Jalan Tol Ciptaan Tuhan Di Pantai Utara Jawa Yang Belum Dimaksimalkan -->

Iklan Semua Halaman

Jalan Tol Ciptaan Tuhan Di Pantai Utara Jawa Yang Belum Dimaksimalkan

21 Mei 2018
eMaritim.com, 14 May 2018

Jalan di Pantai Utara Jawa (Pantura) terus berbenah sepanjang waktu, hampir tidak ada hari tanpa perbaikan di jalur paling legendaris di Indonesia tersebut. Setiap tahunnya perbaikan Pantura menelan anggaran 1 - 1,5 Trilyun rupiah untuk perbaikan dan perawatan, bukan jumlah yang kecil untuk selalu dikeluarkan terus menerus. Pelebaran dan semenisasi seperti berlomba dengan kendaraan yang terus bertambah secara kuantitas maupun bobot yang melebihi kapasitas. Ditambah lagi bahwa secara mendasar kontur pantura memang bekas rawa sehingga tidak kuat disiksa beban berlebih.

Sementara jalan Tol bebas hambatan yang diciptakan Tuhan untuk masyarakat Indonesia, berupa laut yang menghubungkan seluruh pulau masih belum dimaksimalkan. Laut bebas perawatan, tidak perlu trilyunan rupiah tiap tahun untuk perbaikan, dan tidak ada masalah macet di laut. Sayangnya pemanfaatan laut pantai utara Jawa secara lebih baik belum dibuat dalam sebuah aturan mengenai pembagian mana truk yang harus lewat laut dan mana yang lewat darat.

Saat ini apabila menyusur jalur Pantura, mudah sekali menjumpai truk single chasis ukuran ekstra panjang yang bak belakangnya over hang dari sumbu belakangnya, atau yang sumbu rodanya dua kali lipat ukuran standarnya. Tujuan dari modifikasi tersebut adalah keuntungan ekonomis untuk si pemilik truk, sementara dampak negatif dari perubahan tersebut bisa dirasakan banyak pihak.
Mulai dari lambatnya kecepatan kendaraan di jalur itu, rusaknya jalan karena bobot kendaraan yang besar, kecelakaan karena jalan yang bergelombang, dan rem truk yang tidak mampu menahan bebannya seperti yang kemarin terjadi di Bumiayu.

Apabila membandingkan kecepatan rata rata truk di jalan Pantura, sebuah truk 6 roda atau lebih akan membutuhkan waktu sekitar 2 hari untuk menempuh jarak sekitar 760 kilometer di jalan tersebut. Sementara sebuah kapal dengan kecepatan rata rata 18-22 knot ( 33- 40 km/jam ) akan menghabiskan waktu sekitar 24 jam dari Tanjung Priok ke Tanjung Perak, dengan catatan kapal tidak harus lego jangkar menunggu dermaga ataupun giliran dapat pandu di pelabuhan.

Lupakan soal jalan Tol Jakarta- Surabaya, truk tidak membutuhkan itu. Selain berbayar dan mahal, truk tidak bisa memacu kecepatannya lebih dari 50 km/jam di jalan tol, karena lebih dari 70 % truk yang lewat di Pantura kelebihan bobot muatan. Mereka hanya butuh jalan datar, dan jalan di Pantura hampir semua datar sekaligus tempat istirahat yang bisa dipilih sesuai selera.

Padahal jika dihitung dari pemakaian BBM untuk kepentingan negara, mudah sekali melihat perbedaan antara pemakaian truk dan kapal.

Sebuah kapal Roro jurusan Jakarta-Surabaya yang berkemampuan angkut sekitar 250 truk sekali jalan, dengan mesin 6000 HP membutuhkan sekitar 24 jam x 500 liter Solar,  atau setara dengan 12.000 liter.

Jika pemakaian solar sebuah truk rata rata 2,5 kilometer per liter, maka dibutuhkan 304 liter untuk menempuh jarak Jakarta ke Surabaya atau sebaliknya. Kalikan pemakaian 304 liter (per truk) dengan 250 truk yang bisa diangkut sekali jalan menggunakan kapal, maka BBM yang dibakar di jalan raya setara dengan 76.000 liter. Ada pemborosan BBM sebanyak 64.000 liter untuk setiap 250 truk, plus jalan rusak, kecepatan mobil lain menjadi lamban, dan kecelakaan lalu lintas.

Tentu tidak mudah meminta atau sekedar menghimbau pengusaha truk apalagi supir truk untuk naik kapal dari Jakarta ke Surabaya atau sebaliknya. Kehidupan Pantura terlalu manis untuk ditinggalkan dengan pernak pernik yang tersedia di beberapa bagian jalan. Penolakan lain juga akan timbul dari petugas jembatan timbang yang akan berkurang koceknya dari pungutan liar yang selama ini dinikmatinya secara sepihak. Dibutuhkan Law Enforcement dalam bentuk minimal aturan kementerian terkait soal pengaturan ini.

Dengan jumlah sekitar 6000 truk yang melewati jalur Pantura setiap hari , katakanlah 600 truk pergi dengan tujuan Surabaya atau Jawa Timur, maka bisa dihitung  berapa banyak BBM bisa dihemat oleh negara apabila truk-truk tersebut diangkut dengan kapal Roro setiap harinya. Yang harus dicatat, bahwa truk yang berlebihan bobot tidak bisa dinaikkan ke kapal, karena akan merusak Ramp Door kapal. Jadi pada dasarnya, semua harus mengikuti aturan tentang bobot maksimum.

Pemakian BBM dan biaya perawatan jalan yang menggerogoti APBN sudah selayaknya disikapi pemerintah dengan sangat serius, efisiensi harus dilakukan dimana mana. Persaingan Kapal Laut melawan Jalan Raya harus dilihat dari kacamata yang lebih besar lagi. Pembagian beban jalan pantai utara Jawa sudah seharusnya dipindahkan ke laut pantai utara Jawa. (Capt. Zaenal Arifin Hasibuan)