Angin Segar Kebijakan Ekonomi Jilid XV dan Beyond Cabotage pada Pelaku Usaha Pelayaran -->

Iklan Semua Halaman

Angin Segar Kebijakan Ekonomi Jilid XV dan Beyond Cabotage pada Pelaku Usaha Pelayaran

09 September 2017
Dewan Penasihat Indonesian Nasional Shipowners’ Association (INSA), Oentoro Surya
Jakarta, eMaritim.com – Tahun ini merupakan tahun yang paling menentukan bagi para pelaku bisnis Pelayaran Nasional, pasca kebijakan ekonomi jilid XV yang dikeluarkan oleh pemerintah bulan Juni lalu, arah tujuan pengusaha pelayaran nasional semakin jelas, Implementasi Beyond Cabotage juga mendekati pengesahan resmi oleh pemerintah Indonesia.

Pasca kebijakan XV lalu para pengusaha pelayaran nasional dituntut saat ini untuk meningkatkan kualitas dan daya saing dalam menyambut pengesahan beyond cabotage, didalam kebijakan XV tentang ‘Pengembangan Usaha dan Tingkatkan Daya Saing Penyedia Logistik Nasional’ .

Terdapat kalimat yang memberikan angin segar bagi pelaku usaha pelayaran nasional dalam isi kebijakan ekonomi jilid XV berupa; Pemberian Kesempatan Meningkatkan Peran dan Skala Usaha, dengan kebijakan yang memberikan peluang bisnis untuk angkutan dan asuransi nasional dalam mengangkut barang ekspor impor, serta meningkatkan usaha galangan kapal/pemeliharaan kapal di dalam negeri.

Seiring dengan itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan pelaku usaha pelayaran nasional perlu didorong untuk terus meningkatkan kompetensinya.

Kompetensi dibutuhkan untuk bersaing pada kegiatan angkutan luar negeri atau ekspor impor. Kemenhub juga bersedia memfasilitasi dan membantu pelaku usaha pelayaran untuk peningkatan kompetensi.

“Kalau memang ada yang perlu dibantu dari Kementerian Perhubungan, itu yang kami bantu,”katanya. 

12 tahun sejak diterapkannya asas cabotage, jumlah armada dan perusahaan pelayaran meningkat pesat. Pelaku usaha pelayaran nasional juga telah berhasil melayani seluruh pendistribusian kargo domestik yang mencapai 621 juta ton pada 2016.

Kondisi berbalik justru terjadi pada angkutan luar negeri. Dari 1,04 miliar ton total muatan luar negeri pada tahun lalu, hanya hanya 6,4% atau  67,23 juta ton muatan yang menggunakan kapal berbenderan Indonesia, sedangkan sisanya 93,7% atau 976,20 juta ton dikuasai kapal asing.

Kemajuan Armada Laut Nasional pada Beyond Cabotage

Dewan Penasihat Indonesian Nasional Shipowners’ Association (INSA), Oentoro Surya angkat bicara, bahwasannya dalam menjamin kemajuan pengusaha pelayaran nasional dalam armada lautnya perlu adanya dukungan dari Pemerintah.

Menurutnya, dukungan itu berupa pemberian fasilitas, dan kredit untuk membangun armada kapal laut dan daya saing bisnis yang sehat di nasional bahkan mancanegara. Dia menghimbau kepada seluruh pemangku jabatan terutama pihak Bank nasional sebagai pemberi kredit agar bunga pinjaman bank tak terlalu tinggi, “kalau bunga bank kita (nasional) gak tinggi kan kita sebagai pelaku usaha pelayaran bisa melebarkan sayap ke mancanegara,” ungkap Mantan Ketua Umum INSA Periode tahun 2005-2008.

Seperti yang telah di programkan Presiden Joko Widodo dengan nawacita maritim nasional, dirinya menghimbau agar semua pemangku kepentingan (Bank nasional dan Hubla) untuk sama-sama ikut berkontribusi menjalankan usaha maritim nasional agar dapat maju dan bisa bersaing dengan asing.

“Sebab kalau kreditnya ini diberikan kepada bidang maritim, tentunya asetnya maritim (kapal, shipyard, pelabuhan), jadi bukan kita investasi kertas dimana saja (investasi tak beraturan), begitu habis ya kertasnya (jenis bisnis) habis, modalnya habis,  akan tetapi kalau dibangun menjadi armada laut sifatnya akan tetap dan dipastikan menjadi aset nasional,” kata Oentoro Surya kepada eMaritim.com.

Pasca kebijakan jilid XV, Dirinya menghimbau kepada seluruh perbankan nasional agar tidak takut untuk memberikan kredit kepada usaha pelayaran, menurutnya bila pihak bank tetap takut memberikan kredit kepada para pengusaha pelayaran maka dipastikan kondisi pelayaran nasional akan terus kalah dengan pelayaran negara lain atau tetangga.

“Bagaimana kita berusaha kalau kredit bunganya masih tinggi, sedangan negara tetangga itu, bunganya hanya 2 persen, kalau dikita (nasional) sini 12 persen dengan rupiah, dan 6 sampai 8 persen dengan dollar, maka dari itu kita (pelaku usaha pelayaran) tak akan mungkin bisa bersaing,” tegasnya.

Mengikuti amanat presiden Joko Widodo dengan nawa cita poros maritim dan isi kebijakan ekonomi jilid XV tersebut, dirinya menghimbau kepada seluruh perbankan agar dipermudah untuk pengadaan kredit pembelian armada laut, sebab apabila armada lautnya tersedia maka dirinya memastikan bisa dipakai untuk kegiatan eksport , dan pengiriman domestik lainnya.

Menurut Oentoro investasi di bidang kemaritiman nantinya akan menciptakan lapangan pekerjaan dan ekonomi lebih maju, dengan demikian, masih Oentoro, pemerintah akan mendapatkan penerimaan pajak yang lebih banyak, karena apabila armada laut nasional berkembang maka pajak juga akan bertambah banyak.

Namun disayangkan saat ini, masih Oentoro, ballance neraca ekonomi nasional masih terbilang negatif, “kita (pemerintah dan pelaku usaha pelayaran) selalu mengatakan bahwa eksportnya positif, namun bila dipotong jasa maka akan menjadi negatif, jadi neraca berjalan kita itu negati,” ungkapnya.
“Kenapa negatif karena seluruh komoditi kita yang berlimpah, semua di eksport dengan FOB, (Free on board),” tuturnya

Dirinya menambahkan dalam penerapan program beyond cabotage sebagai salah satu langkah menuju kedaulatan maritim nasional perlu dilakukan dengan mengubah skema perdangangan dari free on board (FOB) ke cost insurance and freight (CIF) untuk kegiatan ekspor, dan dari skema CIF ke FOB untuk impor.

Dengan demikian, masih Oentoro, perkembangan armada nasional juga dapat berpartisipasi untuk memasarkan komoditi nasional dan mengembankan armada laut nasional agar bisa berlayar kepelabuhan dunia.

Menurutnya hanya beyond cabotage lah sebagai salah satu untuk menggalang valuta asing, sehingg devisa nasional bisa masuk ke negara sendiri, “ini yang saya kira sangat penting sekali untuk kedepannya, pemerintah juga fokus bersama kami, dan kami sebagai pelaku usaha pelayaran, agar diajak, sama sama sinergi, demi memajukan maritim nasional,” ungkapnya

Direktur Lalu Lintas Laut Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Bay Mokhamad Hasani mengatakan penerapan beyond cabotage perlu melibatkan para eksportir, karena skema perdagangan CIF untuk ekspor adalah para pengguna jasa yang menentukan kapal.

Penggunaan skema CIF pada kegiatan ekspor sangat mungkin  bagi eksportir yang menggunakan jasa kapal untuk satu komoditas. Namun kondisi saat ini, kebanyakan kegiatan ekspor dalam satu kali pelayaran kapal bermuatan beragam komoditas dan digunakan beberapa eksportir atau pengguna jasa.

“Muatan kapal itu dengan satu jenis (komoditas), misalnya batu bara. Bisa saja itu ekportir carter kapal dengan sitem  CIF. Tapi kalau di sini satu kapal penggunanya banyak, ramai-ramai,” kata Bay yang juga Plt. Dirjen Perhubungan Laut beberapa waktu lalu.

Bay melanjutkan, pihaknya juga tidak bisa memaksakan eksportir menggunakan kapal berbendera Indonesia dalam perdagangan luar negeri, mengingat kesepakatan itu merupakan business to business antara ekportir dan pelaku usaha pelayaran nasional.

Kemenhub, katanya, hanya sebatas mengimbau kegiatan ekspor impor yang dilakukan pemerintah dan BUMN agar sebisa mungkin menggunakan kapal nasional.(Hp)