Teluk Balikpapan Dan Obvitnas Yang Tidak Terjaga -->

Iklan Semua Halaman

Teluk Balikpapan Dan Obvitnas Yang Tidak Terjaga

09 April 2018
Jakarta 9 April 2018

Bocornya pipa minyak Pertamina di Balikpapan yang diikuti dengan terbakarnya permukaan laut masih menyisakan trauma dan kesedihan warga Balikpapan serta masyarakat Indonesia secara umum.

Hal ini merupakan gambaran kegagalan sebuah sistem di dalam industri perminyakan di area objek vital nasional. Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, beberapa fakta yang diungkap sebenarnya bisa dijadikan leading indicator yang pada ujungnya menjadi referensi untuk langkah perbaikan, secepat cepatnya.

Ketika sepasang mata orang yang terlatih berdiri di Gunung Dubbs atau di Stadion Persiba dan memandang ke arah barat, maka rangkaian fakta-fakta yang dilihat akan cepat melahirkan clue. 

1. Hal pertama adalah jetty Pertamina
2. Ada pipa yang menyeberang dari Penajam ke Pertamina Jetty
2. Ada kapal berlabuh di garis lurus diatas pipa tersebut
3. Ada tumpahan minyak
4. Api yang terbakar di beberapa titik yang merupakan garis lurus pipa tersebut.

Kesampingkan soal tidak adanya Pressure gauge di sistem Pipa minyak Pertamina ataupun sistem alarm saat pipa kehilangan tekanan, sampai ke sistem Automatic shut down nya. Kita membahas soal ketahanan sistem yang sewajarnya dimiliki perusahan minyak di tempat-tempat kritikal dalam aspek ilmu pelayaran dan pemahaman ilmu keselamatan.

Teluk Balikpapan tidak memiliki sistem yang baik untuk melihat potensi bahaya, memahami dan menanggulanginya. Tidak ada redudancy system, sebuah sistem yang robust, tangguh dan berlapis. Tidak adanya surveillance system yang normal dimiliki perusahaan yang merupakan Obvitnas, menjadikan Pertamina tidak mampu menyadari dan mendeteksi sebuah kapal yang diam diatas pipa yang dimilikinya. Alat minimal yang harus dimiliki adalah sebuah radar yang simpel dan alat komunikasi VHF marine untuk berkomunikasi dengan kapal kapal yang melintas, dan memberikan warning jika kapal melakukan manuver yang membahayakan aset mereka. Perusahaan sekelas Total E&P (dahulu) yang merupakan tetangga Pertamina bahkan memiliki VTS sendiri yang sangat proaktif menjaga ratusan pipa di wilayahnya dari potensi bahaya.

Sistem diatas bisa dimiliki dan dioperasikan hanya apabila Pertamina memiliki pegawai yang berkemampuan ilmu Radar Plotting baik, dan mereka adalah para mantan navigator kapal. Bahkan tanpa peralatan tersebut mereka mampu melihat jika sebuah kapal ada di posisi bahaya dengan melakukan baringan benda darat yang merupakan bagian dari ilmu pelayaran datar.

Seseorang yang terlatih, apabila melihat kapal akan berlabuh di area DILARANG LABUH JANGKAR, akan langsung secara natural memanggil kapal tersebut dan mengusirnya serta melaporkan kepada syahbandar terdekat untuk minta pertolongan patroli, jika mereka tidak memiliki patrol boat atau watchdog boat. Apakah Pertamina memiliki Marine Superintendent dan staf nya di terminal yang memahami ilmu tersebut?

Dalam hal kebakaran di atas air, unsur segitiga api sudah sempurna tersedia di teluk Balikpapan saat itu. Minyak, Oksigen dan hanya menunggu kecerobohan seseorang menyalakan api atau perahu kelotok yang berbahan bakar minyak tanah lewat, dan BUMMM.....ada korban meninggal, laut terbakar, binatang mati, mangrove terkontaminasi dan pantai mulai dari Kampung Baru sampai Sepinggan tercemar.

  
Ini diperparah dengan tidak pahamnya pemimpin keselamatan di Teluk Balikpapan, Kepala Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) yang tidak memiliki ilmu dan pendidikan yang sepadan untuk jabatannya. Dalam keterangan pers nya yang terburu buru, dia menyampaikan bahwa yang terbakar adalah peralatan kapal, yaitu tali pengikat dan ILR. Apa maksudnya ILR ? Inflatable Life Raft ? ILR dan tali tidak akan pernah mengobarkan api sebesar itu. Pernahkan dia mengikuti pendidikan Fire Fighting atau Advance Fire Fighting, jika tidak maka itu adalah kecerobohan dalam penempatan pejabat yang salah di tempat yang salah. HUBLA harus introspeksi diri soal posisi syahbandar, harus tepat dalam menempatkan ASN di posisi yang krusial.

Yang terakhir adalah soal kapal yang berlabuh jangkar di posisi tersebut, di dalam DLKR dan DLKP setiap pelabuhan, pergerakan kapal selalu dicatat dan termonitor dengan baik. Untuk kapal kecil dan kapal yang familiar dengan lokasi boleh bergerak tanpa menggunakan jasa pandu. Kapal kapal supply di Teluk Balikpapan yang datang dan pergi ke Petro Sea dan Eastkal Jetty tidak menggunakan jasa pandu. Begitu juga kapal ferry Kampung Baru ke Penajam. Tetapi kapal Asing yang memuat batubara disana, apakah pergerakannya tidak di monitor, dilaporkan dan menggunakan jasa pandu?

Persoalan sepele yang berakibat fatal, Balikpapan butuh Syahbandar, Marine Superintendent Pertamina, Surveillance system dan Coast Guard yang berpengalaman dan berpendidikan sangat baik, Objek Vital Nasional adalah pertaruhan yang terlalu mahal, bahkan kapal Anti Pollution yang memiliki tangki penampungan, skimmer, Spray arm, dan oil boom yang memadai pun kemungkinan tidak dimiliki Pertamina. Tanpa dilengkapi Alert System, Monitioring System, Intervention system sampai Recovery system, teluk Balikpapan adalah bom waktu yang akan terulang.(Capt Zaenal A Hasibuan, a proud member of IKPPNI)