Jakarta, eMaritim.com – Pasca kejadian tenggelamnya KM Sinar
Bangun di perairan Danau Toba, Direktorat Jenderal Perhubungan memperketat
penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB), dan mengeluarkan petunjuk
pengawasan penerbitan SPB bagi kapal-kapal yang berlayar di Perairan tersebut.
Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Junaidi
mengungkapkan bahwa dengan adanya kejadian tenggelamnya kapal KM. Sinar Bangun
di Danau Toba beberapa waktu yang lalu,
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut selaku maritime administration
mengeluarkan Surat Edaran nomor KL.202/1/14/DN-18 tanggal 25 Juni 2018 yang
ditujukan untuk para pemilik/operator kapal dan nakhoda tentang Petunjuk
Pengawasa Penerbitan SPB Bagi
Kapal-Kapal yang Berlayar di Perairan Danau Toba.
"Selama ini SPB kapal-kapal yang berlayar di Danau Toba
diterbitkan oleh petugas pemegang fungsi keselamatan pelayaran angkutan sungai
dan danau pada Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota setempat," kata Junaidi.
Lebih lanjut, Junaidi menyebutkan bahwa kejadian KM. Sinar
Bangun kemarin mendorong Direktorat Jenderal Perhubungan Laut hadir untuk
melakukan pembinaan keselamatan pelayaran di Danau Toba salah satunya dengan
menertibkan prosedur penerbitan SPB kapal-kapal yang berlayar di Danau Toba.
"Untuk itulah kami keluarkan surat edaran tentang
petunjuk pengawasan penerbitan SPB agar masing-masing pihak baik pemilik maupun
operator kapal dan nakhoda mengerti apa yang harus dipenuhi sebelum SPB
diterbitkan," ujar Junaidi.
Junaidi menjelaskan bahwa sebelum mendapatkan SPB, Nakhoda
kapal mengajukan surat permohonan kepada petugas pemegang fungsi keselamatan
pelayaran angkutan sungai dan danau pada Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota
setempat.
"Selanjutnya, Nakhoda membuat surat pernyataan (master
sailing declaration) dan ditandatangani sesuai dengan Peraturan Menteri
Perhubungan nomor PM.82 tahun 2014 tentang Tata Cara Penerbitan SPB. Nakhoda
juga harus melampirkan dokumen/surat-surat kapal dan manifes serta daftar
penumpang sebelum penerbitan SPB," tegas Junaidi.
Junaidi juga menegaskan para pemilik/operator kapal dan
nakhoda untuk berkewajiban memastikan kapal sebelum berlayar dilengkapi dengan
perlengkapan keselamatan dan alat pemadam kebakaran tersedia yang dapat
berfungsi dengan baik.
"Nakhoda harus memastikan keadaan cuaca sebelum
berlayar dalam kondisi baik dengan memantau prakiraan cuaca melalui website
BMKG. Nakhoda juga harus memastikan kapal sebelum diberangkatkan tidak dimuati
penumpang lebih dari kapasitas yang diterapkan dalam aspek keselamatan
kapal," ujar Junaidi.
Junaidi juga menegaskan agar Nakhoda berkewajiban memastikan
penumpang kapalnya menggunakan life jacket selama pelayarannya tanpa
terkecuali. Junaidi juga menegaskan agar Nakhoda berkewajiban untuk memastikan
setiap penumpangnya menggunakan life jacket.
"Nakhoda segera melaporkan kepada petugas pemegang
fungsi keselamatan pelayaran angkutan sungai dan danau pada Dinas
Provinsi/Kabupaten/Kota setempat bila ditemukan kondisi kapalnya tidak laik
layar. Nakhoda juga harus menunda keberangkatan jika cuaca tidak memungkinkan
untuk berangkat dan faktor kelaikan kapal tidak terpenuhi," tutup Junaidi.
Sekali lagi, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menegaskan
bahwa keselamatan pelayaran dapat terwujud jika ada sinergi antara regulator,
operator dan user dalam hal ini pengguna jasa transportasi laut.
Untuk itu, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut mengajak
semua pihak untuk menjadikan keselamatan pelayaran sebagai kebutuhan mutlak dan
tanggung jawab bersama. Pemenuhan
keselamatan pelayaran harus dilakukan agar terwujud pelayaran yang aman,
selamat, tertib dan nyaman (PASTINYA!). (*/hp)