Bitung,eMaritim.Com,- Sebagai langkah nyata Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
dalam merealisasikan target 20 juta hektar kawasan konservasi perairan
pada 2020, KKP telah meluncurkan Standar Kompetensi Kerja Khusus (SK3)
Perencanaan Pengelolaan Konservasi Perairan pada 2013.
Pengembangan
kawasan konservasi perairan tidak hanya bertujuan melestarikan
lingkungan perairan dan sumber daya ikan, tetapi juga pengembangan
SDM-nya. Indonesia sedang berupaya mengembangkan kawasan konservasi
perairan dengan melibatkan tenaga-tenaga profesional yang harus
menerapkan standar-standar kompetensi kerja. Melalui
beberapa penelaahan, untuk pengelolaan kawasan tersebut pada 2015
diperlukan tenaga kerja yang memiliki kompetensi kerja khusus bidang
konservasi perairan sekitar 2.500 orang.
Untuk
itu, dalam rangka pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) kelautan dan
perikanan di bidang konservasi perairan dan mendukung upaya mencapai
target tersebut, KKP melalui Badan Pengembangan SDM Kelautan dan
Perikanan (BPSDM KP) menyelenggarakan pelatihan konservasi kawasan
perairan, yang salah satunya dilaksanakan pada 9-16 Februari 2015 di
Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Aertembaga, Bitung,
Sulawesi Utara.
“Pengembangan
SDM ini dirasa sangat penting, karena mengelola sumberdaya kelautan dan
perikanan, pada dasarnya adalah mengelola SDM-nya, terlebih lagi dalam
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015,” ujar Kepala BPSDM KP Suseno
Sukoyono pada pembekalan pelatihan tersebut, Jumat (13/2/2015), pada acara
pembekalan terhadap peserta pelatihan konservasi perairan di BPPP
Aertembaga.
Kegiatan
ini merupakan kerja sama BPSDM KP dengan Direktorat Konservasi Kawasan
dan Jenis Ikan (KKJI), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (Ditjen KP3K), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), serta didukung oleh konsorsium Coral Triangle Support Partnership (CTSP) dalam kerangka implementasi program United States Agency for International Development (USAID)-Coral Triangle Initiative (CTI). Kerja sama tersebut mengembangkan suatu model pelatihan terpadu bagi para pengelola kawasan konservasi perairan atau Capacity Building on Marine Protected Area (MPA).
Model ini dirancang terintegrasi mulai dari penyiapan kurikulum dan
modul-modul pelatihan secara berjenjang dan berstandar, sertifikasi
kompetensi bagi para pengelola kawasan konservasi perairan, sampai pada
pengembangan jejaring pembelajaran bagi para pengelola, pakar, praktisi,
dan pemerhati bidang konservasi perairan di tanah air.
“Tujuan
dari kegiatan ini adalah menyiapkan tenaga pengelola kawasan dan
fasilitator yang kompeten di bidang pengelolaan kawasan konservasi
perairan bagi pejabat pengelola kawasan dan penyuluh di kawasan
konservasi,” ujar Suseno.
Sejalan dengan upaya standardisasi kurikulum dan modul, penyiapan tenaga pelatih (trainers) bagi pelatihan di bidang konservasi terus dilakukan melalui Training of Trainers
(ToT) yang diawali dengan materi dasar-dasar konservasi atau MPA-101.
Kemudian dikembangkan upaya sinergitas kerja sama, berupa upaya-upaya
dari para tenaga ahli NOAA dan CTSP yang secara intensif memberikan
dukungan keahlian dan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan pelatihan yang
dilaksanakan.
Kerja
sama pelatihan antara BPSDM KP dengan NOAA ini bukanlah hal baru, namun
sudah berjalan sejak tahun 2010, yang dilaksanakan di seluruh Unit
Pelaksana Teknis (UPT) pelatihan BPSDM KP atau BPPP di Tegal, Medan,
Banyuwangi Bitung, dan Ambon. Pelatihan yang diberikan meliputi MPA-101 ,
Management Planning, Sustaible Fisheries, Sustaible Tourisme, dan Community Stakeholder Enggagement di kawasan konservasi.
Pelatihan
kali ini diikuti 20 orang yang berasal dari Direktorat KKJI, Ditjen
KP3K dan berbagai daerah, yaitu Kapoposang, Sulawesi Selatan; Gili
Matra, Nusa Tenggara Barat; Laut Sawu dan Alor, Nusa Tenggara Timur; Aru
Tenggara dan Pulau Banda, Maluku; Raja Ampat, Papua Barat; Pulau
Padaido, Papua; Pulau Pieh, Sumatera Barat; Kepulauan Anambas dan
Bintan, Kepulauan Riau; Bitung, Sulawesi Utara; Batang, Jawa Tengah;
Sabang, Aceh; dan Klungkung, Bali. Para peserta merupakan
individu-individu yang dalam tugasnya berperan sebagai mentor untuk
pelatihan yang akan datang serta mendukung dan memimpin
pelatihan-pelatihan tambahan yang diselenggarakan BPSDM KP.
Bertindak sebagai pelatih adalah dua orang dari NOAA dan beberapa dari Indonesia dari kemitraan Marine Protected Area Government
(MPAG). Mereka adalah Munandar Jakasukmana dari Balai Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Laut Makasar, Ronal Malingkas dan Frajaya Ranto
D. Simanjuntak dari BPPP Aertembaga, Ady Sabana dari Pusat Pelatihan
Kelautan dan Perikanan, dan Ratnawati, konsorsium dari Mitra Bahari,
Sulawesi Selatan.
Selain
memberikan pembekalan pelatihan, pada kesempatan tersebut, Suseno juga
melakukan peninjauan ke Politeknik Kelautan dan Perikanan (Poltek KP)
Bitung, antara lain transplantasi terumbu karang pada Pusat Studi
Terumbu Karang serta unit-unit atau instalasi, seperti bengkel latih
kapal perikanan, bengkel mesin, workshop pengolahan, fishing gear, simulator navigasi, Global Maritime Distress Safety System (GMDSS), kapal latih, dan Basic Safety Training (BST).
Bengkel latih kapal perikanan, misalnya, merupakan salah satu fasilitas
praktek bagi taruna untuk mata kuliah Bangunan Kapal Perikanan,
Stabilitas Kapal, Pengetahuan Bahan, Teknologi Mekanik, Instalasi Tenaga
Kapal, Listrik Kapal, dsb. Para taruna sudah dapat membangun kapal
sendiri di bengkel ini.
Hal ini membuktikan bahwa pendidikan vokasi kelautan dan perikanan telah menerapkan sistem pendidikan dengan pendekatan teaching factory
pada satuan-satuan pendidikan KKP. Pendidikan vokasi dicirikan dengan
porsi 60% praktek dan 40% teori bagi tingkat pendidikan tinggi serta
70% praktek dan 30% teori untuk tingkat pendidikan menengah. Sementara
itu pendekatan teaching factory merupakan penyelenggaraan
pembelajaran sesuai dengan proses produksi yang sebenarnya dan sesuai
dengan tuntutan dunia usaha dan dunia industri. Sistem perekrutan
peserta didik memiliki porsi 40% anak pelaku utama kelautan dan
perikanan (nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, dan petambak
garam), 40% masyarakat umum, dan 20% kerja sama dengan instansi terkait.(humas bpsdm kp/otonomi.or.g/pulo lasman simanjuntak)