Jajaki Tahun Ketiga Jokowi-JK, Pengusaha Logistik Keluhkan Biaya Logsitik Masih Mahal -->

Iklan Semua Halaman

Jajaki Tahun Ketiga Jokowi-JK, Pengusaha Logistik Keluhkan Biaya Logsitik Masih Mahal

Khalied Malvino
24 Oktober 2017
Ilustrasi | Istimewa
Jakarta, eMaritim.com – Meski masa pemerintahan Jokowi-JK sudah menginjak tahun ketiga, namun sejumlah pengusaha di sektor logistik masih mengeluhkan tingginya biaya logistik yang justru menyulitkan industri untuk berkembang.

Ketua Umum Asosiasi Logis­tik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham mengaku, belum puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-JK dalam menurunkan biaya logistik. "Kami belum puas. Masih banyak masalah yang tidak terselesaikan," ujarnya seperti dikutip RMOL.

Menurutnya, pemerintah belum serius dalam menurunkan ongkos logistik yang menjadi ganjalan bagi pengusaha. "Masalah ini yang kami tunggu penyelesaian. Apalagi banyak aturan justru menyulitkan industri dan bertolak belakang dengan janji untuk mengurangi biaya logistik," ungkapnya.

Biaya logistik mahal juga disebabkan infrastruktur transportasi yang belum memadai. Subsidi yang diberikan ke industri pelayaran dan penerbangan sangat tidak tepat. "Itu dampaknya tidak permanen atau hanya jangka pendek," katanya.

Menurutnya, begitu subsidi dicabut maka tarif bisa tinggi lagi. Jadi lebih baik pemerintah mem­perbaiki fasilitas pelabuhan yang bagus sehingga waktu tunggu tidak lama dan kapal swasta maupun Pelni akan dapat keuntungan dari fasilitas tersebut.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, isu pemangkasan biaya logistik nasional, khususnya biaya double handling di pelabuhan bukan merupakan hal baru. Menurutnya, isu tersebut ada sejak ia dulu menjabat sebagi ketua Ombdusman.

"Sejak dulu tanggapan serius mengenai sistem dwelling time atau sistem biaya logistik sudah ada, terutama di pelabuhan. Lalu sudah ada perbaikan. Lalu, sekarang muncul lagi," ujar Danang.

Menurutnya, yang menjadi masalah di pelabuhan untuk saat ini adalah biaya logistik yang menjadi lebih mahal dari sebelumnya. "Fokusnya jika mau mengurangi biaya logistik, mestinya dilihat dari kemam­puan pelabuhan melakukan modernisasi. Karena semakin modern pelabuhan, maka biayanya lebih rendah," ujarnya.

Danang menuturkan, setiap pelabuhan memiliki karakteristik yang berbeda. Seperti pelabuhan baru di Lamongan yang menurutnya sudah sangat modern. "Biaya di sana harusnya lebih murah karena sudah meng­gunakan peralatan yang lebih modern," ucapnya.

Ia mengatakan, rata-rata masalah di pelabuhan Indonesia yang menyangkut biaya logistik adalah pelabuhan-pelabuhan yang tidak efisien. "Ketidakefisien itu berasal dari peraturan-peraturan yang kurang jelas penerapannya baik di tingkat undang-undang atau peraturan Menteri," katanya.

Ia mencontohkan, untuk me­nangani kontainer di pelabuhan tidak sepenuhnya dilakukan oleh PT Pelindo (Persero). Perusahaan lain yang melakukannya. "Akibatnya kan biaya-biaya pelabuhan tidak bisa murah karena ditangani oleh operator yang tidak perlu ada," ujarnya.

Wakil Ketua Komite Tetap Pengembangan SDM Infrastruktur Bidang Konstruksi dan Infrastruktur Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Dandung Sri Harninto mengakui, penyebab biaya logistik di Indonesia tinggi adalah masalah perizinan dan proses di pelabuhan. Selain itu, masih banyaknya pungutan liar yang harus dibebankan ke biaya tersebut.

"Kirim barang dari Jakarta ke Surabaya harus berhadapan dengan oknum-oknum yang mungut pungli. Praktiknya masih ada lo, karena saya bayarnya tetap segitu. Perusahaan logistik pun bayar segitu, berarti kan ini ada something wrong," keluhnya.

Dandung berharap, dengan adanya tol Trans Jawa dalam dua hingga tiga tahun mendatang bisa membuat biaya logistik berkurang. "Kalau tol Trans Jawa jadi semua, dua-tiga tahun lagi, ongkos logistik pasti bisa ditekan," ujarnya.

Sebelumnya, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah akan menerbitkan aturan untuk memangkas biaya logistik jalur laut hingga 50 persen dari 14,9 persen menjadi 7 persen terhadap total biaya produksi pada 2019.  "Kebijakan sebenarnya finalisasi dengan beberapa kelompok kerja yang sudah bekerja dalam kurun tiga bulan terakhir," ujarnya.

Luhut menyampaikan, kebijakan tersebut diambil karena ongkos logistik Indonesia masih terbilang tinggi yakni mencapai 14,9 persen terhadap struktur biaya produk. Angka itu masih jauh lebih tinggi dari Jepang yang hanya memiliki porsi ong­kos logistik 4,9 persen. Jepang merupakan negara yang dijadikan tolak ukur dalam pengelo­laan ongkos logistik.

Jika kebijakan ini efektif, ia berharap ongkos logistik laut bisa ditekan hingga 50 persen dua tahun mendatang, atau menjadi hanya 7 persen pada 2019. "Angka ini mungkin lebih baik jika makin banyak basis logistik yang jalan," pungkasnya.(*)