Pelabuhan Untung, Pengguna Jasa Buntung. Apa Tujuan Penyelenggaraan Pelabuhan ? -->

Iklan Semua Halaman

Pelabuhan Untung, Pengguna Jasa Buntung. Apa Tujuan Penyelenggaraan Pelabuhan ?

23 Agustus 2018
eMaritim.com, 23 Agustus 2018

Apa yang terlintas di fikiran kita jika membaca laporan keuntungan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia seperti Pelindo I cetak laba Rp.804 miliar, Pelindo 2 kantongi laba 1,21 triliun, Pelindo 3 targetkan laba sebesar 2,5 triliun, Pelindo 4 targetkan kenaikan 21% tahun 2018 agar capai laba 1,2 triliun ?

Angka-angka tersebut adalah capaian yang positif apabila menggambarkan sebuah badan usaha yang memang didirikan untuk mengejar keuntungan yang didapat dari para pengguna jasanya. Apakah hal tersebut bisa dipakai sebagai gambaran sukses dan sehatnya iklim usaha Pelayaran Indonesia? Seperti umumnya di negara maju, dimana pelabuhannya baik, pasti perusahaan angkutan lautnya baik.

Lalu apa hubungannya antara pelabuhan dengan pelayaran ?

Mari kita sama sama lihat kedalam Undang Undang nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yang mengatur kegiatan tersebut.

Pada Bab.I KETENTUAN
Pasal 1 disebutkan sebagai berikut;

1. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.

2. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.

3. Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.

Dengan jelas dan tegas dimaksudkan bahwa yang dimaksud PELAYARAN didalam Undang Undang tersebut adalah angkutan di perairan, kepelabuhanan dan keselamatan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim yang merupakan suatu kesatuan tak terpisahkan.

Selanjutnya kita coba perjelas lagi beberapa makna dari pasal pasal yang tercantum di dalam UU 17 tahun 2008.

BAB II ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2. Pelayaran diselenggarakan berdasarkan:

a. asas manfaat;
b. asas usaha bersama dan kekeluargaan;
c. asas persaingan sehat;
d. asas adil dan merata tanpa diskriminasi;
e. asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
f. asas kepentingan umum;
g. asas keterpaduan;
h. asas tegaknya hukum;
i. asas kemandirian;
j. asas berwawasan lingkungan hidup;
k. asas kedaulatan negara; dan
l. asas kebangsaan.

Pasal 3. Pelayaran diselenggarakan dengan tujuan:
a. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;

b. membina jiwa kebaharian;

c. menjunjung kedaulatan negara;

d. menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan nasional;

e. menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional;

f. memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara; dan

g. meningkatkan ketahanan nasional.

Memperhatikan dengan seksama amanah Undang Undang nomor 17 tahun 2008, bahwa angkutan perairan dan pelabuhan (disebut sebagai satu kesatuan bernama PELAYARAN) memiliki peran secara bersama sama dan berkesinambungan untuk menjadi motor pergerakan barang dan manusia bagi kemajuan ekonomi nasional. Didalam amanah tersebut juga dengan jelas dikatakan bahwa tugas tersebut adalah untuk menjunjung kedaulatan negara yang akan menciptakan daya saing nasional (terhadap kekuatan asing).

Seperti diketahui bahwa pelabuhan di Indonesia hampir semua menangani muatan untuk captive market, dimana pengguna jasa adalah masyarakat Indonesia atau barang-barang untuk pembangunan negara. Hanya kapal pembawanya saja yang bisa berbeda, apakah armada kapal pemerintah, swasta nasional atau kapal asing yang masuk ke pelabuhan tersebut.

Terlepas apapun kapalnya, dalam bisnis angkutan kapal, maka muatan kapal adalah penanggung biaya freight dan demurrage. Artinya, berapapun biaya angkut dan biaya pelabuhan, maka muatan lah pembayarnya. Atau dengan kata lain, pembangunannya lah yang membayar biaya pelabuhan, atau rakyat Indonesia sebagai end user dari setiap barang yang keluar masuk pelabuhan.

Kita sering silau dengan kemajuan Pelabuhan Singapore dan Rotterdam yang merupakan 2 pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia, sebelum kebangkitan ekonomi Cina. Sehingga kita sering menjadikan 2 pelabuhan tersebut sebagai bench mark kesuksesan pelabuhan-pelabuhan yang ada di Indonesia, dari sisi jumlah muatan/ kapal yang yang ditangani dan juga margin profit yang didapat.

Hal yang membedakan antara pelabuhan yang melayani muatan internasional dengan yang melayani muatan untuk kebutuhan domestiknya adalah di dasar pembentukan pelabuhan itu sendiri seperti yang termaktub didalam Undang Undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang dijabarkan diatas. Pembayar utama pelabuhan Singapura atau Rotterdam adalah negara lain, yang menggunakan jasa pelabuhan tersebut sebagai pelabuhan transit.

Indonesia, dengan biaya logistik yang masih sekitar 24% dari GDP sebenarnya masih memiliki banyak tugas yang belum selesai, seperti yang masih dialami program pemerintah Tol Laut, ataupun yang dialami oleh bidang angkutan lautnya yang seharusnya menjadi satu kesatuan dengan pelabuhan sebagai unsur pelayaran dalam konteks sebagai agen utama pembangunan naional.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan PELAYARAN secara utuh di Indonesia masih sangat timpang apabila kita berpegang kepada pemahaman dari Undang Undang nomor 17. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan bagi kedaulatan negara masih jauh dari harapan. Angka-angka profit yang didapat pelabuhan-pelabuhan Indonesia seperti meninggalkan kodrat bahwa pelabuhan juga bertugas menjaga kesimbangan negara dalam konteks sistem logistik nasional bersama pasangannya, angkutan perairan.

Indonesia akan tetap rentan dalam ketahanan sistem logistiknya apabila pelabuhan-pelabuhan Indonesia hanya dipenuhi kapal-kapal asing yang menikmati melimpahnya muatan ekspor impor Indonesia. Lalu apakah memang pelabuhan sudah tidak lagi mengemban tugas sebagai motor kemajuan ekonomi bangsa dalam konteks menyalurkan arus barang dan penumpang secara massal?

Hal seperti ini sewajarnya tidak luput dari pantauan pemerintah yang bertindak selaku pembina dari kegiatan tersebut.

Kencangnya profit yang didapat pelabuhan-pelabuhan yang dikelola oleh Pelindo bahkan membuat BUMN tersebut mulai merambah membuat perusahaan pelayaran, perusahaan bongkar muat dan usaha ikutan lainnya di pelabuhan terkait yang bisa meruntuhkan aspek keserasian, keadilan, persaingan usaha sehat dan pemerataan tanpa diskriminasi. Sehingga asas dan tujuan pelabuhan seperti yang disebutkan di Bab II Pasal 2 Undang Undang Pelayaran sudah jauh menyimpang.


Dengan fakta-fakta bahwa biaya logistik di Indonesia masih termasuk yang tertinggi di ASEAN, belum meningkatnya tingkat keterisian kapal-kapal To Laut dan besarnya margin profit pelabuhan pemerintah, masyarakat semakin tidak paham, kenapa pemerintah sering mengeluhkan biaya logistik masih tinggi? Apa yang dibanggakan dari besarnya margin profit pelabuhan milik pemerintah, adalah kontradiksi dari besarnya biaya logistik negara ini. Kantong kiri tertawa, kantong kanan menderita.

Angkutan laut, seperti juga industri penunjang utamanya (galangan kapal, dunia kepelautan, bongkar muat dan lainnya) masih menderita akibat panjangnya krisis yang terjadi semenjak 2015 lalu dan belum berpihaknya pemerintah kepada industri tersebut. Derita itu kini bertambah lagi dengan muculnya usaha-usaha pelayaran, bongkar muat dan usaha lainnya yang didirikan oleh Pelabuhan Indonesia di setiap tempat mereka beroperasi. Tikaman ini pada jangka panjang bisa menjerat leher Indonesia, dengan berkuasanya kapal-kapal asing di setiap pelabuhan Indonesia sebagai partner dari Pelabuhan Indonesia, dan itu sudah dimulai beberapa tahun silam dengan lakon yang disebut DIRECT CALL.

Jika di zaman VOC 100% muatan ekspor impor Indonesia dikuasai Belanda, saat ini 95% muatan ekspor impor Indonesia dikuasai oleh armada kapal asing. Banggakah kita ?(jan)