Menjaga Laut dari Pelecehan: Saatnya Kapal Jadi Tempat yang Aman bagi Pelaut. -->

Iklan Semua Halaman

Menjaga Laut dari Pelecehan: Saatnya Kapal Jadi Tempat yang Aman bagi Pelaut.

Ananta Gultom
03 Juli 2025


 Setiap tahun pada tanggal 25 Juni, kita memperingati hari yang dinamakan Hari Pelaut sebagai bentuk penghargaan untuk para pelaut yang menopang lebih dari 80% perdagangan dunia. Namun dibalik peran penting tersebut, banyak pelaut yang terjebak dalam “badai” tak terlihat: pelecehan dan perundungan di tempat kerja. Tema untuk merayakan Hari Pelaut Sedunia oleh IMO ini “Kapal Tanpa Pelecehan Saya”, mengingatkan kita bahwa kapal—tempat bekerja para pelaut—semestinya, bukan menjadi zona terpercaya untuk pekerja kembali menjalani kehidupan tanpa tekanan psikologis dan fisik.


Kisah pelecehan di atas kapal-bukan sekadar isu sembarangan dan sepele diperlakukan buruk di pabrik yang jauh. Di Indonesia, sejauh kasih sayang ada laporan dari LSM dan media, kekerasan verbal, fisik bahkan seksual kepada pelaut baik perempuan muda ataupun anak buah kapal dari negara-negara berkembang kerap kali terjadi. Ironinya, pada banyak kasus kejahatan ini hilang ditelan sejarah karena diam dalam budaya ketakutan serta kehilangan pekerjaan. Posisi pelaut yang sering bekerja di bawah kontrak jangka pendek juga rentan dieksploitasi karena lemahnya sistem agensi tenaga kerja tempat mereka bekerja.


Pada struktur yang bersifat hierarki seperti di atas kapal, sering kali junior berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Banyak pelaut junior bahkan mengaku dikritik kasar, dipaksa bekerja dengan jam lembur melebihi batas wajar, bahkan mengalami perlakuan tidak pantas oleh senior. Ritual Perploncoan atau ritual inisiasi acap kali disalahgunakan untuk justifikasi praktik kekerasan. Ini bukan soal disiplin, ini sudah menyalahi pelanggaran hak asasi manusia.


Lebih menyedihkan lagi, di tengah-tengah susahnya akses terhadap keadilan, banyak psikologis dalam diam menanggung penderitaan batin ‘scheduler’. Jiwa yang tampak sehat tersebut telah diselimuti bayangan sesak nan kelam selama berlayar. Parahnya, pikiran untuk akhiri hidup pun kerap membayangi tenaga pelaut. Nyatanya, kesehatan mental selagi berlayar adalah nyawa emas bagi keselamatan penyeberangan itu sendiri. Kecelakaan saat berlayar ataupun akibat kelalaian bekerja dan konflik antar awak bisa terjadi justru dari tekanan psikis yang terpendam dan tak pernah menemukan solusi.


Data ISWAN atau International Seafarers' Welfare And Assistance Network pada laporan kuartal ketiga tahun 2023 menunjukkan bahwa dari 70% pelaut yang mengalami pelecehan verbal dan bullying, hanya 16% diantaranya yang melaporkan terus mengalami pelecehan seksual namun, 12% mengaku mendapat kekerasan fisik. Diperkirakan dalam laporan ini setidaknya wanita mendominasi dibandingkan pria dengan perbandingan 38% terkait pelecehan serta pengaduan aib. Sedangkan pada global survey lainnya diperoleh hasil rekap data dimana didapat pencapaian diskriminasi wanita mencapai 60% untuk perempuan pelaut serta nilai rentang yang dilaporkan dalam pelecehan seksual terhadap wanita mencapai 29% hingga 34%.


Kampanye IMO tahun ini harus dijadikan momentum untuk perubahan nyata. Tuntutan kita selayaknya menjadikan sebuah kapal tidak hanya dalam kondisi bebas dari kecelakaan kerja, tetapi juga menkompromyisi tidak ada bentuk vandalisme sikap membabi buta apapun kejam didalam pelayaran. Makna kampanye seperti ini seharusnya tidak dapat dipahami secara langsung dari sekadar postingan media sosial ataupun seminar seremonial belaka, tetapi sudah sepantasnya diterjemahkan dalam tindakan solutif berupa kebijakan kongkret dan mengikat serta disepakati bersama. 


Langkah pertama adalah reformasi sistem pelaporan dan perlindungan korban.


Kini, mayoritas pelaut enggan untuk melakukan laporan karena takut dianggap sebagai trouble maker atau berisiko tidak mendapatkan perpanjangan kontrak kerja. Oleh sebab itu perusahaan pelayaran harus menyediakan kanal pelaporan yang anonim dan daring. Kanal ini harus dijangkau dengan mudah bahkan ketika berada di tengah laut, dengan menggunakan aplikasi berbasis satelit atau hotline 24 jam. Kerahasiaan serta identitas korban wajib dijaga. Dibutuhkan investigator independen nasional dan internasional yang menangani pengaduan dengan pendekatan berbasis korban. Di samping itu, perusahaan pelayaran diwajibkan melaporkan tindak lanjut dari setiap pengaduan dalam audit keselamatan dan kinerja SDM. Meneruskan dokumen tanpa menyertakan bukti pemenuhan juga memerlukan dukungan dalam bentuk konseling psikologis, serta memberikan bentuk dukungan yang memungkinkan untuk bersaksi dengan mengunjungi berbagai lokasi di seluruh negeri.


Langkah kedua adalah penanaman budaya hormat sejak dini, bahkan saat pendidikan maritim. 


Pendidikan pelaut bukan hanya belajar teknis navigasi, permesinan kapal, atau keselamatan dan keamanaan pelayaran, pada akhirnya adalah pendidikan karakter dan relasi antar manusia (human relationship). Sehingga, sekolah-sekolah pelayaran dan akademi, politeknik, sekolah tinggi bidang maritim harus menyusun kurikulum wajib yang meliputi etika profesi, manajemen konflik, dan gender. Apabila antisipatif ini masih belum berasa, pelatihan anti-bullying dan anti-harrasment dapat dilakukan melalui simulasi kasus, role-play, testimoni nyata dari para penyintas. Hal tersebut untuk memahamkan mahasiswa / taruna pelaut dari perspektif realisasi dampak-hukumnya. Pelaut berpengalaman, tenaga pengajar, atau instruktur yang terbukti melakukan tindakan pelecehan sebaiknya dikenakan hukuman atau diskors. Ini penting agar mereka tidak menjadi contoh yang buruk. Daripada melanggengkan budaya senioritas berlebihan yang seringkali berlindung di balik kata "tradisi", lembaga pendidikan hendaknya mengembangkan sistem pendampingan yang fokus pada dukungan psikososial. Dengan begitu junior merasa terlindungi dan memiliki arah yang jelas. Lebih jauh lagi, badan sertifikasi pelaut dalam hal ini Dewan Penguji Keahlian Pelaut (DPKP) disarankan untuk memasukkan aspek integritas dan profesionalisme dalam penilaian kelulusan.


Langkah ketiga adalah penguatan regulasi dan sanksi tegas.


Indonesia sebenarnya sudah mengesahkan MLC 2006 (Maritime Labour Convention 2006) menjadi bagian dari hukum nasional melalui UU Nomor 15 Tahun 2016, tetapi penerapannya di lapangan masih kurang optimal. Pemerintah perlu membangun sistem pengawasan yang aktif, melibatkan petugas / otoritas inspeksi maritim yang memiliki pemahaman tentang isu kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Pengaduan mengenai pelecehan sebaiknya diproses melalui sistem daring yang terbuka, dengan hasil yang dapat diakses oleh publik demi mengurangi kemungkinan kasus ditutup-tutupi. Perusahaan pelayaran yang tidak menanggapi pengaduan harus dikenakan sanksi administratif, mulai dari denda, penundaan izin beroperasi, hingga dimasukkan ke daftar hitam. Selain fokus pada pelaku, negara juga wajib memberikan perlindungan hukum serta pemulihan psikologis bagi korban. Selain itu, kolaborasi internasional antara negara bendera kapal dan pihak berwenang yang melakukan pemeriksaan di pelabuhan (flag state dan port state control) perlu ditingkatkan, supaya tidak ada pelaku yang lolos hanya karena mengganti bendera kapal atau pelabuhan tujuan pelayarannya. Terakhir, peran serta masyarakat dan media sangat penting dalam mengawasi dan menyuarakan kasus pelecehan, sehingga pelaut merasa tidak berjuang sendirian dalam melawan ketidakadilan yang menimpa mereka.


Dalam ambisi menjadikan Indonesia pusat kekuatan maritim global, memberikan jaminan perlindungan bagi para pelaut bukan sekadar kewajiban etis, melainkan juga Langkah yang vital secara strategis. Citra pelaut Indonesia di mata dunia sangat dipengaruhi oleh sejauh mana negara hadir melindungi mereka. Jika kita bercita-cita untuk bersaing di kancah global, kualitas sumber daya manusia maritim kita harus terlindungi dari berbagai tindak kekerasan dan perlakuan tidak senonoh, mulai dari masa Pendidikan hingga saat para pelaut bertugas di atas kapal.


Mari kita rayakan Seafarer Day 2025 ini bukan hanya dengan acara-acara serimonial perayaan sebagiamana biasanya atau dengan ucapan terima kasih, tetapi juga dengan tindakan nyata: menciptakan kapal yang bebas dari pelecehan. Bukan hanya “My Harassment-Free Ship”, tapi juga Our Respectful Industry — industri yang menempatkan martabat manusia sebagai porosnya. Di atas samudra yang luas, para pelaut seharusnya merasa aman, dihormati, dan bermakna.


Jakarta, Juni 2025

*) Penulis adalah praktisi SDM pelaut dan dosen maritim