Rancangan tol laut dalam RPJMN 2015-2019 | Ist |
Jakarta, eMaritim.com – Polemik keberadaan
tol laut di Indonesia dinilai kurang efektif dan belum ideal jika pemerintah
tidak melibatkan pelayaran swasta yang sudah lebih dahulu berlayar dari satu
pulau ke pulau lainnya. Hal ini diungkapkan anggota komisi VI DPR RI, Bambang
Haryo yang menganggap biaya subsidi tol laut sangat besar.
"Hanya buang-buang dana APBN.
Padahal pelayaran swasta sudah lebih dulu melayari daerah-daerah di seluruh
Indonesia dengan 14 ribu kapal, sedangkan kapal tol laut baru enam.
Artinya, tanpa tol laut pun, distribusi barang sudah jalan," ujar Bambang
dikutip dari keterangannya, Jum’at (11/8).
Ia mencontohkan, di Papua yang
menjadi daerah tujuan tol laut misalnya. Sebelum program ini dijalankan, harga
beras di Papua sudah Rp13.000 per kilogram.
“Saat kami berkunjung ke sana,
sekarang setelah ada tol laut ke Papua, harga beras malah lebih mahal. Kenapa
bisa begitu? Ini membuktikan tol laut yang disubsidi tidak berdampak ekonomi,
tidak bisa menekan disparitas harga,” tuturnya seperti dikutip viva.co.id.
Menurut Bambang, tidak adanya
dampak pada penurunan harga barang karena tol laut tidak dimanfaatkan oleh
pihak-pihak terkait barang tersebut. Seperti Badan Urusan Logistik (Bulog) dan
Pertani, yang selama ini bertugas melakukan stabilisasi harga barang
pangan.
Menurutnya, yang memanfaatkan
program ini justru pedagang yang menyesuaikan harga dengan mekanisme pasar.
Para pedagang ini tidak berkomitmen berdagang sesuai regulasi, yakni tidak ada
regulasi harga, distribusi, dan kualitas barang. Akhirnya harga
barang-barang tetap tinggi.
Bambang menambahkan, meski konsep
dan tujuannya bagus, untuk menekan disparitas harga tidak cukup dengan
memberikan subsidi terhadap kapal pengangkut. Karena persentasenya dalam
komponen harga yang dijual tidak besar.
“Transportasi laut dikatakan
sebagai penyebab disparitas harga selama ini itu keliru, karena transportasi
laut hanya berkontribusi 5 persen terhadap harga barang. Sisanya yang paling
banyak berkontribusi adalah biaya distribusi ke pedalaman. Selama ini
distribusi ke pedalaman menggunakan pesawat-pesawat perintis. Ini lah yang
membuat mahal,” tuturnya.
Bambang menyarankan, untuk menekan
disparitas harga di pedalaman Indonesia, bukan hanya tol yang diperhatikan.
Tapi, pembangunan dan perbaikan infrastruktur jalan darat.
Di Indonesia, menurutnya, memiliki
panjang jalan darat keseluruhan mencapai 530 ribu kilometer. Sekitar 60-70
persennya kondisinya rusak dan susah dilalui kendaraan. Sementara
itu, jalan tol totalnya hanya 1.000 kilometer.
“Jika jalanan di Indonesia
diperbaiki, jalur darat akan terbantu sehingga distribusi barang berjalan
lancar. Dengan demikian dapat menekan disparitas harga,” tuturnya.
Selain itu, pemerintah sebaiknya
menumbuhkan perekonomian daerah setempat, sehingga bisa memberikan barang
bawaan balik bagi kapal-kapal pengangkut barang saat ke pedalaman.
"Pemerintah tak perlu
membuang-buang anggaran dengan tol laut, berikan saja kepada swasta yang selama
ini sudah menjalaninya," pungkas Bambang. (*)