KPLP Surabaya mengancam, KPLP Surabaya Yang Bungkam. -->

Iklan Semua Halaman

KPLP Surabaya mengancam, KPLP Surabaya Yang Bungkam.

20 Februari 2018
Surabaya, 20 Februari 2018

Alur pelayaran kapal dari Surabaya ke arah luar dan arah sebaliknya masih menyisakan bahaya navigasi berupa bangkai kapal KTC-1 yang sudah tenggelam lebih dari 4 bulan lalu di sekitar Karang Jamuang, tepatnya pada 4 Oktober 2017.


Saat emaritim melewati alur pelayaran tersebut pada  20 Februari pagi ini, kapal KTC-1  masih tetap diposisi asalnya. Terekam gambar beberapa kapal melintas sangat dekat dengan bangkai kapal, termasuk Kapal Perang Milik TNI AL yang sedang berlayar masuk kearah Pangkalan AL di Tanjung Perak Surabaya.

Seperti diberitakan emaritim pada 16 Januari 2018, pemilik kapal nahas yang mengangkut muatan kapur tersebut sudah mendapatkan surat peringatan ke 3 pada tanggal 27 November 2017 dari KPLP Surabaya dengan ancaman akan diangkat paksa oleh pihak otoritas dimana seluruh biaya akan dibebankan kepada sang pemilik.

Berikut adalah bunyi surat bernomor KL. 303/02/10/syb.tpr-17. Perihal peringatan ke 3 yang pada poin 3 berbunyi :

Sehubungan hal tersebut,  apabila sampai dengan batas waktu tanggal 5 Desember 2017, saudara belum melakukan upaya dan usaha dalam menyelesaikan kegiatan dimaksud, maka pemerintah/ Kepala UPT terdekat/ Kepala Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Perak Surabaya akan mengambil alih kegiatan tersebut dan biaya yang timbul akibat kegiatan dimaksud akan dibebankan kepada pemilik kapal,  sesuai dengan pasal 14 ayat 5 Permenhub nomor PM. 71 tahun 2013 tentang Salvage dan Pekerjaan Bawah Air,  sebagaimana telah diubah dengan Permenhub nomor PM. 33 tahun 2016. Dan jika keberadaan kapal/ kerangka kapal dan/atau muatannya tersebut mengakibatkan kerugian/kecelakaan/korban jiwa/kerusakan dan pencemaran lingkungan maritim akan menjadi tanggung jawab saudara sepenuhnya untuk memberikan ganti rugi. 

Namun setelah 2 bulan berlalu semenjak surat tersebut habis tenggat waktunya pada 5 Desember 2017, surat peringatan itu seperti gertak sambal dari KPLP Surabaya yang tidak memiliki kekuatan hukum.

Padahal mengacu pada PM 71/PM 33 tentang kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air, setiap kapal kandas atau tenggelam pada area 1 (area di lingkup DLKR dan DLKP) suatu pelabuhan, maka kapal tersebut harus diangkat paling lambat 30 hari setelah kejadian. Lalu kenapa kapal tersebut masih ada disana setelah 4,5 bulan berlalu?

Apabila karena sebuah kecelakaan kapal yang fatal seorang  Nakhoda sering diajukan ke Mahkamah Pelayaran untuk diadili, maka pembiaran bahaya navigasi oleh pihak syahbandar sudah pantas mendapat perhatian serius dari jajaran HUBLA di Jakarta untuk sama sama diketahui apa yang menjadi masalahnya.

Pembiaran bahaya navigasi ini sebenarnya sudah mendapat peringatan keras dari kejadian pada tanggal 15 Januari 2018. Badan kapal KTC-1 tertabrak oleh tongkang bermuatan penuh yang sedang melewati alur pelayaran tersebut. Apakah masih dibutuhkan musibah lain untuk membuat KPLP Surabaya berani melaksanakan amanah Peraturan Menterinya? Lain hal nya apabila memang dirasa perlu membiarkan bangkai kapal tetap berada di posisinya untuk alasan yang lebih penting daripada keselamatan alur pelayaran. Tapi apakah ada alasan yang bisa dipakai untuk itu?


Dalam kejadian kecelakaan yang menyisakan bangkai kapal KTC-1 di alur pelayaran Surabaya ini, pihak KPLP menjadi pihak yang bertindak negatif dengan memperlambat proses evakuasi dan membiarkan ruang untuk negosiasi atas ketetapan Peraturan Menteri, bahkan peraturan setempat yang dibuatnya sendiri.

Dengan kewenangan yang dimiliki disertai beban tanggung jawabnya, Syahbandar sudah seharusnya bisa menekan setiap kecelakaan kapal (apabila sudah terjadi) untuk ditangani oleh pemilik kapal secepat-cepatnya. 

Hal ini mudah dimengerti, karena apabila didiamkan berlama lama maka kapal yang semula bisa diselamatkan akan menjadi hancur dan menyisakan bangkai dan juga kemungkinan pencemaran lingkungan dari tangki minyak yang bocor, serta kemungkinan tertabrak kapal lain.

Terlepas dari siapa yang akan membiayai pengangkatan bangkai kapal, kecepatan penanganan adalah tindakan yang paling baik dilakukan. Dan otoritas tidak perlu ikut masalah komersial dari pekerjaan tersebut.

Selama ini, apabila terjadi kecelakaan kapal yang membutuhkan evakuasi, maka paling cepat tim penyelamat datang ke lokasi adalah 25 hari setelah hari kejadian. Sebuah proses yang panjang, dimana faktor ekonomis dan non teknis lebih dipentingkan daripada penyelamatan itu sendiri.
Hitungan itu didasarkan dari : hari kecelakaan, laporan nakhoda ke pemilik kapal dan otoritas terdekat, laporan pemilik ke asuransi, asuransi memberitahu surveyor, surveyor pergi ke lokasi, surveyor membuat laporan kepada asuransi, asuransi bersama pemilik mengundang Salvage Team dalam sebuah tender,  pemilihan pemenang,  Penerbitan Surat Perintah Kerja,  Pengurusan ijin ke HUBLA dan Otoritas Setempat, Mobilisasi Salvage Team Ke Lokasi, Ijin Otoritas Setempat, Team salvage pergi ke Kapal yang akan dievakuasi,  maka dimulailah pekerjaan salvage yang bisa memakan waktu sampai berbulan bulan tergantung tingkat kesulitannya.

Dasar itulah yang dipakai oleh PM 71/33 untuk menghitung bahwa penanganan kapal di area yang paling kritis untuk alur pelayaran (DLKR dan DLKP) maksimal 30 hari setelah hari kejadian.

Lalu kenapa setelah mengeluarkan peringatan ke 3 yang disertai ancaman, pihak KPLP Surabaya tidak mengeksekusi ancamannya sendiri? Inilah yang sering meruntuhkan wibawa HUBLA dimata pengguna jasanya yang melek aturan dan menimbulkan kecurigaan publik atas diciptakannya ruang untuk menegosisasi Keputusan Menteri oleh aparatnya sendiri.(Captain Zaenal Arifin Hasibuan)