Surat Keberatan IKPPNI Kepada Menteri Perhubungan -->

Iklan Semua Halaman

Surat Keberatan IKPPNI Kepada Menteri Perhubungan

03 Maret 2018
Surabaya, 3 Maret 2018


Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKPPNI) membuat surat terbuka kepada Menteri Perhubungan Republik Indonesia yang berisi keberatan Organisasi Profesi tersebut atas surat Menteri Perhubungan bernomor KP 801/02/14/phb 2018 tertanggal 24 Januari 2018 kepada Kemenristek Dikti yang mengusulkan perubahan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) menjadi Politeknik Pelayaran Niaga Indonesia (PPNI).

Berikut adalah rangkuman surat IKPPNI yang ditulis langsung oleh Ketuanya Capt. Dwiyono Suyono M.Mar yang disampaikan kepada redaksi eMaritim.com.

Dasar dari keberatan yang disampaikan IKPPNI adalah bahwa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) yang pada tahun 2000 diubah dari Pendidikan dan Latihan Ahli Pelayaran (PLAP) melalui KEPRES 42 tentang Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran sudah sejalan dengan semangat bangsa Indonesia bahwa SDM maritim perlu ditingkatkan dalam menjawab tantangan kebutuhan NKRI sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. KEPRES 42 inipun sejalan dengan UU no.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang pada pasal 58  menyebutkan bahwa :
(1) Perguruan Tinggi melaksanakan fungsi dan peran sebagai: (antara lain)
b. wadah pendidikan calon pemimpin bangsa;
e. pusat pengembangan peradaban bangsa.

Sementara Pasal 59 menyebutkan :
(1) Bentuk Perguruan Tinggi terdiri atas:
a. universitas;
b. institut;
c. sekolah tinggi;
d. politeknik;
e. akademi; dan
f. akademi komunitas.

Dasar lain dari perlunya keberadaan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran adalah PM Perhubungan no.67 tahun 2014 yang menyebutkan secara gamblang tentang STATUTA Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran yang sesuai dengan amanah Undang Undang.

Pada tahun 1953 pemerintah Indonesia sudah menyadari tentang pentingnya peran pelayaran bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mendirikan Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) dan diperkuat lagi dengan peningkatan status menjadi setara Politeknik (PLAP) pada tahun 1983, yang untuk selanjutnya diubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran pada tahun 2000. Tetapi pada masa gencar gencarnya pemerintah masa kini dengan jargon maritimnya, dunia pendidikan pelayaran seperti tidak masuk dalam daftar urgensi yang harus ditingkatkan.


Kebijakan pemerintah saat ini yang ingin berpaling kembali ke samudera, seperti luput memperhatikan kebutuhan kualitas SDM maritim yang tangguh, tetapi hanya sebatas kuantitas saja dengan penerimaan yang besar-besaran setiap tahunnya di sekolah sekolah lingkup BPSDM Laut Kementerian Perhubungan.

Negara yang tidak memiliki laut seluas Indonesia seperti Korea dan Vietnam saja sadar akan pentingnya SDM yang tangguh dibidang pelayaran dan mereka didik di Universitas Maritim, yang kelak pada kemudian hari setelah cukup berpengalaman para Perwira Pelayaran Niaga tersebut bisa mengembangkan ilmu nya ke jenjang LINIER yang lebih tinggi.

Dengan jumlah 17.518 pulau dan luas lautan yang mencakup 2/3 luas negaranya, Indonesia secara geografis adalah poros maritim dunia, tetapi secara nilai ekonomis dari posisinya,  Indonesia masih jauh dari sebuah negara maritim yang menjadi pusat dari pelayaran timur ke barat dunia.

Indonesia adalah negara kepulauan yang sedang bermimpi menjadi negara maritim tanpa dilandasi pondasi yang kokoh. Hal ini bisa dilihat dari persoalan fundamental yang tidak dimiliki dan tidak dibuat di negara ini, mulai dari tidak adanya Undang Undang Maritim, Rumpun Ilmu Maritim, Universitas Maritim,  Pengadilan Maritim, Undang Undang Perlindungan Profesi Perwira Pelayaran Niaga, Penempatan ASN bidang maritim yang tidak tepat, sampai hal yang bersifat amanah Undang Undang pun tidak mampu dilakukan yaitu pembentukan Indonesian Coast Guard.

Jika Indonesia tidak memperkuat aspek SDM maritimnya dengan membuat perangkat yang baik, seperti mulai dari menciptakan rumpun ilmu maritim dan sub rumpun ilmu beserta wadah pendidikannya, maka mimpi menjadi negara maritim akan terus berlanjut sampai akhir jaman. Pemerintah sebaiknya membuat jembatan dari Sabang sampai Marauke dan lupakan pentingnya pelayaran, karena nenek moyang kita bukanlah seorang pelaut.(zah)