Indonesia sebagai Negara Maritim, Sebuah Sejarah Atau Cita-Cita ? -->

Iklan Semua Halaman

Indonesia sebagai Negara Maritim, Sebuah Sejarah Atau Cita-Cita ?

03 September 2018
eMaritim.com, 3 September 2018.

Ditulis oleh Dr (C) Muchsin Mansyur S.Pel, MH.


Sejarah maritim Indonesia adalah sejarah peradaban manusia secara umum. Peran laut, daratan, pelaut dan kapal tak bisa dilepaskan karena merupakan satu kesatuan pembentuk unsur maritim dimasa itu.

Artinya bahwa kemajuan daratan dipengaruhi oleh kapal dan pelaut yang berlayar antar pulau. Secara bersama sama daratan dan kapal juga bisa dibilang "berhutang" kepada laut yang menjadi sarana menghubungkan pulau pulau yang dilayari kapal. Apalagi dengan wilayah kita yang begitu luas dengan 17.000 pulau yang "diapit" oleh lautan.

Ada kesalahan dalam memaknai sejarah maritim Indonesia. Saat ini, banyak pembicaraan dan kebijakan yang bertolak dari kejayaan bangsa Indonesia di masa lalu dengan hanya menyemangati eksplorasi kekayaan laut demi kesejahteraan rakyat.(Prof Sri Margana).

Jangan kita mengartikan membangun maritim nasional dengan lebih dititikberatkan pada eksploitasi hasil laut saja.

"Orang asing datang ke Nusantara bukan mencari ikan di laut tapi mencari komoditas dari daratannya,”
(Anthony Reid).

Membangun visi kemaritiman bangsa yang kini tengah digulirkan dengan apa yang disebut "periode maritim" dalam sejarah Nusantara (Politik Hukum) adalah seharusnya menjadi "Periode perdagangan internasional dan regional" dan menjadikan Indonesia berperan.

Dalam prosesnya hal itu bukan hanya menyangkut ekonomi, tetapi juga agama, filsafat, dan kebudayaan lainnya yang menyasar pada bangsa ini yang tersebar di seluruh pulau Indonesia di mulai dari pesisirnya yang elok.

Membangun dunia maritim di Indonesia yang bertitik tolak dari sejarah maritim artinya Membangun keterhubungan antarpulau untuk keperluan ekonomi, sosial, budaya, agama, dan pendidikan.Jadi sejarah maritim adalah sejarah peradaban secara umum.

Bahwa didasari karena kebutuhan ekonomi manusialah yang menggerakan mereka dan kapalnya untuk menyebrangi lautan dan pada mempengaruhi cara hidup manusia di Nusantara. Hal tersebut secara langsung menimbulkan alkultirasi budaya sehingga kemajemukan menjadikan kita bangsa yang kaya bukan hanya karena kekayaan alamnya, tapi budaya yang bernilai tinggi.

Sementara itu, perspektif pembangunan saat ini yang condong kepada eksploitasi kekayaan laut tak akan berlangsung lama. Apa yang ada di laut nantinya akan habis dan memiliki musim. “Kalau sudah itu apa lagi?”, hal terpenting dilakukan saat ini adalah integrasi. Yaitu bisa dilakukan dengan membuka katup-katup transportasi antar pulau dengan suatu "jembatan" invisible (Mr.Juanda).

Jika ini dilakukan, ketimpangan akan cepat diselesaikan. Seperti Jawa juga milik Papua, Papua juga milik Jawa. Namun eksploitasi alam dari lautan saja hanya akan menuju lembaran halaman terakhir dari suatu kisah bangsa.

Jangan membuat tradisi agraris dan maritim seakan terpisah. Padahal, dengan pengertian eksploitasi hasil laut, maritim dan agraris seakan dipisahkan. Dalam perspektif nasionalistik, laut justru dianggap sebagai penghubung.

Maka, sejarah maritim harusnya ditulis yang terintegrasi , kalau menurut perspektif itu, tidak boleh terpisah-pisah.

Bukti arkeologis di daerah pesisir Sumatera. Di berbagai situs penting di pesisir wilayah Sumatera, ditemukan bukti sisa komoditas dari daratan.
“Kota pesisir itu mati kalau hubungan dengan darat tidak ada. Damar, kemenyan, kapur barus, ceceran dari komoditas itu ditemukan dan yang terbanyak emas. Itu kan komoditas darat,” (Prof Ichwan).

Artinya bahwa pergerakan budaya Bahari dengan mengarungi lautan mengikuti kebutuhan dengan dibarengi kemampuan melayarkan kapal menuju daerah yang akan dijadikan mitra usaha, atau ship follow the needs/trade. Kota maritim adalah tempat yang mengalirkan barang dari darat. Kota maritim hanya bisa berkembang karena ada daratan. “Kota maritim besar muncul ketika ada daratan yang kuat. Pelabuhan Barus muncul karena ada pohon kapur (Dryobalanops aromatica), sementara pohon itu adanya di pedalaman, tidak bisa hidup di pesisir,”

Kesatuan antara daratan sebagai tempat komoditas dihasilkan, pelaut dan kapalnya, lautan sebagai penghubung adalah sebagai tulang punggung pembentuk sebuah negara maritim. (jan)