Isitmewa | Pelabuhan Berau |
eMaritim.com, Balikpapan - Kembali terjadi pungli yang berada di area pelabuhan, kali ini Kepolisian Resor Berau Kalimantan Timur membubarkan puluhan pelaku pungutan liar (pungli) bongkar muat batu bara di perairan Muara Berau.
Menurut Kapolres Berau, AKBP Pramuja Sigit Wahono Pelaku
berkedok Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TGBM) Pelabuhan Berau yang memungut
jasa secara paksa pada seluruh industri pertambangan di Berau.
"Sudah kami himbau untuk membubarkan diri terhadap 80
orang orang masyarakat. Kegiatan usaha pertambangan terganggu, gara-gara buruh
minta fee dan lainnya," katanya, Senin (3/9/2018).
Pramuja mengatakan, polisi menerima laporan soal gangguan
proses distribusi bongkar muat batu bara di perairan Berau. Laporan perusahaan
batu bara ini, menurutnya langsung ditindak lanjuti dengan pengerahan ratusan
personil polisi didukung TNI.
"Sudah kami lakukan penertiban sejak Jumat lalu dan
terus memperoleh pantauan dari polisi," tegasnya seperti dikutip dari
liputan6.com.
Sementara ini, polisi mendalami tuduhan mengganggu kegiatan
pertambangan sesuai Undang Undang Minerba. Kegiatan pertambangan meliputi aktivitas
penelitan, produksi hingga penjualan.
Saat bersamaan, Polres Berau menelisik tuduhan pungli proses
bongkar muat batu bara di perairan Berau. Polisi hingga kini masih memeriksa
pihak terlapor yang terdiri sejumlah perusahaan batu bara Berau.
"Status kasusnya masih penyelidikan dengan memeriksa
saksi saksi terlapor," tuturnya.
Soal jasa bongkar muat Pelabuhan Berau, Asosiasi Perusahaan
Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Berau memang menjalin kerjasama dengan Koperasi
TKBM Berau sejak 2000-an. Koperasi memungut jasa sebesar Rp 1.080 per ton bagi
seluruh industri pertambangan Berau yang produksinya mencapai 38 juta ton per
tahun.
Koperasi TKBM Berau mengantongi pungutan Rp 40 miliar per
tahun.
"Kurang lebihnya sebesar itu (Rp 40 miliar),"
ungkap Ketua APBMI Berau, Rizal Juniar.
Berjalannya waktu, pemerintah menerbitkan larangan pengenaan
tarif jasa bongkar muat tanpa ada jasa diberikan. Apalagi bersamaan waktunya,
Pelabuhan Tanjung Redeb Berau sudah menggunakan teknologi mesin bongkar muat
batu bara tipe gear vessel.
"Artinya no service no pay (tanpa jasa tanpa bayaran).
Pemerintah juga menerbitkan larangan pembayaran sejak tahun 2016 lalu, tidak
ada lagi yang bisa dibayarkan," sebut Rizal.
Mayoritas pembeli batu bara Berau memilih memanfaatkan
sistim berbasis mesin. Prakteknya, koperasi tetap menagih fee jasa bongkar muat
meskipun layanannya tidak lagi diperlukan.
"Biaya bongkar muat tenaga orang dipaksa harus dibayar.
Sehingga pengguna jasa akhirnya membayar dua kali, yakni biaya alat bongkar
muat dan upah buruh," keluhnya.
APBMI Berau sudah mengkomunikasikan aturan baru ini pada
Koperasi TKBM berikut puluhan buruh di Pelabuhan Tanjung Redeb Berau. Kedua
pihak akhirnya bersepakat meniadakan pungutan mengingat adanya ketetapan aturan
hukumnya.
"Selama tahun 2017 lalu tidak ada lagi pungutan baru
dari Koperasi TKBM," sebutnya.
Namun masuk 2018 ini, Rizal mendadak kembali menerima
tagihan pungutan dari Koperasi TKBM Berau. Besaran tagihan mereka memang
menyusut menjadi hanya 60 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Penolakan pembayaran berujung gangguan proses bongkar muat
batu bara di perairan Berau. Aksi premanisme ini pula yang akhirnya menjadi
perhatian Polres Berau.
"Kita serahkan saja pada polisi bila ada pelanggaran
pidana di sini. Kami akan koperatif bila nantinya diminta keterangan,"
ujar Rizal.
Kasus Serupa di Samarinda
Kasus serupa sempat terjadi di Pelabuhan Samarinda di mana
Badan Reserse Kriminal Polri mengungkap praktek pungli Koperasi Tenaga Kerja
Bongkar Muat Samudera Sejahtera (Komura), pertengahan tahun lalu. Selama enam
tahun beroperasi, koperasi ini sudah memungut jasa liar sebesar Rp 2 triliun
dari perusahaan pertambangan.
Polisi mendapati setidaknya sembilan perusahaan yang diminta
pungutan paksa di Terminal Peti Kemas Palaran dan Pelabuhan Muara Berau,
Samarinda. Penyidik memperkirakan dana Rp 180 miliar diperoleh Komura dari
pemerasan di Palaran. Adapun hasil palak tertinggi mereka diperoleh dari Muara
Berau, yang nilainya diperkirakan lebih dari Rp 2 triliun.
Polri menggeledah Kantor Komura Samarinda serta mendapati
uang tunai sebesar Rp 6,1 miliar diduga hasil kejahatan. Praktek pungli ini
menyebabkan biaya jasa bongkar-muat di Terminal Peti Kemas Samarinda lebih
mahal 15 kali lipat dibanding lokasi lain, yakni Rp 180-350 ribu per kontainer
ukuran 6-12 meter.
Berbanding terbalik dengan di Surabaya, jasa bongkar-muat
hanya Rp 10 ribu per kontainer untuk semua ukuran.
Penelusuran polisi menyita sejumlah barang bukti hasil
pungli berupa deposito senilai ratusan miliar rupiah, sembilan unit mobil
mewah, tujuh unit sepeda motor, lima rumah, dan dua bidang tanah.
Koperasi di Samarinda berdalih pungutan hasil kesepakatan
yang diteken oleh masing-masing perusahaan. Tapi, pengembangan penyidikan
menemukan banyak pihak mengaku terpaksa menandatangani kesepakatan dengan
Komura. (*)