Masa Depan Industri Minyak dan Perkapalan Offshore Indonesia. -->

Iklan Semua Halaman

Masa Depan Industri Minyak dan Perkapalan Offshore Indonesia.

04 Desember 2016
Jakarta 4 Desember 2016, eMaritim.com


Dengan akan berakhirnya sekitar 35 Production Sharing Contract (PSC) dalam 8 tahun kedepan, nasib sekitar 10 Milyard USD potensi produksi minyak dan gas Indonesia belum jelas akan kemana arahnya.

Dalam laporan Wood McKenzie, Perusahaan Research Energy  mengenai proyeksi kondisi kedepan dunia perminyakan dan gas Indonesia mengatakan bahwa:"Ketidak jelasan nasib dalam perpanjangan kontrak dan besarnya produksi akan menjadi issue utama disektor hulu migas Indonesia.

Dalam hitungan 12 bulan, kontrak kerjasama pengelolaan blok Mahakam oleh perusahaan Total E&P Prancis dan Inpex Japan akan berakhir, dan akan disusul oleh Chevron di blok yang sama pada 2018. Pertamina dalam target mengangkat produksi minyak dan gas memiliki pekerjaan rumah yang besar disini.

Jika ditotal ke 35 PSC tersebut membuat 1 juta barrel per hari atau barrels of oil equivalent per day (boe/d). Sebagai gambaran saat ini Indonesia mengkonsumsi sekitar 1,6 juta barrel perharinya.

Untuk bisa memenuhi target produksi jangka panjang, Pertamina sudah membidik kontrak-kontrak yang akan berakhir. Ini bisa diartikan sebagai minyak/gas yang murah untuk di produksi karena umumnya mereka ditinggalkan dalam keadaan yang sudah jadi oleh para PSC tersebut.

Jika di kerucutkan lagi maka ada 27 PSC yang akan berakhir dalam 5 tahun kedepan yang kesemuanya menjadi sebuah tanda tanya besar dikarenakan pemerintah sedang membuat draft peraturan baru yang akan menentukan bagaimana sistem dan kelanjutan dari PSC tersebut. Partamina jelas membutuhkan partner strategis untuk bisa mengatasi penurunan produksi minyak yang diperkirakan akan menghasilkan rata-rata 780.000 barrel per hari pada akhir tahun ini. Bandingkan dengan tahun 90an produksi minyak Indonesia masih berada di angka 1,5 juta barrel perharinya. Jika tidak ada pengembangan projek baru maka diperkirakan indonesia akan kekurangan sekitar 2,5 juta barrel perharinya pada tahun 2025 nanti.

Lalu apa artinya semua ini jika dikaitkan dengan Industri pelayaran offshore di negeri ini? Dengan lesunya industri perkapalan saat ini, di khawatirkan pada saat Pertamina menangani begitu banyak projek yang ditinggalkan PSC pada 5 tahun kedepan kapal kapal bendera Indonesia sudah lebih dahulu lenyap dari bumi Pertiwi. Dengan harga sewa kapal OSV kelas 5000 HP sudah menyentuh harga 3000 USD perharinya, investasi para pemilik kapal diperkirakan akan semakin sulit berkembang. Pemerintah harus bisa mengantisipasi kemungkinan ini dengan mendata kebutuhan kapal dan kemampuan daya serap proyek Pertamina kedepannya. Harapan sebagian besar pelaku bisnis pelayaran offshore agar ada solusi dari kelesuan pasar ini tidak bisa di sepelekan. Indonesia tetap merupakan pasar yang menarik di Asia, terutama untuk perusahaan raksasa dari Singapore, Malaysia dan para spekulan kapal. Selama ini pemerintah hanya sibuk dengan Tol Laut saja, tanpa pernah sadar bahwa pelayaran Offshore menyerap begitu banyak tenaga kerja lokal. Puluhan ribu tenaga pelaut dan bisnis ikutan nya menggantungkan hidup dari sektor ini.

Lembaga-lembaga seperti Direktorat Jendral Perhubungan Laut sebagai pembina usaha pelayaran dalam negeri, Kementrian ESDM, SKK Migas, Pertamina, INSA, Perbankan, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan harus sama sama di dudukkan untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki. Sekarang ini dengan jatuhnya harga minyak dunia, ditambah dengan akan berakhirnya kontrak 2 PSC saja industri perkapalan terutama bidang offshore seperti menyentuh titik nadir yang berkepanjangan.

Terlalu naif apabila semua ini tidak diantisipasi dan membiarkan semua pihak saling berjalan sendiri. Di saat ekonomi sulit, Cara menyelamatkan diri PSC  yang memutus kontrak kontrak kapal bisa membunuh perusahaan pelayaran di negeri ini. Pendataan kapal versus jenis nya sudah mutlak harus dilakukan oleh HUBLA, SKK Migas, INSA, dan Perbankan. Selama ini sulit sekali melihat ke empat pihak itu duduk bersama membicarakan dan merencanakan kesinambungan bisnis yang menjadi penyumbang devisa terbesar kedua di negara ini setelah pajak. Sejauh ini hanya INSA yang berlari ke HUBLA setiap ada kebijakan yang dirasa kurang tepat dan ke SKK Migas untuk mempertahankan hidup anggotanya. Sungguh ironis jika dibandingkan dengan keinginan Pemerintah menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat.

Lalu kelak siapa yang akan mendukung Pertamina di bidang perkapalan offshore saat mereka menjadi satu satunya operator bidang hulu minyak dan gas? Saat ini satu persatu perusahaan pelayaran offshore Indonesia sedang menunggu ajal akibat lesunya ekonomi dan tidak ditangani bersama sama antara pemerintah, perbankan dan pelaku bisnis. Ingat bahwa keadaan ini dipantau dengan jeli oleh pelaku bisnis serupa dari negara sebelah dan mereka siap masuk disaat kondisi pelayaran Offshore Indonesia sedang lemah-lemahnya. Mengembalikan kekuatan pelayaran Offshore adalah hal yang tidak bisa ditunda lagi, jika dahulu negara kita hanya berangan-angan memiliki kapal Offshore yang besar, sekarang dengan keberadaan perusahaan sekelas Logindo dan Wintermar yang menjadi pionir pelayaran Offshore sudah seharusnya semua bersatu menyelamatkan Cabotage yang menjadi mimpi para pendahulu kita di dunia maritim.(Capt. Zaenal A Hasibuan)