Dari Tragedi KM Sinar Bangun, Sistem Yang Salah Atau Hanya 5 Orang Yang Salah? -->

Iklan Semua Halaman

Dari Tragedi KM Sinar Bangun, Sistem Yang Salah Atau Hanya 5 Orang Yang Salah?

30 Juni 2018
eMaritim.com, 30 Juni 2018

Tragedi tenggelamnya kapal motor Sinar Bangun di dasar danau Toba memberikan pelajaran buat kita semua, bahwa masih banyak pekerjaan rumah buat dunia pelayaran di Indonesia.

Pengaturan kapal-kapal yang berlayar di sungai, danau dan penyeberangan selama ini berada di bawah Direktorat Jenderal Angkutan Darat. Untuk kapal-kapal yang berukuran dibawah 7 Gross Ton, maka pengelolaannya dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat 2 masing masing wilayah, dan untuk kapal yang lebih besar dari 7 Gross Ton maka dikelola oleh Pemda Provinsi. Sekilas hal tersebut terlihat baik, karena setiap daerah bisa mengelola Sumber Daya Alamnya secara mandiri sesuai Undang Undang undang Otonomi Daerah.

Tapi tragedi yang menimpa KM Sinar Bangun dan masyarakat di Danau Toba, mengingatkan semua orang bahwa menangani kapal bukan hanya soal menangani pendapatan dan pariwisata. Ada persoalan yang lebih fundamental lagi yaitu masalah keselamatan jiwa pengguna jasa.

Tidak bisa dipungkiri bahwa ahli manajemen keselamatan pelayaran di daerah-daerah masih sangat minim dan itu juga yang terjadi disalah satu destinasi wisata air terpopuler di Indonesia, danau Toba. Dengan dibangunnya infrastruktur Bandara Silangit, Kereta Api Medan - Siantar dan prasarana lainnya, Toba diharapkan akan dikunjungi 1 juta wisatawan pada tahun 2019. Sayangnya penguatan aspek SDM  Keselamatan Pelayaran yang seharusnya menjadi prioritas terlewatkan. Dan ini terjadi juga di hampir semua daerah di Indonesia.

Awal tahun 2017, kita dikejutkan dengan kejadian terbakarnya KM Zahro Ekspress yang menewaskan banyak penumpang, sama dengan kejadian di awal 2018 saat kapal motor Anugrah Ekspress terbalik di Tarakan. Dalam ilmu keselamatan modern, maka pertanyaan yang akan dilemparkan adalah; Apa yang Salah? Sebab ilmu ini tidak akan pernah mencari Siapa yang Salah.

Dijadikannya Nakhoda KM Sinar Bangun dan 4 orang lagi dari petugas Dishub beserta kepala Dishubnya seolah mengisaratkan pemerintah masih memakai pola lama dalam menyelesaikan masalah. Kalau mau dijadikan sebuah standar hukuman,  kenapa Kepala Dishub DKI Jakarta tidak tersentuh apa-apa saat Zahro Ekspress terbakar?

Sistem kita di indonesia yang lemah dalam pengelolaan keselamatan pelayaran, tidak hanya untuk kapal-kapal yang berukuran kecil. Kalau mau jujur, bahkan di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut pun Ahli Keselamatan Pelayaran jumlahnya sedikit, paling banyak sekitar 500 orang berbanding jumlah keseluruhan pegawai di Direktorat tersebut yang berjumlah diatas 12.000 pegawai.

Lalu bagaimana di Direktorat Jenderal Perhubungan Darat? Siapa yang berani bertanggung jawab atas aspek keselamatan pelayaran disana? Sebuah sistem yang buruk akan selalu menghasilkan output yang buruk. Yang terakhir adalah,  siapa di Pemerintah Daerah Tingkat 2 Simalungun, atau di Dishub Sumatera Utara yang ahli soal keselamatan pelayaran?

Tragedi KM Sinar Bangun adalah tragedi dunia transportasi Indonesia, seluruh pejabat di Kementerian Perhubungan harus meminta maaf kepada masyarakat karena lalai melihat kelemahan sistem yang ada. Jadi daripada semakin menimbulkan luka dan sakit hati dari segelintir orang, sebaiknya kita perbaiki kesalahan bersama. Jangan dibebankan kesalahan berjamaah ini kepada 5 orang saja, Indonesia harus belajar berjiwa besar.

Sebelum kejadian di danau Toba sudah ada puluhan kecelakaan kapal. Di tahun 2017 tercatat ada 42 kecelakaan dengan korban meninggal 140 orang lebih. Kalau mau lebih melihat ke akar permasalahan secara mendasar,  kesalahan ini adalah sebagai bentuk pelanggaran massif terhadap Undang Undang no. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Kata-kata Kompetensi,  Kualifikasi, dan Sertifikasi bagi setiap pemegang jabatan selama ini masih diabaikan.(jan)