Kadet Sekolah Pelayaran dan permasalahan nya -->

Iklan Semua Halaman

Kadet Sekolah Pelayaran dan permasalahan nya

03 Agustus 2016

Jakarta 03 Agustus 2016,eMaritim.com

Ditengah semangat pemerintah Indonesia menjalankan Program Tol laut dan Poros maritim, ada suatu hal yang luput dari perhatian publik dan juga insan maritim di tanah air.
Sebagai negara maritim yang besar sudah sepantasnya Indonesia memiliki SDM yang kuat,berkualitas dan jumlah yang sepadan dengan jumlah kapalnya.
Tetapi apa jadinya apabila SDM yang ada melebihi kapasitas yang jauh melampaui kebutuhan pasar akan tenaga tenaga perwira pelayaran niaga?

Didasari kepada kepedulian akan hal tersebut , sebuah pertemuan yang digagas oleh sekelompok alumni sekolah pelayaran di negara ini mengadakan pertemuan dengan pengurus DPP INSA di Jalan Tanah Abang 3 no.10 hari selasa 02 Agustus 2016 kemarin.
Adalah Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran atau yang disingkat CAAIP dengan jajaran pengurusnya yang terdiri dari 8 utusan berbagai usia dan angkatan tersebut diterima oleh DPP INSA yang diwakili oleh Dewan Penasehat DPP INSA Bapak Oentoro Surya, Wakil Ketua Umum Capt.Soehariyo Sangat, Ketua Bidang Pengembangan SDM Pelaut Ibu Lisda Yulianti, Sekretaris 1 DPP INSA Capt Otto Caloh dan Ketua bidang Organisasi/Keanggotaan/IT dan Medsos DPP INSA Capt Zaenal A Hasibuan.

Dalam kesempatan tersebut Bapak Johan Novitrian dari Bagian Pengembangan SDM CAAIP membahas mengenai keberadaan Sekolah Pelayaran setingkat Akademi/Politeknik/Sekolah Tinggi beserta kapastitas masing masing sekolah berbanding dengann jumlah kapal yang menjadi anggota DPP INSA.Dengan jumlah 41 Sekolah dan rata rata kapasitas per angkatan berjumlah 400 taruna,maka secara langsung tiap tahun nya akan ada 16.000 taruna yang membutuhkan tempat praktek berlayar.
Dengan lesunya industri pelayaran saat ini,pertemuan membahas akar permasalahan,mencari penyebab dan memberikan arahan solusi seperti yang dilakukan di pertemuan tersebut akan sangat membantu pemerintah dalam hal ini BPSDM Kementrian Perhubungan untuk menjaga agar kuantitas bisa sebanding dengan kualitas lulusan sekolah sekolah pelayaran tersebut.

Seorang Utusan CAAIP Bapak Jony Lengkong mengatakan: "Sekarang ini sekolah pelayaran membutuhkan sedikitnya 2 gelombang untuk mengirim kadet kadetnya ke kapal , yang artinya sebagian dari mereka harus menunggu selama 1 tahun untuk mendapatkan tempat praktek. Tidak bagus untuk citra sekolah pelayaran dan juga untuk keluarga kadet tersebut yang berharap agar mereka diurus dengan baik oleh institusi nya".
Sementara Capt Soehariyo mengatakan : "Sebaiknya peraturan mengenai Prola/Prala di rubah dan di klasifikasi berdasarkan jenjang pendidikannya . Kalau semua kadet harus naik di kapal yang minimum ukuran GT nya 500 maka akan terjadi  seperti ini ?? sulit berebut kapal. Coba dibikin misalnya untuk kadet tingkat SPM kewajiban minimum GT nya diubah menjadi 175 T saja , kan mereka ( ANT/ATT 4) nantinya juga akan menjadi perwira dikapal kapal yang lebih kecil".

Masukan masukan dari pertemuan tersebut akan di tindak lanjuti sebagai bench mark kepada sekolah pelayaran dan BPSDM,bahwa jika dikerjakan sama sama maka persoalan bottle neck seperti ini tidak harus terjadi.
Patut di apresiasi apa yang dilakukan sekelompok alumni STIP tersebut yang bahkan usianya sudah diatas 50 atau 60 tahun untuk terjun membantu pemerintah dalam hal ini BPSDM KEMENHUB  tanpa pamrih,sesuatu yang sudah langka di negeri ini yang sedang sibuk merevolusi mental nya agar kembali ke semangat para pendahulu bangsa.

Di ujung diskusi, Bapak Oentoro Surya yang juga dikenal sebagai Bapak Azaz Cabotage Indonesia mengatakan ; "Ada baiknya Sekolah Pelayaran disejajarkan strata nya dengan Universitas,agar lulusan nya bisa sejajar dengan lulusan Universitas di bidang bidang lain nya dan juga menarik para lulusan terbaik Sekolah Menegah berlomba lomba menjadi Perwira Pelayaran Niaga.
Disepakati bahwa hal hal yang bersifat teknis dan data data krusial akan menjadi bahan diskusi selanjutnya di tingkat yang lebih besar dal spesifik lagi.(janno-emaritim)