Ilustrasi Pelabuhan Tanjung Priok |
Banjarmasin, eMaritim.com - Organisasi pengusaha perusahaan
pelayaran angkutan niaga atau Indonesian National Shipowners Association (
INSA) Kalimantan Selatan, gusar ketika kabar Indonesia Multi Purpose Terminal
(IMPT) berniat memungut biaya jasa pelabuhan.
IMPT sebagai Badan Usaha Pelabuhan (BUP) sudah membuat
konsesi dengan Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Banjarmasin di
Pelabuhan Taboneo, Kabupaten Tanah Laut. Pangkal persoalan yang dikeluhkan INSA
Kalsel, KSOP menunjuk IMPT untuk memungut biaya jasa pandu, ship to ship, dan
lainnya kepada INSA.
Lebih ironis, menurut Ketua INSA Kalsel Capten Nurdin, semua
perjanjian itu tidak mengacu konsep ‘No Service No Pay’ – larangan mengutip
biaya tanpa ada pelayanan jasa, terutama kegiatan bongkar muat.
“Apalagi yang dikenakan tarif sebenarnya bukan sesuatu yang
menjadi tanggungan bagi para pengguna jasa yang notabene anggota INSA.
Sementara yang menjadi kegiatan di dalam ruang lingkup kegiatan Badan Usaha
Pelabuhan (BUP) sendiri belum diberikan besaran tarifnya seperti apa,” kata
Nurdin kepada banjarhits.ID di Banjarmasin, Rabu (7/11).
Nurdin berkata INSA Kalsel tetap menolak keinginan KSOP dan
IMPT. Sebab, pihaknya punya dasar kuat sesuai arahan dari DPP INSA yang tetap
mengacu no service no pay.
Menurut dia, penerapan tarif yang akan diberlakukan IMPT
belum tepat. Ia mengeluhkan IMPT mengutip tarif jasa barang dan jasa kapal ke
pengguna jasa. “Tidak akan bisa dikutip, kalau tidak ada kesepakatan dengan
asosiasi,” ujar Nurdin.
INSA meminta pemerintah harusnya memangkas biaya tinggi,
bukan malah memaksakan aturan yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Di sisi
lain, INSA turut menyayangkan pengenaan tarif pelabuhan yang tidak sesuai
aturan.
Selain itu, dia berasumi kebijakan ini tak punya dasar
kesepakatan kuat antara pelayaran dan operator pelabuhan. Nurdin menegaskan
pengenaan tarif yang dimaksud adalah tarif jasa barang dan tarif progresif.
Adapun tarif jasa barang merupakan tarif yang dikenakan operator pelabuhan
untuk consignee atau shipper.
"Namun pada praktik di lapangan, operator pelabuhan
mengenakaannya kepada pelayaran. Alasannya, operator pelabuhan kerap memakan
waktu yang lama untuk menerima pembayaran tarif jasa barang dari consignee atau
shipper," katanya.
Adanya kebijakan ini membuat pelayaran mesti menanggung
terlebih dahulu beban biaya tarif jasa barang. Setelah itu, pelayaran baru
menagihnya kepada shipper. Nurdin menambahkan, pelayaran pun kemudian dipaksa
menunggu lebih dulu tarif jasa barang di pelabuhan.
Nurdin menambahkan, tarif progresif tak bisa dibebankan ke
pihak pelayaran selama keterlambatan produktivitas pelabuhan disebabkan oleh
performa operator. Namun, jika keterlambatan itu disebabkan pihak pelayaran,
maka tarif progresif menjadi beban pelayaran.
"Untuk itu, penerapan tarif progresif di pelabuhan
tanpa adanya kesepakatan SLA atau SLG sulit diterapkan dan merugikan
pelayaran," kata Nurdin.
Sementara anggota INSA Kalsel Jumadri Masrun juga kurang
sepakat atas rencana pemberlakuan tarif bagi anggota INSA yang akan diterapkan
IMPT. “Sebaiknya rencana itu ditunda dulu, karena terkesan dipaksakan. Apalagi
IMPT itu kan perusahaan swasta,” kata Jumadri. (*)