Bagaimana Kesiapan Pelaut Indonesia untuk Pelayaran Modern Era Baru, Ini Penjelasannya -->

Iklan Semua Halaman

Bagaimana Kesiapan Pelaut Indonesia untuk Pelayaran Modern Era Baru, Ini Penjelasannya

30 Maret 2020
Jakarta, eMaritim.com - Dunia pelayaran saat ini menjadi salah satu tulang punggung keberlangsungan kehidupan manusia dengan kemampuan angkutnya yang tidak bisa ditandingi moda transportasi lainnya. Tapi apakah wajah dunia pelayaran akan tetap sama pada 10 atau 20 tahun mendatang? Sebuah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh banyak pihak mengingat kemajuan teknologi berkembang sangat cepat.

Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah pelaut mendekati angka 1 juta orang, sudah harus mempersiapkan perubahan dalam dunia pelayaran terpenting dalam aspek sumber daya manusia yang siap menghadapi perubahan drastik dunia pelayaran dalam waktu dekat ini.

Berikut adalah 3 hal utama yang akan merubah wajah pelayaran dunia, yang kesemuanya dimotori oleh negara-negara maju dalam dunia pelayaran.


1. Kereta Trans Eurasian


Saat ini Cina sedang menyelesaikan jalur kereta terpanjang didunia yang membentang dari China sampai Spanyol sepanjang 8000 mil. Jalur kereta ini nantinya digunakan sebagai massive freight trains yang akan memotong waktu pengiriman barang dari Asia Timur ke Eropa atau sebaliknya setangah dari waktu tempuh kapal saat ini.

Walau tidak semua barang bisa diangkut menggunakan kereta, tapi kecepatan kereta sampai ditujuan dan less handling akan memberikan opsi kepada pengguna jasa. Hal lain yang menjadi pertimbangan utama adalah kereta menghasilkan lebih sedikit emisi karbon. Jika beroperasi nanti, kereta ini akan memberikan dampak kepada perkembangan dunia perkapalan khususnya angkutan barang sepert; elektronik, pakaian jadi, perlengkapan mobil, mesin, barang agricultural, daging dan lainnya.

Kehadiran kereta ini akan mempengaruhi jumlah kapal di alur pelayaran Selat Sumatera ( Malaysia menyebutnya Selat Malaka ), Terusan Suez sampai Gibraltar yang tentunya berpengaruh terhadap menurunnya peluang kerja diatas kapal-kapal asing bagi pelaut Indonesia.



2. Autonomous Ship.


Ketika keahlian manusia dipandang sebagai sebuah COST oleh para raksasa industri teknologi, maka yang akan terjadi adalah sebuah perubahan peradaban dan aturan secara global. Jika dahulu keahlian manusia dalam merakit mobil,  menjadi kasir dan sekretaris mulai tergantikan oleh teknologi sebagian orang mengira that's it, dan tidak mungkin bisa lebih jauh lagi robot menggantikan peran manusia.

Saat  manufacturer raksasa sekelas Roll's Royce, Kongsberg dan para kompetitor mereka dibidang tersebut sibuk merancang Autonomous Ship, mungkin sebagian kita mengatakan; bagaimana bisa kapal berlayar tanpa awak?

Kapal tanpa awak sekarang ini bukan masalah bisa atau tidak, ini adalah masalah kapan kapal tersebut benar benar muncul dan merubah wajah pelayaran dunia dan semua peraturan yang pernah ada.

Sebuah kapal tanpa awak sedang dipersiapkan di Yara Birkeland, dan direncanakan selesai pada 2020 sementara khusus melayani muatan fertilizer di selatan Norwegia. Walaupun secara harga kapal tersebut 3 kali lebih mahal dari kapal konvensional, tetapi biaya operasionalnya bisa 90% lebih murah karena dipersiapkan untuk berlayar tanpa crew dan menggunakan listrik. Mempunyai kapasitas 100-150 kontainer, kapal tersebut akan menjalani Trial selama 5 tahun sebelum benar benar berlayar bebas. Pada masa itu tentu peraturan yang memayunginya sudah harus ada, karena semua kapal saat ini memiliki peraturan internasional yang sama.

Ingat, buat negara-negara maju semua cost yang dibayarkan untuk pelaut menjadi defisit di jasa perdagangan mereka. Karena hampir semua pelaut dikapal meraka adalah pelaut yang berasal dari negara lain, seperti Indonesia, Filipina atau India. 

Aspek terbesar dari Autonomous ship adalah penghematan, selain factor tambahan lainnya. Hal ini secara langsung akan mempengaruhi peluang kerja pelaut Indonesia di kapal-kapal milik negara-negara yang terlibat dalam pengembangan Autonomous ship.


3. Dibukanya Jalur Navigasi Kutub Utara


Dalam beberapa tahun terakhir,  pelayaran di sekitar Arctic ( Lingkar Kutub Utara) berkembang sangat pesat. Kemampuan kapal dalam mengarungi samudera es sudah dibuktikan oleh Finlandia,  Norwegia dan Swedia dalam mengatasi musim dingin membeku di Bothnia Bay sepanjang 5 bulan dalam setahun.

Dimulai di tahun 2017, sebuah projek prestisius sedang digarap untuk 3 tahun dalam menemukan metode yang aman untuk melayari Kutub Utara. Tantangan cuaca super ekstrim, daerah yang sepi,  kurangnya data peta,  dan membekunya peralatan vital kapal serta minimnya fasilitas SAR akan dijajaki dalam projek yang didanani oleh EU HORIZON 2020.

Sebuah projek yang melibatkan 15 negara dengan tujuan utama : Memangkas jarak Eropa ke Asia dan Benua Amerika bagian barat,  serta mengurangi emisi gas buang kapal. Kalau sekarang dari Eropa kapal harus melewati Terusan Suez,  Asia Tenggara baru bisa ke negara negara Asia Timur.  Atau dari Eropa,  ke barat menuju Teluk Meksiko,  Panama kanal baru bisa ke Amerika Barat.

Jika projek ini bisa diselesaikan maka semua jalur legendaris itu akan ditinggalkan!  Dari Eropa Utara cukup melewati Kutub Utara maka mereka bisa sampai di Selat Bering dan Alaska untuk selanjutnya turun ke Pasifik.

Program yang dinamai SEDNA ini dipimpin oleh konsorsium BMT Group Ltd (UK) pada akhirnya nanti akan menjadi dasar pengembangan the Internasional Maritime Organization’s Polar Code

Tahap pertama, akan dilakukan pengembangan SAFE ARCTIC BRIDGE,  sebuah kebutuhan navigasi di kutub yang memfokuskan kepada desain dan lay out sesuai kemampuan manusia sebagai motor dari semua hal tersebut.

Tahap kedua adalah pengembangan sistem anti beku untuk superstructure kapal. Karena penambahan es diatas kapal secara massive bisa mempengaruhi stabilitas dan kemampuan jelajah kapal. Hal ini juga akan mencakup sistem coating kapal untuk menghidari pembekuan di lambung kapal.

Yang ketiga adalah mendesain keselamatan kapal dengan basis resiko yang akan muncul. Skenario dan peralatan keselamatan akan jauh berbeda apabila sebuah kapal selalu berlayar di area dengan temperature 20 - 40 derajat dibawah titik beku.

Apabila projek ini selesai di tahun 2020 ini dan Kutub utara bisa dilayari oleh kapal kapal niaga,  maka pelabuhan Transit dunia akan berpindah dari Singapura ke Vladivistok ataupun Alaska. Hal ini akan mempengaruhi peluang kerja pelaut-pelaut Indonesia diatas kapal-kapal yang akan menggunakan jalur kutub utara tersebut.

Bagaimana kesiapan Sumber Daya Pelaut Indonesia untuk menghadapi 3 hal besar didunia pelayaran dalam waktu dekat ini? Semoga berbagai penyesuaian dan adaptasi dari teknologi yang ada bisa dijadikan sebagai bahan belajar siswa dimasa kini dan masa mendatang.



Oleh : Capt. Zaenal Arifin Hasibuan