Keselamatan Pelayaran, Parameter Sukses Tidaknya Penyelenggaraan Pelayaran Suatu Negara -->

Iklan Semua Halaman

Keselamatan Pelayaran, Parameter Sukses Tidaknya Penyelenggaraan Pelayaran Suatu Negara

16 Januari 2018
Jakarta, 16 Januari 2017.

Catatan Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKPPNI) : Keselamatan Pelayaran Niaga (1) - Maritime Safety.


Dalam dunia industri modern, statistik keselamatan kerja selalu menjadi parameter keberhasilan dari institusi penyelenggaranya, begitu juga dalam dunia pelayaran (shipping industry) di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa perlindungan terhadap ABK, Lingkungan Hidup dan Kapal Beserta Muatannya memiliki urutan prioritas seperti demikian.

Selama ini kecelakaan kapal yang berakibat hilangnya nyawa awak kapal atau penumpang masih banyak terjadi di Indonesia, dan seringkali hal tersebut menjadi pengulangan peristiwa yang sama sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri 3 unsur penentu keselamatan pelayaran sangat perlu ditingkatkan kualitas serta awarenessnya untuk menjamin keselamatan itu sendiri yang terdiri dari :
1. Regulator.
2. Operator/Pemilik Kapal
3. Awak Kapal.

IKPPNI menilai perlunya (minimal) salah satu dari ke 3 pilar tersebut menjadi promotor bagi yang lainnya, apabila memang tidak bisa sekaligus ketiga unsur tersebut sama sama memperbaiki diri. Namun atas dasar konsep TATAKELOLA KESELAMATAN (SAFETY MANAGEMENT) yg kita fahami, komitmen harus dimulai dari atas kebawah (TOP TO BOTTOM). Dan penegakan aturan yang dilakukan oleh HUBLA sebagai regulator/ administrator (SEBAGAI TOP MAMAGEMENT) dianggap sebagi faktor dominan bagi 2 unsur lainnya. Walau akan ada konsekuensi dari tegasnya penegakan aturan keselamatan yang diberlakukan, misalnya penambahan peralatan keselamatan, pemeliharaan dan resiko kapal tidak diberikan ijin berlayar apabila alat keselamatan tidak sesuai ketentuan. Tapi itu seumpama pil pahil yang harus ditelan jika ingin sembuh.

Sebagai ilustrasi bahwa masyarakat Indonesia 20 tahun lalu belum terbiasa memakai helm jika berkendara sepeda motor,  atau mengenakan Seat Belt didalam mobil. Walaupun terpaksa menuruti karena takut akan konsekuensi denda bukan takut akan keselamatan jiwanya sendiri,  keterpaksaan itu lama lama akan menjadi budaya dengan sendirinya.

IKPPNI berharap hal ini bisa diberlakukan di dunia pelayaran, dan memang harus ada faktor dominan yang memulainya (REGULATOR = TOP MANAGEMENT). Karena jika berharap kepada kesadaran ABK ataupun operator kapalnya, maka akan sulit terlaksana karena banyak kendalanya dan juga perubahan akan cepat terjadi jika LEAD BY SAMPLE.

Seperti diketahui, kapal yang banyak mendapat kecelakaan adalah kapal yang sedang berlayar, disamping kapal yang sedang melakukan pekerjaan perbaikan. Maka sebaiknya mekanisme perijinan berlayar tidak hanya sebatas kelengkapan sertifikatnya saja, tetapi kapal harus benar benar siap berlayar di segala cuaca dan memiliki peralatan penyelamatan yang di rawat, di periksa dan di coba secara berkala dengan baik.

Konsekuensi dari hal ini adalah (mungkin) kurangnya tenaga ahli Keselamatan Pelayaran di HUBLA dan kemungkinan resistensi dari pemilik/operator kapal. Untuk yang pertama HUBLA bisa bekerjasama dengan organisasi profesi yang perduli terhadap keselamatan pelayaran seperti IKPPNI. Sementara konsekuensi lain adalah penolakan dari pemilik/ operator kapal. Tapi hal ini akan dengan mudah diatasi oleh HUBLA, karena sebenarnya setiap perusahaan pelayaran juga memiliki standar keselamatan sendiri.

Dengan statistik kecelakaan yang ada selama ini ada dimana Fatality masih banyak terjadi, sudah seharusnya industri pelayaran mencari Root Cause (akar penyebab) dari hal tersebut. Dengan mengetahui Penyebab langsung atau Penyebab tidak langsung dari setiap kecelakaan, langkah preventive untuk menghindari repetitive accident bisa dilakukan.

Mekanisme Go or no go sebuah kapal bisa dirubah dengan dibuatnya Surat Persetujuan Berlayar (SPB) diatas kapal. Artinya petugas yg mumpuni dan kompeten benar-benar memeriksa kapal secara fisik dan dokumen. Tidak semua kapal bisa dilayani,  karena letaknya yang jauh dan halangan lainnya. Tapi jika secara random dilakukannya, maka setiap kapal yang mengajukan SPB akan mempersiapkan diri sebaik baiknya karena konsekuensi dikunjungi dan ditolak selalu ada dan itu berarti kerugian buat operator kapal.

Dalam dunia pelayaran umum di Indonesia,  ABK selalu berada di garis terdepan dalam pengoperasian kapal dalam arti positif dan negatif. Arti negatifnya adalah mereka sering dipaksa dan terpaksa melakukan pekerjaan yang berbahaya tanpa adanya pihak lain yang seharusnya membantu agar hal tersebut tidak dilakukan. Lemahnya peran Serikat Pelaut dalam perhatiannya kepada aspek keselamatan juga memberikan kontribusi atas terjadinya kecelakaan pelayaran selama ini.

Jika kita mengacu kepada industri pelayaran lepas pantai di Indonesia (maupun dunia), persyaratan  kapal untuk bisa beroperasi sangatlah tinggi. Karena mereka beroperasi di area pengeboran minyak dan gas yang relatif berbahaya, maka kapal dan awaknya harus benar benar siap untuk mengadapi segala kemungkinan. Operator (dalam hal pelayaran lepas pantai adalah penyewa) yang  menentukan apakah kapal bisa berlayar atau tidak. Walau dengan keterpaksaan,  kapal dan awaknya akan patuh karena pilihannya hanya dua : patuh atau tidak bekerja sama sekali,  yang artinya perusahaan pemilikn kapal akan rugi dengan sendirinya jika tidak patuh.

Istilah Do it Safely,  or not at all adalah hal yang lumrah didengar di dunia pelayaran lepas pantai,  dan HUBLA bisa saja mengadopsi bagaima cara mereka mengoperasikan kapal dan acting sebagai regulator yang baik. Budaya yang harus selalu ditanamkan adalah:
1. No compromise in safety.
2. Every one have a same rights and obligation in safety.

Imbas baik dari budaya keselamatan ini adalah, bahwa ABK kapal lepas pantai sudah terbiasa memakai hak Master Overriding Authority, yang bisa menolak melakukan pekerjaan jika Nakhoda menilai pekerjaan tersebut tidak aman untuk anak buah dan kapalnya. Merekapun biasa melakukan hal hal seperti : Safety Tour,  Anomaly Hunting,  Stop Card, No PPE no Work dan hal hal yang melindungi mereka dari pekerjaan dan lingkungan yang berbahaya, walaupun lokasi kerja mereka beresiko tinggi (ladang gas/minyak) tapi dengan Safety Measure yang baik,  semua bahaya itu teridentifikasi dan dapat diterima untuk bekerja dengan aman.(jan)