Hadapi ME Asean 2015 : Penting, Mengelola SDM Kelautan dan Perikanan -->

Iklan Semua Halaman

Hadapi ME Asean 2015 : Penting, Mengelola SDM Kelautan dan Perikanan

Pulo Lasman Simanjuntak
17 Februari 2015
Bitung,eMaritim.Com,- Sebagai langkah nyata Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam merealisasikan target 20 juta hektar kawasan konservasi perairan pada 2020, KKP telah meluncurkan Standar Kompetensi Kerja Khusus (SK3) Perencanaan Pengelolaan Konservasi Perairan pada 2013. 

Pengembangan kawasan konservasi perairan tidak hanya bertujuan melestarikan lingkungan perairan dan sumber daya ikan, tetapi juga pengembangan SDM-nya. Indonesia sedang berupaya mengembangkan kawasan konservasi perairan dengan melibatkan tenaga-tenaga profesional yang harus menerapkan standar-standar kompetensi kerja. Melalui beberapa penelaahan, untuk pengelolaan kawasan tersebut pada 2015 diperlukan tenaga kerja yang memiliki kompetensi kerja khusus bidang konservasi perairan sekitar 2.500 orang. 

Untuk itu, dalam rangka pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) kelautan dan perikanan di bidang konservasi perairan dan mendukung upaya mencapai target tersebut, KKP melalui Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan (BPSDM KP) menyelenggarakan pelatihan konservasi kawasan perairan, yang salah satunya dilaksanakan pada 9-16 Februari 2015 di Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Aertembaga, Bitung, Sulawesi Utara.

“Pengembangan SDM ini dirasa sangat penting, karena mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan, pada dasarnya adalah mengelola SDM-nya, terlebih lagi dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015,” ujar Kepala BPSDM KP Suseno Sukoyono pada pembekalan pelatihan tersebut, Jumat (13/2/2015), pada acara pembekalan terhadap peserta pelatihan konservasi perairan di BPPP Aertembaga.

Kegiatan ini merupakan kerja sama BPSDM KP dengan Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen KP3K), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), serta didukung oleh konsorsium Coral Triangle Support Partnership (CTSP) dalam kerangka implementasi program United States Agency for International Development (USAID)-Coral Triangle Initiative (CTI). Kerja sama tersebut mengembangkan suatu model pelatihan terpadu bagi para pengelola kawasan konservasi perairan atau Capacity Building on Marine Protected Area (MPA).  Model ini dirancang terintegrasi mulai dari penyiapan kurikulum dan modul-modul pelatihan secara berjenjang dan berstandar, sertifikasi kompetensi bagi para pengelola kawasan konservasi perairan, sampai pada pengembangan jejaring pembelajaran bagi para pengelola, pakar, praktisi, dan pemerhati bidang konservasi perairan di tanah air. 

“Tujuan dari kegiatan ini adalah menyiapkan tenaga pengelola kawasan dan fasilitator yang kompeten di bidang  pengelolaan kawasan konservasi perairan bagi pejabat pengelola kawasan dan penyuluh di kawasan konservasi,” ujar Suseno.

Sejalan dengan upaya standardisasi kurikulum dan modul, penyiapan tenaga pelatih (trainers) bagi pelatihan di bidang konservasi terus dilakukan melalui Training of Trainers (ToT) yang diawali dengan materi dasar-dasar konservasi atau MPA-101. Kemudian dikembangkan upaya sinergitas kerja sama, berupa upaya-upaya dari para tenaga ahli NOAA dan CTSP yang secara intensif memberikan dukungan keahlian dan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan pelatihan yang dilaksanakan.

Kerja sama pelatihan antara BPSDM KP dengan NOAA ini bukanlah hal baru, namun sudah berjalan sejak tahun 2010, yang dilaksanakan di seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) pelatihan BPSDM KP atau BPPP di Tegal, Medan, Banyuwangi Bitung, dan Ambon. Pelatihan yang diberikan meliputi MPA-101 , Management Planning, Sustaible Fisheries, Sustaible Tourisme,  dan Community Stakeholder Enggagement di kawasan konservasi.

Pelatihan kali ini diikuti 20 orang yang berasal dari Direktorat KKJI, Ditjen KP3K dan berbagai daerah, yaitu Kapoposang, Sulawesi Selatan; Gili Matra, Nusa Tenggara Barat; Laut Sawu dan Alor, Nusa Tenggara Timur; Aru Tenggara dan Pulau Banda, Maluku; Raja Ampat, Papua Barat; Pulau Padaido, Papua; Pulau Pieh, Sumatera Barat; Kepulauan Anambas dan Bintan, Kepulauan Riau; Bitung, Sulawesi Utara; Batang, Jawa Tengah; Sabang, Aceh; dan Klungkung, Bali. Para peserta merupakan individu-individu yang dalam tugasnya berperan sebagai mentor untuk pelatihan yang akan datang serta mendukung dan memimpin pelatihan-pelatihan tambahan yang diselenggarakan BPSDM KP.

Bertindak sebagai pelatih adalah dua orang dari NOAA dan beberapa dari Indonesia dari kemitraan Marine Protected Area Government (MPAG). Mereka adalah Munandar Jakasukmana dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makasar, Ronal Malingkas dan Frajaya Ranto D. Simanjuntak dari BPPP Aertembaga, Ady Sabana dari Pusat Pelatihan Kelautan dan Perikanan, dan Ratnawati, konsorsium dari Mitra Bahari, Sulawesi Selatan.

Selain memberikan pembekalan pelatihan, pada kesempatan tersebut, Suseno juga melakukan peninjauan ke Politeknik Kelautan dan Perikanan (Poltek KP) Bitung, antara lain transplantasi terumbu karang pada Pusat Studi Terumbu Karang serta unit-unit atau instalasi, seperti bengkel latih kapal perikanan, bengkel mesin, workshop pengolahan, fishing gear, simulator navigasi, Global Maritime Distress Safety System (GMDSS), kapal latih, dan Basic Safety Training (BST). Bengkel latih kapal perikanan, misalnya, merupakan salah satu fasilitas praktek bagi taruna untuk mata kuliah Bangunan Kapal Perikanan, Stabilitas Kapal, Pengetahuan Bahan, Teknologi Mekanik, Instalasi Tenaga Kapal, Listrik Kapal, dsb. Para taruna sudah dapat membangun kapal sendiri di bengkel ini.

Hal ini membuktikan bahwa pendidikan vokasi kelautan dan perikanan telah menerapkan sistem pendidikan dengan pendekatan teaching factory pada satuan-satuan pendidikan KKP. Pendidikan vokasi dicirikan dengan porsi 60% praktek dan 40% teori  bagi tingkat pendidikan tinggi serta 70% praktek dan 30% teori untuk tingkat pendidikan menengah. Sementara itu pendekatan teaching factory merupakan penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan proses produksi yang sebenarnya dan sesuai dengan tuntutan dunia usaha dan dunia industri. Sistem perekrutan peserta didik memiliki porsi 40% anak pelaku utama kelautan dan perikanan (nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, dan petambak garam), 40% masyarakat umum, dan 20% kerja sama dengan instansi terkait.(humas bpsdm kp/otonomi.or.g/pulo lasman simanjuntak)