To Halt To Stand High, Solusi Perbaikan Usaha Pelayaran Offshore -->

Iklan Semua Halaman

To Halt To Stand High, Solusi Perbaikan Usaha Pelayaran Offshore

17 Maret 2019
eMaritim.com, 17 Maret 2019.


Di Asia, hanya ada 2 tempat besar bagi industri perkapalan dan pelayaran lepas pantai (Offshore), yaitu Indonesia dan kawasan Timur Tengah. Indonesia sejak tahun 2005 lewat Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2005 telah berhasil melindungi perusahaan pelayarannya dengan asas Cabotage yang diperkuat oleh Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

Disisi lain hal tersebut (cabotage) secara langsung jelas mengusik kenyamanan perusahaan pelayaran negara tetangga yang telah puluhan tahun menikmati berbisnis di laut Indonesia, dan mereka terus berusaha mencari celah untuk kembali menguasai industri offshore Indonesia dengan armada mereka. Berbagai hal dilakukan agar niatan mereka kembali terwujud, dan ini nampaknya tidak disadari pemerintah Indonesia serta pelaku usaha dunia pelayarannya.

Lemahnya harga sewa kapal saat ini juga tidak lepas dari peran mereka lewat pemerintahnya yang melakukan penetrasi jauh sampai ke lingkup kementerian yang berhubungan dengan industri offshore. Kenapa demikian? Murahnya harga sewa kapal di Indonesia akan secara perlahan membunuh satu persatu perusahaan pelayaran Indonesia dibidang offshore, dan pada saatnya perusahan asing akan kembali masuk karena perusahaan Indonesia sudah lemah dan mudah hancur dihantam ketatnya persaingan dan regulasi.

SKK Migas sebagai badan yang diamahkan menjadi Multiplier Effect bagi kemajuan ekonomi nasional, juga tidak menyadari hal tersebut. SKK Migas lupa, dan terus menikmati harga murah sewa kapal offhore di Indonesia secara berkepanjangan sejak Indonesia diterjang krisis beberapa tahun terakhir. Bahkan SKK Migas malah menambahkan kewajiban kapal-kapal Indonesia untuk melengkapi peralatan mahal buatan luar negeri satu diantaranya bernama FMS ( Fuel Monitoring System ) yang bisa berharga Rp.500.000.000 plus biaya perawatan dan airtime alat pengontrol pemakaian minyak tersebut. Untuk kapal yang harga sewanya sekitar Rp.5.000.000 per hari, maka dibutuhkan waktu untuk menabung minimal selama 100 hari untuk membeli peralatan tersebut. Jelas ini adalah suatu pukulan baru ditengah lesunya industri.

Terlebih dalam mencari referensi harga sewa kapal, industri pengeboran Indonesia sering menggunakan standar harga yang berlaku di pasar Internasional. Harus diingat bahwa beban biaya kapal-kapal offshore Internasional jauh lebih ringan dibanding di Indonesia, mereka memiliki loan yang panjang, dengan bunga ringan dan biaya sertifikasi kapal yang murah dan bebas dari pungli saat pengurusannya.

Berharap kepada pemerintah untuk membantu memperbaiki keadaan tentu bukan suatu solusi, karena tidak satupun pihak yang paham akan pentingnya kedaulatan di laut Indonesia dengan memiliki armada nasional yang sehat dan kuat. Pemahaman pemerintah terhadap masalah ini masih jauh dari harapan.

Usaha perbaikan kondisi tersebut sejauh inipun hanya dilakukan sendiri-sendiri oleh setiap perusahaan dengan memangkas biaya operasional dan memperpanjang loan di bank yang berimbas kepada resiko kerusakan kapal karena kurangnya biaya perawatan, dan menurunnya kepercayaan perbankan terhadap industri pelayaran dan perkapalan.

Tapi sejauh apa mereka bisa bertahan? apalagi industri galangan kapal di Indonesia sudah lebih dahulu meneriakkan SOS kepada pemerintah Indonesia. Maka semakin dekatlah keinginan perusahaan pelayaran negara tetangga untuk kembali, dan pada saat itu keadaan pun mudah diprediksi yaitu kegiatan pengeboran akan mengalami shortage kapal penunjang nya. Dengan keadaan seperi itu, maka berapapun harga kapal yang akan ditawarkan oleh perusahaan asing akan diambil oleh usaha pengeboran Indonesia. Sebuah ironi yang sebenarnya terprediksi, pelayaran offshore Indonesia akan mati di negaranya sendiri.

Didalam masa sulit seperti ini, sebenarnya solusi kongkrit dari para pelaku lebih diutamakan ketimbang terus bersaing membanting harga dengan harapan hanya untuk survive. Mereka bisa berkomunikasi dan mediasi dengan SKK Migas sebagai jalan paling aman untuk masa depan bersama. Selain tentunya menyadarkan pemerintah dan SKK Migas bahwa pelayaran Offshore Indonesia masih ada.

Satu cara yang efektif yaitu dengan To Halt to Stand High. Dengan kata lain agar tidak berpotensi mengganggu jalannya kegiatan pengeboran, maka tidak mengikuti lelang yang diadakan oleh SKK Migas akan memunculkan sebuah urgensi untuk berdialog. Ini juga dibutuhkan agar dunia pelayaran dan perkapalan memiliki waktu berkonsolidasi dan mendapat perhatian yang lebih proporsional dari pemerintah. Langkah seperti ini sering dilakukan oleh kelompok usaha yang memiliki kebersamaan sangat kuat seperti di Eropa dan bahkan Amerika, tidak untuk mogok tetapi meminta perhatian dari pemerintah.

Masalah terbesar tentu adalah menyatukan cara pandang dari seluruh pelaku usaha, bahwa hal ini dilakukan untuk sama sama menjaga agar kegiatan usaha pengeboran yang selama ini di support oleh kapal-kapal berbendera merah putih bisa terus berlangsung dalam atmosfir yang sehat.(zah)