Melihat program Tol Laut dari kacamata berbeda -->

Iklan Semua Halaman

Melihat program Tol Laut dari kacamata berbeda

12 Oktober 2016
Jakarta 12 October 2016,emaritim.com

Kasus Operasi Tangkap Tangan yang terjadi di Kementrian Perhubungan khususnya di Direktorat Perhubungan Laut seperti meninggalkan sebuah pertanyaan buat negara ini,seriuskah Direktorat Perhubungan Laut ingin berbenah dan membantu program Tol Laut Pemerintah? Atau malah menjadi factor penghambat kemajuan industri maritim negara ini dengan peraturan berbelit yang ada disana? Lupakan itu sejenak mari kita melihat program pemerintah Tol Laut dari perspektif berbeda.

Ulasan khusus ini dibuat untuk memberikan tanggapan atas kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan program To Laut yang sudah berjalan sekitar 2 tahun.
Saat diumumkan sebagai pemenang pemilihan Presiden 2 tahun lalu,Presiden dan Wakil Presiden terpilih saat itu melakukan pidato pertamanya diatas kapal layar motor di pelabuhan Sunda Kelapa
menandakan bahwa pemerintah akan sangat memperhatikan maritim dengan menggeser pola pembangunan yang berbasis Land base menjadi Maritime base.Maka setelah itu dimulailah program Tol Laut dan Poros Maritim dengan pembangunan puluhan kapal dan pelabuhan pelabuhan di seantero Indonesia.

Pembangunan kapal kapal tersebut seluruhnya menggunakan dana APBN 2015-2017 dengan perincian kapal perintis dan kapal induk perambuan adalah  25  unit tipe 2000 GT dengan nilai kontrak sebesar Rp 1,84 triliun dengan  waktu pelaksanaan pembangunan 2 tahun, 20  unit kapal tipe 1200 GT  Rp 1,079 triliun , lima unit kapal tipe 750 DWT Rp 160,29 miliar, serta tiga unit kapal induk perambuan Rp 369,68 miliar. Total dana APBN yang dipergunakann untuk pembangunan kapal kapal tersebut adalah sekitar 3,5 triliyun untuk 53 unit kapal dengan rata rata harga per kapal sebesar 66 milyar rupiah.

Selanjutnya pemerintah juga membangun beberapa pelabuhan dalam rangka program To laut di daerah daerah yang secara keseluruhan dibiayai oleh APBN dengan biaya sekitar 40 Triliun. Nilai keseluruhan untuk pembangunan kapal,pelabuhan dan subsidi untuk perusahaan pengangkutnya dalam menjalankan program tersebut berkisar di angka 420 triliun.


Dalam diskusi publik pada hari senin(10/10/2016) di Jakarta, Menteri Perhubungan Budi Karya Samadi mengatakan bahwa masih ada banyak hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah guna mengefektifkan program ini. Salah satunya adalah tingkat okupansi pelayaran yang ada selama ini.
"Setelah kita lihat secara detail, banyak yang harus kita lakukan. Okupansi yang membawa barang-barang itu masih minim. Belum ada pedagang yang membawa barang dari timur ke barat," katanya.

Seperti diketahui, saat ini pemerintah telah memiliki enam trayek pelayaran yang seluruhnya dioperasikan oleh PT Pelni dengan dana berasal dari subsidi pemerintah. Rencananya, pemerintah akan menambah tiga trayek lagi pada tahun 2017 mendatang.


Dalam beberapa kesempatan diskusi dan seminar mengenai ke maritiman, emaritim.com mendapatkan masukan atas cara pandang berbeda mengenai arti dari proyek tol laut tersebut.Seperti yang diungkapkan oleh Capt Zaenal A Hasibuan yang berprofesi sebagai konsultan pelayaran, Sekejend FORKAMI dan pelaku industri perkapalan bahwa pattern Ship follows the trade and ports grow after the ship adalah sesuatu yang baku dan bukan dikarang karang di masa kini. 
Berikut adalah ulasan yang dirangkum ;

Dari zaman dahulu kapal mempunyai alasan yang sangat fundamental untuk pergi kesuatu daerah, yaitu mengantar barang dan pulang membawa barang. Apabila kapal pergi membawa barang dan pulangnya kosong maka bisa dipastikan kemampuan kapal melayani trayek tersebut akan rentan. Berapa lama pemerintah sanggup memberikan subsidi kepada carrier untuk program ini ?

Sewajarnya pemerintah harus meriset potensi  komoditas(dan penumpang) setiap daerah, untuk itu dibutuhkan neraca komoditas baik yang dibutuhkan maupun yang diproduksi setiap daerah.

Dengan neraca komoditas, maka barang-barang menjadi mudah dipertukarkan antar daerah.Tanpa itu, kita tidak yakin tol laut ini akan menguntungkan secara ekonomi. Termasuk untuk mengembalikan investasi yang nilainya triliun itu.

Memang benar dikatakan bahwa disparitas harga bisa ditekan karena adanya Tol Laut, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk itu pun tidak main main jumlahnya dan subsidi tersebut diberikan kepada BUMN.

Ongkos angkut muatan ke pulau pulau yang tertinggal menjadi rendah karena adanya subsidi pembelian kapal dan bahan bakar kapal yang notabene memakan biaya besar,turunnya harga hanya dilihat dari satu sisi tetapi tidak secara keseluruhan.

Apabila pemikiran bahwa muatan kapal adalah hal yang primer , kapal yang sekunder dan pelabuhan adalah hal tertier.Dana triliunan rupiah tersebut mungkin akan lebih baik diberikan kepada daerah daerah tertinggal untuk menggenjot produk lokal berupa hasil hutan, pertanian, peternakan ataupun mineral.

Dengan adanya produk dan industri yang dihasilkan dari suatu pulau yang sebelumnya tertinggal, maka akan mengundang kapal untuk datang secara sendirinya dengan tentunya membawa kebutuhan orang yang tinggal di pulau dan juga kebutuhan pembangunan infrasrruktur pulau itu.

Banyaknya muatan di pulau pulau yang berbeda akan memicu bangkitnya industri pelayaran walaupun tanpa di subsidi. Bisnis akan tumbuh secara natural dan kuat menahan kerasnya persaingan didunia maritim. Di pula Jawa dan Sumatra masalah Primer(muatan) dan Sekunder(kapal) sudah relatif terpenuhi,sehingga pembangunan pelabuhan menjadi sasaran yang baik.Tetapi untuk Indonesia bagian timur sebaiknya pemerintah membenahi faktor Primernya dahulu(faktor muatan kapal) sedangkan untuk yang sekunder dan tertiernya bisa dijalankan oleh swasta.

Adapun jika ingin memberikan subsidi kepada industri pelayaran sebaiknya dilakukan dengan memberikan kemudahan bunga pinjaman lunak kepada industri pelayaran dan kebijakan tax serta fiskal yang berfihak kepada industri itu.

Masalah pembangunan pelabuhan pun sebenarnya sudah ada dalam undang undang pelayaran no.17 tahun 2008 yang memberikan kebebasan kepada swasta dalam bentuk izin BUP(Badan Usaha Pelabuhan) dengan ketentuan ketentuan yang mengikat di dalamnya.Pengusaha kapal pun sudah pandai mensiasati bagaimana caranya membuat kapal yang cocok untuk pergi ke pelabuhan yg masih memiliki fasilitas seadanya.

Semoga saja pembangunan industri di pulau pulau yang tertinggal cepat dilakukan agar kapal kapal yang pergi kesana bisa membawa pulang muatan untuk menghidupi usahanya.
Dan semoga kebijakan pemerintah yang sudah dijalankan didukung oleh semua fihak,tidak saja kementrian perhubungan tetapi juga kementrian yang terkait untuk segera memajukan bumi pertiwi dari Sabang sampai Marauke.(janno)