Tol Laut dan Poros Maritim Yang Salah Arah -->

Iklan Semua Halaman

Tol Laut dan Poros Maritim Yang Salah Arah

01 Juni 2018
eMaritim.com, 1 Juni 2018



Banyak yang tidak menyadari ketergantungan ekspor komoditas dan impor Indonesia kepada kapal asing sudah memasuki stadium akut semenjak berpuluh tahun lalu, 
Indonesia tidak punya ketahanan angkutan kapal sama sekali dalam konteks internasional. Jika terjadi persaingan dengan negara lain penghasil komoditas yang sama, sedikit saja issue tentang lingkungan hidup Indonesia di blow up di dunia internasional, maka sebuah pelarangan mengangkut hasil bumi Indonesia akan meruntuntuhkan ekonomi negara ini. Ingat, umumnya tambang batubara di Indonesia (sebagai contoh) menyisakan problem perusakan lingkungan hidup yang sulit diatasi berupa danau-danau hitam pekat di hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera. 

Dengan 95 persen hasil ekspor impor Indonesia diangkut oleh kapal asing, apakah gelar negara maritim pantas disandang Indonesia? Berkacalah, dan kita akan sadar betapa rentannya negara ini dalam hubungan perdagangan internasional. 

Memiliki 250 juta penduduk dan hasil bumi melimpah, kekuatan Indonesia jauh lebih hebat dibanding Sriwijaya ataupun Majapahit dimasa lalu. Tetapi keroposnya sendi ekonomi negara ini sangat diharapkan dan bahkan direncanakan oleh negara-negara tetangga kita, juga para Main Line Operator pelayaran asing yang jauh diseberang samudra. Ketergantungan Indonesia terhadap angkutan kapal asing bisa menjadikan kita mudah dikendalikan secara ekomomi dan itulah yang terjadi setelah 73 tahun merdeka. 

Secara kasat mata, dunia pelayaran Indonesia sedang menghadapi saat-saat kritis dimana hasil ekspor Indonesia diangkut oleh kapal-kapal asing tidak cuma di pelabuhan utama,  tetapi mulai merambah ke banyak pelabuhan kecil di Indonesia. Pelemahan ini sangat masif dan rapih dilakukan oleh pelayaran asing serta mendapat restu dari pemerintah dengan bungkus cantik berjudul peningkatan ekspor dan memotong biaya logistik. 

Pemerintahpun sering mengeluhkan mahalnya biaya angkutan kapal domestik Indonesia apabila dibandingkan dengan pelayaran asing. Sayangnya keluhan itu tidak dibarengi dengan usaha memperbaikinya secara nyata. Bahkan pemerintah pula yang memajukan pelayaran asing sebagai problem solver semu ekspor komoditas Indonesia. Efek samping dan bahaya dari kebijakan tersebut tidak pernah disadari, terutama bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu meraja lelanya kapal-kapal asing di pelosok Nusantara serta ketergantungan kita pada pelayaran asing.

Dengan bunga pinjaman masih di angka 2 digit, sulitnya perbankan memberikan kredit pembelian dan pembangunan kapal, masa loan yang pendek, birokrasi pengurusan sertifikat kapal yang rawan pungli, harga BBM yang lebih mahal dari negara tetangga, pemalakan kapal di laut oleh oknum aparat, maka membandingkan biaya operasi kapal Indonesia dengan kapal asing ibarat bumi dan langit. Rasanya terlalu naif apabila pemerintah mengeluhkan mahalnya biaya angkutan laut domestik. 

Pembangunan ekonomi Indonesia sebenarnya sudah dilakukan dengan baik pada masa program transmigrasi dahulu. Kesadaran bahwa setiap pulau harus digali komoditasnya perlahan menjadikan daerah eks transmigran berubah menjadi sentra industri dimasa sekarang. Sayangnya berganti pemerintah, berganti pula kebijakannya. Komoditas banyak, kapal pengangkutmya tidak terfikirkan.

Padahal trade yang balans antara jumlah ekspor dan impor Indonesia, bisa menjadi bekal utama menciptakan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Sekali lagi, sayangnya itu hanya dinikmati oleh pelayaran asing. Hampir tidak ada bedanya dengan keadaan saat Hindia Belanda menekan perusahaan pelayaran pribumi (Roepelin contohnya) dan menguasai hampir seluruh angkutan laut di Nusantara.

Ketidak pahaman ini belakangan malah mendorong pemerintah seperti ingin merubah DJPL menjadi perusahaan pelayaran, ratusan kapal dibangun menggunakan uang rakyat,  dioperasikan dengan subsidi uang rakyat dan berkompetisi di beberapa rute dengan pelayaran rakyat juga. Entah siapa yang membisikkan kepada kepala negara harus membangun ratusan kapal, yang pasti sebagian dari rute kapal mulai di revisi, pengoperasian kapal mulai ditawarkan kepada swasta, beberapa pelabuhan yang mangkrakpun ditawarkan. 
Keinginan menjadikan Tol Laut sebagai program unggulan sayangnya tidak dipahami oleh penyelenggara pemerintahan, Tol Laut adalah dimana semua kapal berlayar dengan kecepatan penuh karena membawa muatan dan sudah ditunggu oleh muatan balik di pelabuhan tujuannya. 
Poros maritim dunia adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat perdagangan dunia atas komoditas kita dan juga impor kebutuhan negara, hal ini tentunya dilakukan dengan kapal Indonesia. 

Untuk Tol laut, dibutuhkan keseimbangan neraca perdagangan antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur, sama saja seperti perdagangan antar benua. Keseimbangan itu hadir dalam bentuk tersedianya muatan kapal yang dihasilkan dari komoditas di setiap pulau atau negara. Kapal akan bergerak cepat apabila ada muatan yang diangkut dan muatan yang sudah menunggu. 

Jadi apa yang menggerakkan Tol Laut dan Poros Maritim? Itulah yang disebut komoditas. Untuk menjadi poros maritim dunia kita sudah cukup memiliki bekal trade yang balans antara ekspor dan impor, yang kurang hanya keinginan pemerintah membuat kebijakan besar memajukan pelayaran Indonesia agar bisa menyelamatkan Defisit Neraca Berjalan serta menjadi mandiri dalam kegiatan niaga antar bangsa. Sementara untuk menjadikan Tol laut sebuah program yang sukses, ingat kembali bahwa membangun sebuah industri baru di pulau yang minim SDM maka mau tidak mau haus mencontoh program transmigrasi dahulu. Setelah itu berikan bantuan agar industri tercipta. Soal kapal tidak perlu pusing, karena bangsa ini sudah hidup menggunakan kapal sejak awal peradaban manusia di Nusantara.

(Capt.Zaenal Arifin Hasibuan)