Captain Abdul Rivai, Kisah Heroik Nakhoda Utama Indonesia. -->

Iklan Semua Halaman

Captain Abdul Rivai, Kisah Heroik Nakhoda Utama Indonesia.

27 Januari 2018
Jakarta 27 Januari 2018, eMaritim.com


Didepan Jasad Captain Abdul Rivai yang diselubungi bendera merah putih pada 3 Februari 1981 di Taman Makam Pahlawan Kalibata, ribuan pelayat yang terdiri dari keluarga, rekan seprofesi, pejabat pemerintah, taruna AIP dan alumnus lainnya mendengarkan ucapan Menteri Perhubungan (Inspektur Upacara) Roesmin Nurjadin: " Rivai adalah contoh seorang yang penuh tanggung jawab diatas tugas yang dibebankan kepadanya". Selanjutnya Pelni menganugerahkan gelar Nakhoda Utama kepada Almarhum Capt Abdul Rivai yang patut dijadikan tauladan.

Sebuah kalimat yang tertulis di Lambang Akademi Ilmu Pelayaran (sampai saat ini) berbunyi Nauyanam Avasyabavi, Jivanam Anavasyabavi atau dalam bahasa latinnya Navigare necesse est, Vivare non est necesse (Pelayaran lebih penting dari hidup) benar benar menggambarkan jiwa seorang Nakhoda/ Perwira yang tidak cukup hanya pandai dan kuat, tetapi dia bahkan harus berani untuk mempertaruhkan nyawanya demi sebuah tanggung jawab.

Abdul Rivai menuntut ilmu di Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) dengan memperoleh ijazah Mualim Pelayaran Besar III pada 1959, Mualim Pelayaran Besar II pada 1966 dan Mualim Pelayaran Besar I tahun 1971.

Diambil dari autobiography Capt.William Morris Barnes; "A captain when he's at sea, he's judge, jury and everything else; he has the law in his own hands. If a mutiny starts he can shoot every man of them down to save the ship. And, of course, in some cases we may be called on to do it". diatas kapal, seorang nakhoda dianggap next after God. 

Tetapi apa yang dilakukan Capt Rivai tidak sekedar menggunakan haknya yang sangat besar, seperti yang digambarkan oleh Capt Barnes. Lebih dari itu semua, almarhum mempertontonkan bahwa a ship master is a gentleman by God , a truly gentleman. Dia rela mati pada usianya yang ke 45 demi sebuah tanggung jawab, tugas dan kebanggaan atas profesinya.

Tragedi Tampomas II yang terbakar di laut Masalembo dan tenggelam pada tanggal 27 Januari 1981 setelah 30 jam terbakar merenggut nyawa 431 penumpangnya, dan bahkan diperkirakan lebih karena kemungkinan ada banyak penumpang gelap.

Kepahlawanan Capt Rivai digambarkan bahwa saat kapalnya terbakar dan sudah mulai miring akan tenggelam, dia bahkan masih sibuk membagikan pelampung ke para penumpang yang tidak berani terjun ke laut. Bahkan di detik detik terakhir saat kapal mulai tenggelam, Capt. Abdul Rivai masih terlihat berada di anjungan kapal sambil berpegangan pada jendela kapal.

Atas kecelakaan tragis tersebut pihak yang dinyatakan bersalah pada saat itu hanyalah awak kapal,  tak ada pejabat yang dinyatakan bersalah dan bertanggung jawab. Hasil penyidikan Kejaksaan Agung yang menugaskan Bob Nasution sebagai Kepala Tim Perkara pun tidak ada tuntutan kepada pejabat yang saat itu memerintah.

Skandal ini kemudian ditutup-tutupi oleh pemerintahan saat itu. Kementerian Perhubungan menolak permintaan DPR untuk menunjukkan laporan rincian pembelian kapal bekas seharga US$8.5juta itu.

Tragedi Tampomas II menunjukkan dua sisi dunia pelayaran Indonesia pada umumnya. Seorang nakhoda yang rela mati demi tugas dan tanggung jawabnya, sementara sisi lain menunjukkan bahwa negara harus belajar dan berubah dari sebuah tragedi, jika tidak maka negara akan diam ditempat dan tertinggal. Sekedar pengingat bahwa SOLAS muncul setelah adanya tragedi Titanic yang serupa dengan Tampomas II.(zah)