Negara Kepulauan Republik Indonesia Membutuhkan Panglima Angkutan Kapal Niaga Untuk Menjadi Negara Maritim. -->

Iklan Semua Halaman

Negara Kepulauan Republik Indonesia Membutuhkan Panglima Angkutan Kapal Niaga Untuk Menjadi Negara Maritim.

15 Juli 2018
eMaritim, 15 Juli 2018


Kecelakaan kapal yang terjadi secara beruntun di Indonesia sangat membutuhkan keseriusan pemerintah untuk terus melakukan perbaikan di sektor angkutan kapal, baik laut,  penyeberangan, sungai dan danau. Persoalan-persoalan yang menjadi dasar dari kejadian tersebut sudah seharusnya ditangani di level tatanan negara yang paling atas, tidak cukup di Kementerian Perhubungan saja,  harus ada keterlibatan Wakil Masyarakat di DPR dan Presiden Republik Indonesia.

Mengurus kegiatan pelayaran tidak sama dengan moda transportasi darat, karena laut seperti juga udara adalah kegiatan yang borderless antar negara bahkan antar benua. Jika aturan mengemudi mobil di Indonesia hendak dipindahkan dari kiri ke kanan, tidak akan ada negara lain atau badan dunia yang keberatan, karena itu urusan negara masing masing. Di laut ada badan dunia IMO yang mengatur dengan berbagai konvensi yang harus dipatuhi anggotanya.

Kekhususan ini menjadikan kegiatan transportasi laut sesuatu yang spesial, terlebih untuk NKRI yang dua pertiga wilayahnya adalah lautan. Sayangnya negara sudah lama alpa dan tidak menyadari hal ini sampai sekarang. 

Di tahun 2014 saat Presiden dan Wakil Presiden Jokowi - JK terpilih dan langsung mendeklarasikan bahwa Indonesia harus kembali berkibkat kepada laut dengan merubah kebijakan ekonomi land base menjadi maritime base, insan maritim Indonesia berharap akan adanya payung hukum dan struktur kelembagaan negara untuk mendukung cita-cita sang pemimpin. Sayangnya harapan tersebut menjadi gamang di tepi laut tidak jauh dari pelabuhan darimana harapan itu berangkat. Tidak adanya keterlibatan ahli dan pakar maritim dalam membantu dan merumuskan arah kebijakan tersebut, menjadikan negara larut dalam euforia sesaat sampai pada akhirnya terpaksa berlayar ke port of destination tanpa voyage planning yang terencana dengan baik.

Melaksanakan kegiatan maritim di Indonesia yang ditulang punggungi oleh pelayaran kapal niaga, secara kelembagaan tidak cukup dikomandoi oleh pejabat setingkat Direktur Jenderal, sejarah membuktikan itu. Pemerintah sudah sewajarnya menengok kebelakang atau belajar dari negara lain yang sukses dalam penyelenggaraan kegiatan maritim.

Di jaman akhir pemerintahan Presiden Soekarno, negara pernah dengan baik menerjemahkan pentingnya memiliki unit penyelenggara khusus, dengan memiliki Kementerian Perhubungan Laut  yang saat itu dipimpin oleh Menteri yang sangat populer Letjend KKO Ali Sadikin, yang kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta paling merakyat sepanjang masa.

Pentingnya penataan kegiatan pelayaran nasional adalah mutlak untuk negara kepulauan Indonesia, sehingga keberadaan Kementerian Perhubungan Laut (Maritim) tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sang Menteri harus memiliki akses langsung ke Presiden tanpa perantara, dan harus dipastikan bahwa masukan yang diberikan kepada Presiden adalah yang paling valid dan berkualitas. Walaupun Menteri adalah jabatan politis di negara ini, tapi penempatan orang yang memahami bidang tersebut adalah salah satu kunci utama keberhasilan program pemerintah yang diamanatkan kepadanya.

Kementerian Maritim membutuhkan seorang Grand Master kelas jempolan yang terlatih, cerdas dan berakar didunia tersebut serta memiliki segudang sekondan tangguh disekelilingnya yang punya banyak varian strategi sebagai sparring partner untuk mensiasati ketertinggalan bidang ini.

Pembentukan Kementerian Maritim atau Kementerian Perhubungan Laut juga bisa menjadi unsur utama harmonisasi peraturan, undang undang dan tumpang tindihnya kepentingan dikegiatan tersebut. Masyarakat awam tidak pernah tau bahwa sebagian kegiatan pelayaran di Indonesia dikelola oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian KKP dan instansi lain. Sehingga kesemrawutan ini berakibat kepada besarnya biaya pengoperasian kapal, terlantarnya Pelaut dan Nelayan Indonesia, serta banyaknya petugas yang mengatur di air yang ujungnya mengakibatkan lesunya dunia pelayaran  Indonesia karena biaya tinggi untuk urusan urusan yang sekunder.

Sekedar di ketahui bahwa produk ekspor dan impor Indonesia 95 persennya diangkut oleh kapal asing.

Banyak kalangan yang percaya, bahwa untuk mengembangkan maritim di tanah air maka penguatan kualitas SDM adalah faktor yang utama untuk selanjutnya diikuti oleh sektor infrastruktur maritim. Jika pada tahun 1953 Presiden Soekarno mendirikan sekolah pelayaran yang pertama di Republik ini sebagai refleksi pentingnya negara memiliki SDM yang tangguh, tetapi sayangnya setelah 65 tahun berlalu tidak satupun pemerintahan yang meneruskan visi Bapak Pendiri Bangsa untuk berfikir mengembangkan dunia pendidikan dibidang maritim lebih jauh lagi.

Negara tetangga seperti Vietnam, atau Korea Selatan sudah jauh jauh hari sadar akan pentingnya bidang maritim. Mereka membentuk Maritime University yang menjadi tempat melahirkan para ilmuwan,  Doktor dan Professor yang Lex Specialist dibidang maritim. Hari inipun Sekjend International Maritime Organization adalah seorang warga negara Korea Selatan yang dihasilkan Universitas Maritimnya.

Yang lebih menyedihkan lagi bahwa rumpun ilmu maritim bahkan tidak dikenal oleh Kementerian Ristek Dikti sebagai lembaga yang domainnya mengurus Perguruan Tinggi. Penjelasan tentang pentingnya menciptakan Rumpun Ilmu Maritim sudah banyak diprakarsai dan dilakukan oleh IKPPNI (Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia), agar jenjang pendidikan yang sudah ada bisa dilanjutkan ke jenjang diatasnya yang LINIER. Sayangnya kepentingan sektoral masih membelenggu instansi instansi negara untuk berkolabirasi melaksanakan hal itu.

Indonesia boleh bercita-cita menjadi negara maritim, tapi selama ilmunya tidak dikenal dan dunia pendidikan tidak mengembangkan itu, mungkin 50 tahun lagi adalah waktu yang paling sedikit dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita Poros Maritim dunia. Sayangnya sebagian besar pembaca eMaritim sudah ada di surga dan tidak sempat lagi menyaksikan saat kapal-kapal berbendera merah putih kembali menjelajahi 7 samudera. 

Kepanikan pemerintah terlihat setelah tragedi KM Sinar Bangun di Danau Toba dan KMP Lestari Maju di Selayar yang menelan sekitar 200 korban tak berdosa dalam selang waktu 2 minggu. Pemerintahpun pun mungkin tidak tau, bahwa instansinya yang mengurus kapal di danau dan penyeberangan antar pulau bukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, terlebih menyadari bahwa SDM di institusi tersebut sangat terbatas dalam hal jumlah dan pengetahuan yang mendalam dibidang yang kompleks ini.

Belakangan Kepolisian Republik Indonesia bahkan meminta kepada Presiden Jokowi untuk diikutkan dalam pengawasan keselamatan pelayaran di laut. Jika ini terjadi, Indonesia kemungkinan besar tidak akan menuju kearah perbaikan yang berdasarkan kepada Peraturan Internasional yang menjadi rezim pengatur di laut, tapi bekerja berdasarkan trial and error tanpa landasan Undang Undang. Bahkan akan membuat mata dunia kembali menyorot Indonesia terkait penegakan aturan di laut dalam aspek keselamatan serta keamanannya.

Jika ingin memperbaiki penegakan aturan dan meningkatkan keselamatan serta keamanan angkutan laut di Indonesian, maka Indonesian Coast Guard yang menjadi amanat UU nomor 17 Tentang Pelayaran sudah seharusnya dibentuk sejak lama.

Selanjutnya penetapan para syahbandar sebagai tersangka atas kecelakaan pelayaran juga bisa menjadi boomerang yang akan kembali memukul pemerintah, karena dunia tidak mengenal praktik seperti ini. Tidak juga didalam negeri untuk moda transportasi lainnya.

Kecelakaan maut bus pariwisata di Tanjakan Emen Subang pada 10 Februari 2018 yang menewaskan 27 orang dan di Ciloto, Cipanas Jawa Barat pada 13 April 2018 (13 tewas) pun tidak menyinggung tentang tanggung jawab Dinas Perhubungan Darat sebagai pihak yang dijadikan tersangka.

Pemberian hukuman kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab tidak akan mengurai masalah tersebut, malah bisa menimbulkan kebingungan dari pengguna jasa bahkan penyelenggara negara dibidang tersebut pun akan merasa ketakutan menjalankan tugasnya.

Semua kecelakaan kapal adalah akumulasi dari kekurang pahaman negara dalam memberikan perhatian, dan kesadaran akan bentuk geografis negara yang didominasi oleh laut, sehingga selain bentuk tatanan negara yang tidak mendukung, Undang Undang saling bertubrukan, sektor pendidikan yang tidak memadai, ketaatan terhadap Undang Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara juga dilanggar.

Bagi-bagi kekuasaan antar partai politik sah-sah saja, selama Parpol menempatkan pejabat yang merupakan kadernya dengan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai dan sepadan untuk jabatannya.

Jadi seberapa hebatpun sang Grand Master Menteri Perhubungan Laut atau Menteri Maritim nantinya jika Kementerian tersebut dibentuk selepas tahun 2019, sistem harus mendukungnya dalam aspek payung hukum, akses, SDM yang mumpuni, jenjang pendidikan dan pasukan pendukung sang Menteri.

Mari sama sama kita tunggu apakah akan ada lagi Panglima Indonesian Merchant Marine Fleet nanti, seorang panglima yang membawahi 20.000 lebih kapal niaga, dan 500.000 kapal nelayan di Indonesia, seorang yang sehebat atau bahkan lebih hebat dari Letjend KKO Ali Sadikin almarhum.

(Capt. Zaenal Arifin Hasibuan, a proud member of Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia/ IKPPNI)