Jakarta,eMaritim.Com,- Di tengah banyaknya hujatan yang mengarah ke
sektor migas akibat berbagai kasus yang membelitnya dan tudingan bahwa industri
menguras kekayaan alam Indonesia demi keuntungan asing, Eddy Tampi, Chairman PT
Sele Raya Merangin Dua, tampil membela sektor ini.
Eddy mengklaim, sektor migas jauh lebih nasionalis dibandingkan industri
lainnya. Besarnya sumbangan sektor migas ke kas negara, kesulitan yang dihadapi
dalam mencari minyak, hingga banyaknya lapangan kerja yang tercipta, menurut
Eddy adalah poin besar bagi sektor ini.
Tidak peduli banyaknya hambatan di birokrasi dan di lapangan, tak peduli
sekian ratus juta dolar AS modal yang dikeluarkan, para Kontraktor Kontrak
Kerjasama (KKKS) terus maju mencari cadangan migas demi memenuhi kebutuhan
energi rakyat Indonesia yang terus meningkat, selain tentunya profit buat
mereka.
Berikut penuturan Eddy Tampi dalam wawancara dengan MigasReview beberapa waktu lalu.
--------------------
Selama puluhan tahun menjadi praktisi sektor migas di Indonesia, saya pantang
mundur menghadapi rumitnya proses perizinan.
Saya mulai membangun bisnis pada 1967 sebagai pemasok bahan-bahan
makanan pokok untuk warga Papua dan membangun perumahan-perumahan untuk pemerintah
daerah di kawasan itu. Pada 1972, perusahaan yang saya dirikan, CV Sele mulai mendapatkan
proyek seismik, drilling dan recording dari Pertamina di Bintuni dan
Katimin di Papua. Saat itu, kami mempekerjakan sekitar 1.500 orang.
Sejak itulah perusahaan saya menjadi subkontraktor perusahaan minyak
seperti Petromer, Lasmo plc, Conoco, hingga Unocal.
Pada 1994, saya mulai mencoba mengelola wilayah kerja eksplorasi dan
produksi migas di Pertamina dengan jenis kontrak berupa technical assistance contract (TAC). Pada 2003, PT Sele Raya menjadi
KKKS pemegang Production Sharing Contract (PSC) di Sumatera Selatan. Perusahaan
saya melakukan akuisisi seismik dan pengeboran di 3 blok Wilayah Kerja (WK)
yakni lapangan minyak Tampi, Blok Belida, dan Blora pada 2009.
Di Blora, kami sudah mengeluarkan US$10 juta dan akan melakukan akuisisi
seismik dengan dana US$5 juta.
Sejak dari pertama terjun ke sektor ini, perusahaan saya masih dalam
neraca keuangan negatif, karena modal yang dikeluarkan masih belum dikembalikan
melalui cost recovery.
Masalah Perizinan?
Sektor migas di Indonesia memang masih banyak hambatannya. Namun bagi
saya, permasalahan terbesar adalah perizinan dan pembebasan lahan yang sangat sulit
karena minimal 2 tahun baru beres.
Padahal, kalau mau hitung-hitungan, dalam mencari dan mendapatkan minyak,
negara memakai uang investor. Setelah dapat, barulah uang investor diganti. Akibat
rumitnya perizinan dan pembebasan lahan, maka sulit untuk melakukan aktivitas
pengeboran.
Jika proses perizinan dipermudah, saya ikhlas jika tidak mendapatkan
minyak karena mungkin memang belum rezeki saya. Yang terpenting adalah saya sudah
berusaha untuk mencari minyak. Namun sekarang yang terjadi adalah perizinan
yang dipersulit tapi tidak diberi lahan. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana kita
bisa mendapatkan minyak?
Dibandingkan dengan perizinan migas pada saat Presiden Soeharto masih
menjabat, kondisi saat ini jauh sekali. Dulu, kami hanya memerlukan waktu tidak
sampai 10 bulan. Memang, demokrasi dan otonomi daerah yang berlaku sekarang ini
adalah proses kita menuju negara yang lebih demokratis tapi di sisi lain
membuat perusahaan migas kesulitan.
Masalah di Lapangan
Itu dari sisi birokrasi, di lapangan pun kami harus menghadapi banyak kendala.
Padahal kami harus berbulan-bulan berada di hutan untuk mencari minyak. Kami
harus berpisah dengan anak-istri. Belum lagi jika terjadi insiden-insiden
seperti blow out. Sumur kami pernah mengalami blow out dan butuh waktu
berbulan-bulan untuk membereskannya. Kerugian yang kami derita juga tidak
sedikit. Yang paling banyak adalah harus mendatangkan konsultan yang khusus
menangani masalah tersebut dari Houston, Texas. Mereka langsung mendatangkan
alat-alat untuk mengatasi blow out dari sana.
Dengan masyarakat setempat pun, ada berbagai masalah yang harus kami
atasi. Contohnya, di Musi Rawas Utara, Kecamatan Karang Dapo, dua orang
karyawan PT Sele Raya ditusuk akibat ada oknum yang memobilisasi warga. Salah
satu karyawan kami ditusuk dengan kedalaman luka hingga tujuh sentimeter dan
nyaris tembus hingga punggung. Luka itu harus menunggu 4 jam untuk ditangani karena
lamanya perjalanan menuju rumah sakit. Hingga saat ini, pelaku penusukan belum
ditangkap.
Tantangan
Meski iklim investsi migas di Indonesia masih buruk, saya tetap terus
berusaha berdiri di sektor ini karena merasa tertantang. Saya juga bisa membuktikan
bahwa cost perusahaan swasta nasional
dalam pengelolaan migas lebih murah dibandingkan perusahaan asing. Saya merasa
tertantang untuk membuktikan bahwa perusahaan swasta nasional dapat go international, namun kesempatan itu
belum ada.
Yang perlu dicatat adalah, sektor migas adalah industri yang jauh lebih nasionalis
dibandingkan sektor lain. Industri ini memberikan keuntungan kepada negara
sebesar 85 persen dari hasil produksi dan menciptakan lapangan kerja untuk 12 ribu
orang dengan penghasilan di atas rata-rata. Perusahaan migas jugalebih
transparan karena diaudit secara bersama oleh SKK Migas, BPKP, dan Ditjen
Pajak. (lasman simanjuntak)