakan hukum atas pelanggaran terhadap Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang kelautan tidak mutlak harus dilakukan oleh Bakamla, tetapi dapat dilakukan oleh satuan lain sepanjang diberikan tugas dan kewenangan oleh Undang-undang.  Hal ini terlihat pada bunyi ketentuan yang terdapat pada pasal 59 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang kelautan yang berbunyi :
(1) Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, dasar Laut, dan tanah di bawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan dan hukum internasional.

(2) Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakansesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Pada Pasal 59 ayat 1 dan 2 kalimat “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional”  menegaskan bahwa penegakkan kedaulatan dan hukum atas pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat dilakukan oleh satuan lain sepanjang diberikan kewenangan oleh Undang-undang. Misalnya, TNI AL berdasarkan Undang-undang TNI atau Sea and Coast Guard berdasarkan Undang-undang nomo 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.


4. Tidak memerlukan kapal.
Dalam Undang-undang nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan sama sekali tidak ditemukan ketentuan yang mengamanatkan untuk melengkapi Bakamla dengan kapal. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokoknya Bakamla "tidak memerlukan Kapal". Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi pada KPLP dan Kapal Pengawas perikanan.
          
Bagi KPLP, sangat jelas dinyatakan bahwa KPLP dilengkapi dengan armada kapal bahkan dapat juga menggunakan pesawat udara sesuai dengan Ketentuan pada Pasal 279 ayat 1 yang berbunyi :
(1)  Dalam rangka melaksanakan tugasnya penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 didukung oleh prasarana berupa pangkalan armada penjaga laut dan pantai yang berlokasi di seluruh wilayah Indonesia, dan dapat menggunakan kapal dan pesawat udara yang berstatus sebagai kapal negara atau pesawat udara negara.

Demikian pula pada Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan Laut, dimana dinyatakan bahwa Pengawas perikanan dilengkapi dengan kapal sebagaimana ketentuan pasal 66 C ayat 2 yang berbunyi  :
(2) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya dapat dilengkapi dengan kapal pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri.

Oleh karena menurut Undang-undang nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang merupakan landasan hukum pembentukannya, bahwa Bakamla "tidak perlu" dilengkapi dengan kapal, maka semua aset Bakamla saat ini yang berhubungan dengan kapal, seperti, dermaga, kapal, radar dll menjadi ilegal. Bagi TNI AL pun, tidak ada alasan untuk menghibahkan kapal kepada Bakamla, karena tidak ada landasan hukumnya.

5.Personil.
Saat ini sebagian besar personil Bakamla diisi oleh anggota TNI AL aktif, bahkan pimpinannya pun ditunjuk dari perwira TNI AL berpangkat Laksamana Madya. Hal ini bertentangan dengan Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, sebagaimana ketentuan pasal 47 yang berbunyi :

(1) Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
(2) Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Saat ini, Bakamla tidak berada langsung dibawah Kemenkopolhukam, sebagaimana Bakorkamla, yang Ketuanya adalah Menkopolhukam. Bakamla adalah organisasi sipil, dan tidak termasuk dalam daftar jabatan yang diizinkan oleh Undang-undang 34 tahaun 2004 tentang TNI untuk diawaki oleh personil TNI aktif.

6.Kewenangan.
Kewenangan Bakamla diatur dalam ketentuan Pasal 63 yang bunyinya :

(1)  Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3, Badan Keamanan Laut berwenang : a. melakukan pengejaran seketika; b.memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan c. mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia

Bandingkan dengan kewenangan KPLP seperti yang tercantum pada ketentuan Pasal 278 Undang-udang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang berbunyi :
           
 (1)  Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277, penjaga laut dan pantai mempunyai kewenangan untuk: a. melaksanakan patroli laut;b. melakukan pengejaran seketika (hotpursuit);c. memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan d. melakukan penyidikan.
  (2)  Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari kewenangan yang diberikan oleh Undang-udang sangat jelas bahwa Kewenangan KPLP lebih besar daripada Bakamla. KPLP adalah penyidik, sedangkan Bakamla bukan penyidik. sehingga kapal tangkapannya harus diserahkan kepada penyidik sesuai dengan bentuk peanggarannya.
Dengan demikian setiap kasus yang ditangani oleh Bakamla pasti akan digugurkan oleh hakim. Dengan kondisi seperti ini sudah sepatutnyaalah bila Sea and Coast Guard / KPLP segera dibentuk dan sebagai gantinya Bakamla dibubarkan saja.(zah)

*Laksda TNI AL (Purn) Soleman B. Ponto lahir di Sangir-Tahuna, Sulawesi Utara, 6 November 1955. Mengenyam pendidikan TNI di Akabri AL/1978, kariernya di Angkatan Laut diawali sebagai pelaut. Ia melewati sejumlah pos hingga akhirnya terjun ke dunia intelijen TNI pada Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI sejak tahun 1996 hingga pensiun pada Desember 2013 dengan jabatan terakhir Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais TNI)