Ajari Kami Cara Melayarkan Kapal. -->

Iklan Semua Halaman

Ajari Kami Cara Melayarkan Kapal.

27 September 2017
Jakarta 27 September 2017, eMaritim.com

Para pendiri bangsa yang notabene pendiri Pendidikan Tinggi Pelaut di Republik Indonesia pasti menangis mendengar pernyataan  Menteri Perhubungan kemarin di Bali dalam acara Asia Europe Meeting ( ASEM) ke 4 dibawah ini;
"Seperti kita ketahui kualitas pelaut-pelaut Filipina sangat bagus, untuk itu akan sangat bagus sekali bila pelaut Indonesia mendapatkan pelatihan dengan negara Filipina. Sedangkan untuk RoRO Bitung - Davao akan kita samakan persepsi agar rute tersebut dapat berlayar dengan terjadwal"



Bagaimana tidak? Jika di tahun 70 dan 80an Sekolah Pelayaran di Indoneia (AIP) dihuni siswa siswa dari Malaysia, Bangladesh, Tanzania dan negara lain yang ingin belajar dari bangsa Bahari ini. Kini kita disuruh belajar keluar negeri soal bahari dan maritim? Lalu bagaimana jika Presiden Joko Widodo ditanya mengenai hal tersebut, apakah beliau akan mengiyakan dan menerima pernyataan tersebut ?

Keinginan Presiden Joko Widodo untuk tidak memunggungi samudera sayangnya di artikan beda oleh para pembantunya yang membicarakan maritim dari teks yang dibacanya saja. Kementerian Perhubungan dan Direktorat Jenderal Perhubungan laut banyak diisi oleh pejabat yang terlalu sering dimutasi sehingga didalam masa adaptasi saja mereka mereka sudah harus memikirkan rotasi yang selanjutnya.

Waktu memikirkan dan berbuat untuk jabatan yang diembannya dibatasi oleh ruang dan waktu yang buruk, a bad system will beat a good person everytime. Hubla tidak banyak melahirkan ahli maritim karena konstituen pejabat disana bukan dari dunia maritim, mereka butuh bantuan sebuah THINK TANK besar dari luar, dari ahli maritim yang sebenarnya.

Lalu dimana adanya para ahli maritim NKRI? mereka tersebar di sekolah sekolah, seminar seminar, organisasi profesi, asosiasi industri dan bahkan dalam bentuk yang lebih sederhana yaitu komunitas.

Mereka adalah manusia yang semenjak remaja memilih maritim sebagai jalan hidup, mereka minum kopi dengan selingan obrolan maritim, mereka tidak pernah dimutasi menjadi profesi lain dan mereka tidak pernah ingin memalingkan wajah dari dunia maritim.

Mereka adalah manusia yang memiliki view samudra, berdarah asin dan nafasnya pun bergaram, mereka tidak pernah berubah warna.

NKRI mengalami kemunduran dahsyat di dunia maritim pada 80an saat scrapping policy dilakukan sampai titik nadirnya di tahun 2000an. Takdir sebagai negara kepulauan tidak pernah disadari dan keinginan menjadi negara maritim masih sebatas cita cita, arah kebijakan global dimanipulasi oleh oleh pejabat yang ditempatkan oleh partai politik, bukan berdasarkan kompetensi yang menjadi dasar utamanya.

Sumber Daya Manusia Maritim Indonesia mengalami eksploitasi besar besaran di Kementerian Perhubungan beberapa tahun terakhir dengan penerimaan jor joran, ini sebagai ekses dari Arah Kebijakan pemerintah untuk membuat ekonomi berbasiskan maritime base. 

Di saat yang sama industri perkapalan sedang sangat terpukul dengan krisis berkepanjangan yang mengakibatkan sekitar 40% kapal Indonesia tidak bekerja.

Akibat keran kelulusan yang besar tidak tertampung oleh jumlah kapal yang berkurang, sebuah penafsiran soal bagaimana penyelesaian masalah ini di lempar oleh Menteri Perhubungan dengan pernyataan diatas.

Pelaut Indonesia masih tergolong yang terbaik, hanya sistem nya yang tidak bekerja dengan baik.
Berapa sering HUBLA, Organisasi Pelaut, Organisasi Pelayaran mengadakan diskusi dan duduk bersama ?

Untuk kegagalan Ferry Bitung - Davao semestinya pemerintah memberikan pernyataan jujur mengapa kapal tersebut rontok di trip pertamanya ?

Padahal saat diresmikan oleh Presiden joko Widodo dan Presiden Rodrigo Duterte pada minggu 30 April 2017, kapal tersebut hanya membawa muatan 1 (baca: SATU) persen dari kapasitasnya.

Sebuah sinyal negatif sudah dari awal di teriakkan para pelaku pelayaran untuk rute tersebut. tetapi seperti hendak melawan takdir, pemerintah berkeras mengatakan SHIP PROMOTES THE TRADE, maka inilah yang terjadi.

Alih alih hendak mengirimkan Pelaut untuk training ke Filipina, mungkin ada baiknya pemerintah belajar pelayaran ke negara tetangga agar mimpi ingin menjadi negara maritim bisa tercapai.

Pembangunan maritim tidak bisa diserahkan hanya kepada sebuah kementerian saja, sebuah Dewan Maritim harus didirikan dan diberdayakan dengan unsur insan maritim sebagai tulang punggungnya, sementara unsur pemerintah juga harus hadir untuk melegitimasi hal tersebut.

Dengan metode tambal sulam kebijakan, dan komposisi ahli maritim yang ada di pemerintahan, menjadi negara maritim mungkin baru akan di capai setelah 100 tahun lagi. Turuan Mo Akong Maglayag Sa isang barko ? (ZAH)