Mimpi Negara Maritim Setelah 73 Tahun Merdeka. -->

Iklan Semua Halaman

Mimpi Negara Maritim Setelah 73 Tahun Merdeka.

16 Agustus 2018
eMaritim.com, 16 Agustus 2018


Hari Kemerdekaan Indonesia ke 73 akan dirayakan di segala penjuru tanah air dengan semangat dan harapan atas kedaulatan negara yang utuh seperti diwariskan para Pahlawan Bangsa ini. 73 adalah usia yang sudah tidak bisa dibilang muda, terlebih jika menengok ke rekan sejawat NKRI seperti Korea, Malaysia, Singapura dan Thailand. Mereka mulai jauh meninggalkan kita, negeri yang konon disebut Gemah Ripah Loh Jinawi dalam hal kesejahteraan ekonomi, tatanan bernegara, kemajuan pembangunan dan meningkatnya daya beli masyarakat.

Dengan akan datangnya tahun politik di 2019, diperkirakan merah atau hitamnya rapor pemerintahan yang sekarang akan dibacakan lewat program yang dicanangkan pemerintah sendiri, yaitu Tol Laut dan Poros Maritim dunia.

Tidak adanya perubahan yang signifikan di sektor hukum yang mengatur soal kegiatan maritim membuat pemerintah masih berpijak di abu abunya penegakan hukum dilaut, Undang Undang no.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran masih tetap memiliki PR yang sama dari semenjak jaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sektor ini menjadi tidak menarik dibicarakan karena banyaknya pihak yang berebut kuasa di atas kapal niaga, sehingga nasib pelayaran niaga masih jadi bahan bancakan banyak pihak sampai hari ini. Ekonomi biaya tinggi, karena salah satunya disebabkan birokrasi yang kacau dilaut.

Hal terpenting berikutnya adalah mandeknya pengembangan SDM.

Hal besar yang diharapkan terjadi di pemerintahan Presiden Jokowi dengan program Tol Laut dan Poros Maritim dunia, belum menampakkan hasil yang signifikan. Salah satunya karena kurangnya pemahaman pemerintah akan arti maritim itu sendiri. Hal fundamental yang dibutuhkan dalam membangun ekonomi negara maritim yang bercorak kepulauan seperti Indonesia jadi terlewatkan, karena memang Indonesia kurang memiliki referensi ekonomi maritim didalam sistem pemerintahan.

Banyak pihak yang menyesalkan negara kepulauan sebesar Indonesia masih belum memiliki Universitas Maritim walau sudah 73 tahun merdeka, ini adalah kealpaan pemerintah yang berkelanjutan semenjak terakhir kali Presiden pertama R.I Ir.Soekarno mendirikan sekolah pelayaran di Jakarta pada tahun 1953. Setelah lewatnya masa itu, tidak satupun pemerintahan yang sadar untuk melanjutkan menggali potensi ekonomi maritim di negara yang seharusnya digdaya di laut.

Bahkan Indonesia masih belum bisa dikategorikan sebagai negara kelautan, karena potensi sumber daya alam lautnya hanya bisa disebut dalam angka angka yang belum pernah tercapai, dimana hasil yang didapat masih sangat jauh dari potensi itu sendiri. Apalagi disebut sebagai negara maritim, negara harus melihat data dan fakta yang ada yang masih jauh dari kategori negara maritim, negara yang bisa memaksimalkan kegiatan pelayaran sebagai sumber ekonominya.

Kenapa ditengah gencarnya pemerintah dengan program tol laut dan poros maritim dunia kita mendapati kenyataan bahwa ada 33 pelabuhan mangkrak yang dibangun pemerintah, atau kenyataan bahwa muatan ekspor impor Indonesia 95% nya diangkut oleh kapal asing?  Lalu kenapa kapal-kapal Tol laut juga masih sulit menggairahkan kemajuan ekonomi di Indonesia Timur?

Dengan 3 hal diatas saja, akan mudah dilempar pertanyaan; Siapa ahli ekonomi maritim Indonesia? Apa dasarnya pemerintah sampai membangun pelabuhan yang tidak ada fungsinya?

Ekonomi maritim akan diartikan berbeda dari perspektif disiplin ilmu yang berbeda. Kita lihat contoh mangkraknya 33 Pelabuhan di Indonesia yang menelan sekirar 2,8 triliun rupiah, kenapa hal itu sampai terjadi? Seandainya ditanyakan kepada ahli pembuat pelabuhan; Apa yang harus dilakukan untuk mensukseskan Program Tol Laut, maka jawabannya adalah harus dibuat banyak pelabuhan.

Lalu masalah pembangunan kapal besar-besaran oleh pemerintah, siapa yang menjadi mastermind dari hal tersebut? Jika ditanyakan kepada ahli pembuat kapal, apa yang harus dilakukan untuk Program Tol Laut, maka kemungkinan jawaban nya adalah membangun kapal sebanyak banyaknya.

Terakhir tanyalah kepada para pelaku dunia pelayaran yang terjun langsung dari pelabuhan ke pelabuhan dengan kapalnya, maka jawaban atas pertanyaan yang sama adalah; "Kasih kami muatan, maka kapal akan selalu jalan". Hal itu juga menjadi dasar bagi para saudagar Bugis untuk selalu bertahan dengan Pelayaran Rakyat yang tahan banting sampai sekarang.

Negara belum melihat potensi segelintir putra bangsanya yang meneruskan profesi nenek moyang mereka yang hidup sebagai pelaut dan berniaga.  Ilmu berlayar dan berniaga yang pada jaman dahulu merupakan pemersatu Nusantara sebetulnya bisa dikembangkan menjadi bagian dari rumpun ilmu maritim yang belum dikenal di Indonesia.

Pengembangan beberapa disiplin ilmu yang sudah ada dibidang pelayaran dan niaga bisa disatukan dalam sebuah institusi besar sekelas Universitas. Disitulah sebenarnya tempat membuat cetak biru langkah negara dalam menuju mimpinya untuk kembali menguasai lautan.

Ilmu-ilmu yang linier dibidang tersebut bisa membuat pemahaman dan cara berfikir anak bangsa tepat menentukan apa kebutuhan negara ini dibidang maritim.

Sampai hari ini, pemerintah masih berfikir bahwa pendidikan vokasi adalah cukup sebagai bekal mempersiapkan SDM yang tangguh dibidang maritim. Padahal hasil yang dicapai pemerintah dalam bidang maritim seharusnya sudah menyadarkan bahwa kita masih belum beranjak dari mimpi 73 tahun lalu. Bahkan pada tahun 60an sebenarnya keadaan dunia maritim Indonesia jauh lebih baik dari hari ini.

Membangun ekonomi maritim sudah sewajarnya menggunakan cara berfikir, dan visi berbeda dari yang sudah dilakukan selama ini. Dengan masih tergantungnya Indonesia kepada armada niaga asing dalam menjalankan bisnis ekspor impornya, sebutan negara maritim masih jauh dari layak untuk negara kepulauan Indonesia.

Indonesia harus punya Undang Undang Maritim, Universitas Maritim, dan Menteri Maritim, agar mimpi menjadi negara Maritim bisa menjadi kenyataan dalam kurun waktu kurang dari 73 tahun kedepan.(Capt. Zaenal A Hasibuan)