Kapal Ternak, Muatan Balik dan Animal Welfare -->

Iklan Semua Halaman

Kapal Ternak, Muatan Balik dan Animal Welfare

25 Februari 2018
Jakarta, 25 Februari 2018


Pengoperasian kapal ternak yang dibangun oleh pemerintah akhirnya memakai metode penugasan, cara yang sama dengan pengoperasian beberapa kapal Tol Laut yang sudah banyak dibangun pemerintah belakangan ini.

Selama ini bisnis kapal khusus ternak memang belum begitu diminati oleh angkutan pelayaran swasta kecuali yang sudah selama ini berjalan, yaitu pengangkutan kapal ternak dengan menggunakan kapal cargo yang dibuatkan kandang sederhana diatasnya seperti gambar dibawah.

Apakah memang bisnis mengangkut ternak dengan kapal khusus tidak menjanjikan atau sulit untuk berkembang?

Pelayaran akan sulit bertahan dengan One Way Traffic. Karena bisa dipahami, walaupun pemerintah mensubsidi BBM kapal, tetap ada uang negara yang digunakan untuk mengangkut ternak tersebut, selain operational expenditure kapal lainnya Dan itu akan terus berlangsung selama kapal tidak memiliki angkutan balik dari Jawa ke Nusa Tenggara.

Lebih jauh yang harus disepakati adalah agar sebaiknya subsidi pemerintah digunakan untuk lebih menggalakkan peternak di daerah asalnya, bisa dengan memperkuat added value dari industri ternak, misalnya kerajinan kulit di daerah itu. Tempat pemotongan ternak juga bisa dibuat di daerah asalnya saja, sehingga daging ternak bisa masuk kedalam reefer container yang diangkut kapal niaga umum. Kualitas daging bisa dijaga dengan menggunakan Vacuum pack, selanjutnya dimasukkan di Reefer Container.

Terlalu rumit dan memakan biaya tinggi jika semua ternak potong harus diangkut hidup-hidup ke Jawa. Karena dengan menggunakan kapal cargo atau kapal Roro yang memiliki reefer container jaminan muatan balik akan selalu ada.

Disinilah kejelian dari pelaku usaha pelayaran yang semestinya bisa dijadikan referensi oleh pemerintah sebelum membangun kapal ternak besar-besaran, karena bagaimanapun juga pakem baku dunia pelayaran ship follows the trade tidak bisa dipungkiri. Kapal akan muncul begitu ada muatan, dan itu sudah berlaku dari zaman dahulu.

Kapal ternak memang akan selalu kesulitan mencari muatan balik karena kapalnya memiliki desain khusus, dalam hal ini pemerintah secara tidak sadar mengeluarkan subsidi yang terus menerus, mulai dari pembangunan kapal yang bernilai 50 milyar per unitnya, pembiayaan BBM kapal bolak balik, perawatan kapal, gaji ABK, biaya docking kapal dan biaya sertifikat kapal yang tidak murah,  dan tentunya penyusutan nilai kapal.

Sangat sayang apabila uang masyarakat tidak digunakan dengan tepat, alih alih dipakai untuk memperkuat industri ternak, malah dibuatkan kapal yang akan terus memerlukan uang rakyat lagi untuk merawatnya.

Kebutuhan ternak besar-besaran biasanya hanya setahun sekali saat musim haji. Sama seperti maskapai penerbangan, maka pelayaran juga bisa menyewa kapal ternak dari manapun juga untuk musim itu. Lewat musim itu, sapi tidak terlalu penting harus datang hidup-hidup ke Pulau Jawa, apalagi sudah bicara animal welfare? Sapi tidak suka naik kapal, walaupun jenisnya kapal ternak sekalipun. Daging nya saja datangkan ke pulau Jawa, maka dilema muatan balik kapal ternak dan ternak yang mabuk laut tidak perlu dipusingkan lagi termasuk penanganan bongkar muat ternak yang masih menyiksa ternak dengan mengangkat lewat tanduknya. (Capt. Zaenal Arifin Hasibuan, a proud member of IKPPNI / Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia)