KPI, Sebuah Organisasi Besar Yang Minder. -->

Iklan Semua Halaman

KPI, Sebuah Organisasi Besar Yang Minder.

03 Februari 2018
Surabaya, 3 Februari 2018

Kesatuan Pelaut Indonesia semakin hilang aroma pelaut dan tidak jelas arah kebijakan serta perjuangan organisasinya. 


Setelah melewati Kongres Luar Biasa yang penuh dengan strategi licik di akhir 2017,  kelompok status quo yang di komandoi Mathias Tambing dan Sonny Pattiselano berhasil mengubah KLB dari yang rencananya hanya merubah AD ART menjadi sebuah KLB yang beragendakan pemilihan Presiden KPI.

Gilanya lagi,  agenda tersebut dimunculkan dan dilakukan tanpa seorangpun tahu, kecuali Mathias dan Sonny berikut orang orang yang memang merencanakan nya. Dan tentunya mudah ditebak, sang Sekjend KPI Mathias Tambing yang naik pangkatnya menjadi Presiden KPI, sesuatu yang sepertinya sudah ditunggu sejak jadi tangan kanan almarhum Hanafi selama 16 tahun. 

Kenapa menjadi Presiden KPI begitu menarik bagi orang orang tersebut, sampai sampai Mathias Tambing yang sudah menjadi Sekjend sejak 2001 (tidak pernah lepas) masih ingin menjadi Presiden KPI, yang diperkirakan akan dia duduki seumur hidup.

Dengan anggota musiman berkisar 30.000 anggota, jumlah iuran tahunan anggota KPI bisa ratusan kali lipat jumlahnya jika dibanding organisasi manapun dalam dunia maritim NKRI.

Dengan mengutip dari anggota musiman nya itu sebesar 15 USD setiap orang setiap bulannya,  maka dengan mudah KPI mengumpulkan 450.000 USD sebulan,  jika dikalikan 12 maka akan muncul angka 5.400.000 USD alias setara dengan 70 milyard setahun. Sementara perusahaan-perusahaan pengerah tenaga pelaut masih sangat mungkin membayar iuran lagi kepada KPI dengan jumlah yang signifikan.

Dengan uang kas segendut itu,  apa yang dilakukan KPI selama ini? Memang mereka membayar kepada ITF,  tapi itu hanya untuk 15.000 anggotanya saja,  selebihnya dianggap sebagai discount oleh ITF untuk kemakmuran pelaut, bukan KPI, walau pada prakteknya bertolak belakang. Sebagian kemungkinan dipakai untuk biaya menjaga keharmonisan dengan stake holder pemakai jasa mereka.

Apabila sekelompok anak SD (tidak perlu lembaga keuangan) diminta melakukan audit keuangan di KPI, maka dengan mudah akan ditemukan kejanggalan neraca keuangan disana.

Aset yang dimiliki oleh KPI sudah banyak yang berpindah tangan tidak jelas lagi siapa pemiliknya. Dan pengelolaan uang pelaut (masyarakat)  juga tidak pernah diketahui bagaimana penggunaannya.

Bolehkah hal tersebut dibiarkan? Di saat banyak pelaut kehilangan pekerjaan di Indonesia, banyak kecelakaan kapal yang merenggut nyawa pelaut, KPI tidak beranjak dari kursi empuknya dengan dalih bahwa pelaut lokal bukan anggota KPI. Adakah kewajiban moral Ditkapel selaku stake holder memperbaikinya?

Mengapa diatas saya menyebutkan anggota musiman?
Sebab tak seorangpun dari 30.000 pelaut itu yang mendaftar KPI karena keinginannya sendiri. Mereka membayar iuran karena keharusan sebelum menandatangani kontrak di kapal kapal luar negeri. Sementara setelah mereka pulang berlayar,  tidak satupun yang memperpanjang keanggotaannya secara sukarela. Hal ini terus berlanjut berulang-ulang sampai hari ini.

Lalu kenapa pelaut pelaut di dalam negeri atau para perwira pelayaran tidak jadi anggota KPI? Selain tidak mampu dan tidak diterima di industri dalam negeri, KPI juga rendah diri ketika menghadapi pelaut pelaut yang makan bangku sekolah, KPI juga takut dengan pelaut pelaut yang perduli dengan iurannya, seperti pelaut-pelaut dalam negeri. Merekrut mereka akan sama saja bunuh diri buat KPI. 

Sebab selama ini para anggota KPI yang kebanyakan bekerja di kapal pesiar luar negeri, tidak pernah perduli akan diapakan uang iuran mereka, yang jika secara individu bisa dibilang hanya Rp. 20.000 sebulan.

Sebagai representasi NKRI dimata dunia kepelautan internasional, KPI jelas memalukan secara alamiah. Jika diatas kapal hubungan hierarchy sangat jelas, siapa bisa jadi Nakhoda atau KKM dan apa kualifikasinya. Menjadi ketua KPI tidak seperti itu,  siapa licin dan bisa amankan jabatan nya, maka jadilah dia.

Ditkapel sebagai stake holder KPI sudah sepantasnya menertibkan KPI sebagai langkah menjaga wibawa profesi Seafarers dimata Nasional dan Internasional. Jika organisasi para pelautnya tidak dipimpin oleh yang tidak setara dengan Nakhoda atau KKM kapal, maka yang terjadi adalah sebuah organisasi yang minder seperti KPI. Ditkapel/ Dirjen Hubla bisa mengangkat derajat konstituennya dengan membantu membereskan KPI untuk kemaslahatan para pelaut. 

Ajaklah sekarang KPI berdiskusi tentang dunia kepelautan, maka yang didapati adalah para pengurus KPI yang berbicara dengan mata menatap meja. (Capt.Zaenal Arifin Hasibuan)