Pertama Kali di Asia Tenggara, Tripartit Ini akan Lakukan Uji Air Laut -->

Iklan Semua Halaman

Pertama Kali di Asia Tenggara, Tripartit Ini akan Lakukan Uji Air Laut

07 Desember 2018

Jakarta, eMaritim.com – Tiga negara antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura akan melakukan uji air laut (test water). Ini pertama kalinya negara asia tenggara yang melakukan kerjasama untuk melihat adanya pengaruh spesies baru terhadap biota laut yang terkandung dalam air.

Test water ini dilakukan karena kapal-kapal dari tiga negara ini yang rutin melakukan pelayaran. Fokusnya adalah, jangan sampai ada spesies jahat yang terbawa dari satu negara melalui kapal dan dibuang di negara tujuan.

Test water ini diperlukan untuk melihat lebih jauh, apakah ada perbedaan biota laut antara Indonesia dengan negara-negara  Asia Tenggara. Karena ini adalah bagian penting yang harus dilakukan sejak dilakukan ratifikasi

Tes Water ini adalah bagian penting terkait rencana penerapan  Ballast Water di Indonesia  dimana  Indonesia telah melakukan ratifikasi Convention of Ballast Water Management melalui Peraturan Presiden Nomor 132 Tahun 2015 tentang Pengesahan The International Convention For The Control  And Management Of Ships Ballast Water And Sediments, 2004 (Marpol Annex 4).

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Indonesia National Shipowner's Association (INSA) Budi Halim menegaskan, kewajiban seluruh kapal merah putih  untuk menerapkan Ballast Water di setiap kapal.

"Indonesia - Malaysia - Singapura, tiga negara yang akan merealisasikannya dengan melakukan uji perairan laut atau test water," tutur Budi Halim, di tengah-tengah acara  Workshop  Ballast Water Management yang digelar  Ditkapel  Kemenhub dan DPP INSA,  Jumat (7/12/2018) di Hotel Santika Hayam Wuruk Jakarta Pusat.

Hasil uji air laut itu nantinya akan disampaikan kepada International Maritime Organization (IMO). Harapannya adalah, tidak ada biota atau spesies  lain yang membahayakan dari perairan di tiga negara.

"Kita kan mau melihat apakah  biota pada perairan di tiga negara ini ada kesamaan atau tidak," tuturnya.

Test water ini, telah dilakukan Singapura dan Malaysia. Indonesia akan mengikutinya dengan biaya yang ditanggung secara bersama-sama dari tiga negara. Kebutuhan biaya test water, ungkap Budi Halim sekitar Rp 4 miliar.

Untuk sementara ini diberlakukan pada tiga negara,  selanjutnya akan dimekarkan pada seluruh negara di Asia Tenggara. "Sementara ini hanya tiga negara, karena melihat kapal-kapal kita," tuturnya.

Kendala Biaya

Kendala utama diterapkannya  ballast water  di Indonesia ialah, faktor biaya. Harga mesin penyaring atau ballast water  cukup tinggi. Kalau diterapkan pada seluruh kapal di Indonesia, maka investasinya nyaris sama dengan harga kapalnya, karena kapal di Indonesia rata-rata berusia diatas 15 tahun.

Senior  Manager Convention Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) Aditya Trisandhya Pramana yang hadir  sebagai narasumber dalam Workshop   itu mengakui, mahalnya perangkat yang harus disiapkan pemilik kapal.

Namun ada solusi  yang dapat dilakukan para pemilik kapal di Indonesia. Air dari kapal di transfer ke kapal yang telah memiliki perangkat ballast water,  dan diolah selanjutya dibuang.

"Cara ini,  biayanya jauh lebih ringan ketimbang menyediakan sendiri perangkat. Cara lainnya ialah, untuk kapal-kapal domestik  yang berlayar pada perairan yang sama, limbahnya air limbah  kapal dibuang di laut lepas pada kedalaman,  minimal 100 meter.

Negara maju yang sudah menerapkan sistem ini ialah Amerika Serikat (AS). Negara itu mulai memberlakukan peraturan air ballast melalui US Coastguard (USCG) pada Juni 2012.

Konvensi Manajemen Balast Air IMO akan berlaku penuh pada 8 September 2017. Selain itu, beberapa badan nasional lainnya memperkenalkan peraturan khusus sebagai tanggapan untuk masalah unik di perairannya masing-masing.

Berdasarkan peraturan IMO, sekitar 60 ribu kapal membutuhkan solusi pengolahan air balas dalam jangka pendek. Sebagian besar dari kapal-kapal ini diharapkan mematuhi dengan memasang sistem perawatan air ballast tetap di kapal.

Ketika Konvensi IMO mulai berlaku pada 8 September 2017, semua kapal yang berdagang di perairan internasional akan diminta mengelola air pemberat  di setiap pelayaran dengan menukarkannya sesuai dengan apa yang disebut standar D-1 yang ditetapkan dalam konvensi IMO.

Setelah pembaharuan sertifikat IOPP pertama kapal setelah 8 September 2017, perawatan (bukan pertukaran) adalah wajib. Perawatan ditentukan dalam standar D-2 Konvensi Pengelolaan Balast Air IMO dan harus dilakukan dengan peralatan bersertifikasi. (*/hp)